Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan dengan penampilan cuek dan acuh tak acuh duduk di ruang kerja Jefri. Lelaki itu menatap Jefri dengan pandangan menyedihkan. Hanya Jefri, lelaki kejam yang sanggup meminta seseorang mencari informasi dalam satu hari. Seolah-olah pencarian informasi manual adalah sesuatu yang bisa diklik dan diorder dengan mudah seperti koneksi internet.
"Sudah dapatkan apa yang gue mau?" tanya Jefri, sibuk menyesap sebatang rokok beraroma mint dengan asap putih samar yang memenuhi ruangan.
Pandangan Jefri pada Rendi adalah pandangan dingin dan dominan, seolah tak peduli pada beban yang sepupunya terima terkait dengan permintaan khususnya.
"Gue udah cari info lisan." Rendi menyugar rambut dengan tangan, menatap temannya selama beberapa detik.
Mata kanan Jefri dinaikkan, menyuruh Rendi menyampaikan apa yang ia temukan.
"Grazilda mengalami kecelakaan dua bulan lalu, kepalanya terbentur cukup parah dan dia mengalami amnesia retrograde. Jadi … ya … begitu!" Rendi menaikkan bahu, memberikan ruang bagi Jefri untuk berspekulasi sendiri.
"Info yang gue dapat, pernikahan Grazilda dengan Kevano seharusnya sepuluh hari yang lalu. Tapi karena insiden ini, semuanya diundur." Rendi melanjutkan.
Jefri mengangguk dan memahami semua situasi secara kasar. Dia tak peduli bagaimana Rendi mencari informasi. Hasil yang lelaki itu bawa cukup menjawab rasa penasaran Jefri hari ini.
Grazilda kecelakaan. Itulah kenapa memorinya berantakan dan dia mulai mengulik kembali kisah masa lalu. Suatu kisah yang seharusnya terkubur dan tak diijinkan terbuka kembali.
"Boleh gue tahu kenapa loe kembali mencari info Grazilda?" Rendi mengeluarkan sebatang rokok dari kotak di atas meja dan mulai menghidupkan bara dengan pemantik otomatis. Ah sial. Rokok Jefri beraroma mint. Rendi sedikit mengerut tak senang. Rokok ini terlalu ringan baginya.
"Dia datang pagi ini dan mulai mencari tahu masa lalunya degan gue dan anak gue!"
Rendi membeku untuk sesaat. Jemari yang menggenggam rokok menegang dan bergetar kecil. Fakta yang baru saja ia dengar terlalu mendadak dan sulit dipercaya. Setelah beberapa detik berlalu dalam hening, Rendi melontarkan sebuah pertanyaan pada temannya.
"Apa yang dia inginkan?"
Jefri membuang rokok yang masih tersisa setengah dan tersenyum sinis. "Riwayat masa lalu dan rasa ingin tahu pada Felix. Dia ingin ketemu putra gue!"
Rendi mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pada permukaan kaca meja. Otaknya berputar dengan cepat sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan lagi. "Dia tahu masa lalu kalian dan bagaimana pernikahan yang seperti neraka itu terjadi?"
Jefri menggeleng kecil. "Sepertinya belum. Dia mengaku kehilangan memori dan menulusuri semuanya dari kartu keluarga lama di mana nama gue dan nama Felix ada di dalamnya!"
"Dia ke sini sendirian?"
"Ya. Tanpa pasangannya, jika itu yang loe maksud!"
"Wow! Kisah lama kembali terbuka!"
"Tidak akan!"
"Terlanjur! Nggak ada yang menjamin rasa ingin tahu wanita itu untuk menggali lebih dalam!"
"Jangan harap. Jika dia pintar, seharusnya dia berhenti sebelum keadaan menjadi lebih kacau!"
"Apa loe ijinkan dia ketemu Felix?"
"Tidak!"
Rendi mengangguk kecil, mulai paham situasi apa yang sedang terjadi.
"Loe butuh hiburan? Suasana hati loe kayaknya lagi buruk. Gue bisa cariin wanita!"
"Wanita bayaran?"
"Emang mau cari yang gimana lagi."
"Gue bisa dapatin tanpa harus membayar!"
"Tapi resikonya lebih gede. Mereka yang loe sentuh di tempat tidur, bisa jadi menuntut hal-hal lain keesokan harinya. Lebih aman melakukan transaksi yang nggak ribet dan tanpa resiko dikejar-kejar seperti buronan! Loe tahu sendiri wanita itu kaya apa." Rendi terkekeh kecil. Dia sangat paham bagaimana reaksi wanita yang terlanjur terjerat. Akan sangat merepotkan dan mengerikan. Apalagi jika sudah masuk ke dalam fase pengejaran yang penuh obsesi.
"Gue selalu punya cara untuk melepaskan diri saat suasana mulai berjalan di luar kendali!" Jefri menjawab ringan, menampilkan tatapan kejam dan licik di kedua maniknya yang menawan.
Rendi hanya sanggup menelan ludah. Dia mengangguk kecil, mengakui dalam hati Jefri memang memiliki kemampuan untuk itu. Setiap kali hubungan ringan yang ia lakukan menunjukkan gejala di luar batas, ada tali tak kasat mata yang Jefri tarik dan membuat para wanita itu mau tak mau mundur teratur.
"Gimana kalau Grazilda tetep keukeuh ingin cari tahu kisah masa lalu loe dan dia?" tanya Rendi, kembali pada topik awal.
Jefri terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab ringan. "Jika dia mau bermain, gue juga bisa bermain."
…
Dua hari kemudian, Grazlida duduk di dalam taksi, menatap rumah besar Jefri dari ujung jalan, melakukan pengamatan secara seksama. Dia telah mengunjungi Jefri beberapa hari yang lalu dan alih-alih mendapatkan jawaban yang ia cari, lelaki arogan itu mendorongnya menjauh dan memberikan penekanan yang kuat agar Grazilda tak lagi mencari tahu semua masa lalu miliknya.
Lelaki itu berkata seolah-olah hidup Grazilda ada dalam genggamannya, mampu dikendalikan hanya dengan kata-kata. "Jangan", kemudian Grazilda tidak akan melakukan sesuatu. "Ayo", kemudian Grazilda akan membuang segalanya dan datang tanpa ragu-ragu. Enak saja. Memangnya Grazilda sapi yang bisa dikendalikan dengan besi di moncongnya? Maaf, Kawan! Dia lebih berakal dan pandai. Dia jelas tidak akan sepenurut itu.
Setelah melalui pertimbangan yang matang, didasari oleh rasa ingin tahu Grazilda yang menjadi-jadi, dia akhirnya memutuskan untuk mengintai rumah itu diam-diam. Memang bukan cara yang terpuji, tetapi mau bagaimana lagi. Rasa ingin tahu mendorong Grazilda melakukan semua ini.
"Neng, kita udah nunggu hampir setengah jam dari tadi. Mau sampai kapan?" Driver dengan wajah bulat tambun berusia lima puluhan mulai tampak tak nyaman. Sopir yang biasanya mengalami hari-hari lurus dan monoton, kini dihadapkan pada kenyataan ia harus mengintai rumah seseorang seperti penjahat saja. Jelas moral lurus sang sopir mulai menggeliat dan memprotes tak setuju.
"Bentar, Pak! Kita tunggu ada aktifitas nggak hari ini!"
Grazilda melirik arloji di tangan, melihat waktu sudah menunjukkan pukul 07.20 WIB.
Driver tidak bisa berkata-kata dan hanya tersenyuk miris. Setengah jam kan lumayan jika digunakan untuk menarik pelanggan lain.
"Nanti saya bayar ekstra buat waktu yang kita habiskan di sini, Pak!" Grazilda mencoba membujuk dengan lembut. Dia tak ingin membuat driver itu semakin kesal.
Setelah Driver mengangguk kecil dan tidak lagi menyuarakan protes, Grazilda kembali mengamati rumah besar tersebut. Rasa ingin tahu di matanya menari-nari, sulit untuk ditutupi.
Tak lama kemudian, gerbang rumah mulai terbuka secara perlahan. Jantung Grazilda berdetak kuat. Dia mengawasi dengan seksama, melihat mobil sport silver melaju pelan dengan jendela depan setengah terbuka, memperlihatkan ada seorang anak kecil berusia empat tahun duduk dengan mulut penuh roti di kursi depan di samping kemudi. Sekilas, tampak bayangan Jefri di balik kemudi dan membawa mobil tersebut dengan cara yang anggun memasuki jalanan kompleks.
"Pak. Ikuti mobil itu, Pak!" Grazilda segera memerintahkan sopir agar bertindak cepat, tak ingin membiarkan peluang hilang begitu saja.
"Yakin, Neng?" jelas saja sang sopir khawatir. Orang yang akan ia ikuti tampaknya berbahaya dan memiliki kekuasaan. Bukankah sama saja cari masalah jika entah bagaimana orang itu nantinya tahu? Ah. Sungguh siàl dia harus memiliki pelanggan pertama wanita itu. Bukan hanya mengawasi rumah orang lain, tapi kini juga ingin memguntit orang lain.
"Yakin. Jaga jarak, ya, Pak! Jangan terlalu dekat biar nggak ketahuan. Tapi juga jangan terlalu jauh biar nggak ketinggalan jejak. Yang sedang-sedang aja!"
"Baik, Neng!" Dengan pasrah, sopir akhirnya mengangguk setuju. Tidak ada pilihan lagi, bukan? Dia hanya berharap semoga tindakan ini tidak akan menyulitkannya di masa depan.
…