Jefri berdiri di balkon kamar, menatap halaman depan dengan mata elangnya yang menawan. Bibirnya yang tipis kini mengerucut kecil. Tampak wajahnya menunjukkan ekspresi tak senang.
Jari-jari ramping Jefri melingkari gelas kristal kecil yang tampak rapuh, mengocok cairan merah pekat di dalamnya dengan gerakan pelan. Aroma alkohol menguar, membuat suasana hati Jefri sedikit lebih baik.
Wanita itu kembali. Dengan sembrono masuk ke dalam hidupnya lagi setelah tiga tahun lebih mereka hampir tak bertatap muka. Mata Jefri menyipit, memikirkan banyak rencana-rencana baru dalam benaknya.
"Rendi! Cari tahu semua riwayat tentang mantan istriku!"
Setelah setengah jam berlalu, Jefri akhirnya memutuskan menghubungi sepupu sekaligus orang kepercayaannya.
"Wow. Loe ingin mencari tahu tentang Grazilda? Kisah lama nggak berulang, 'kan?" Rendi menggodanya dengan nada sinis. Lelaki itu sangat memahami karakter Jefri. Surga sepertinya terbalik jika Jefri mengungkit tentang Grazilda lagi.
"Gue ingin hasilnya malam ini!" Jefri menambahkan, membuat Rendi di seberang mengeluarkan semua koleksi umpatan yang ia miliki.
"Jika malam ini nggak ada hasil, jangan harap loe bisa libur setiap akhir pekan!" Suara Jefri ringan, tanpa tekanan sama sekali. Namun, Rendi lebih tahu dari siapa pun juga kata-kata Jefri adalah ancaman terselubung. Jefri jenis orang yang akan membunuh tanpa berbicara. Orang yang cukup bijak pasti akan bertindak hati-hati terhadapnya.
"Oke. Gue coba!" Dengan pasrah, Rendi menerima misi tambahan dari Jefri. Hari ini sepertinya dia akan disibukkan mengulik-ulik kehidupan orang lain.
Tanpa kata-kata, Jefri mengkahiri sambungan dan kembali menatap halaman belakang. Kali ini, ada sesosok anak kecil berusia empat tahun berlari-lari dengan aktif diikuti pengasuhnya. Mata Jefri sedikit melembut. Dia menatap putranya dengan pandangan kasih sayang. Satu-satunya kasih sayang yang ia miliki dalam hidup ini.
…
Sore ini, Ayu dan Tere mengunjungi rumah Grazilda. Ayu, wanita berdarah Batak membawa buah-buahan dalam kantong plastik. Sementara Tere—ibu muda berusia pertengahan dua puluh—membawakan tiga porsi bakso urat favorit Grazilda yang di beli di pertigaan jalan kompleks perumahan.
"Hei Putri Cantik. Gimana kabar loe hari ini?" tanya Ayu, memberikan senyum ramah yang sudah sangat dihapal oleh Grazilda.
Baik Ayu dan Tere, mereka semua bekerja di sebuah swalayan besar. Ayu sebagai kasir, sementara Tere sebagai admin gudang, posisi yang sebelumnya dipegang oleh Grazilda juga. Hanya saja, sejak kecelakaan itu terjadi, Grazilda memilih resign dan beristirahat di rumah, belum yakin ingin mengambil pekerjaan lagi.
"Monoton!" Grazilda terkekeh kecil. Dia masih belum yakin untuk bercerita pada kedua temannya mengenai penemuannya hari ini. Apakah baik-baik saja jika Grazilda mengatakan pada mereka ia pernah menikah dan memiliki anak yang sama sekali tak dikenalnya? Mereka pasti akan langsung heboh.
"Kevano nggak ke sini?" tanya Ayu. "Biasanya akhir pekan gini dia main, 'kan?"
Grazilda tersenyum kecil. Bukan hanya akhir pekan. Beberapa hari sekali Kevano sering datang hanya untuk melihat kondisi Grazilda dan memastikan semuanya baik-baik saja. Sejak kecelakaan itu terjadi, sikap Kevano semakin keras dalam melindungi dan memastikan keadaan Geazilda secara berkala.
"Tadinya mau main ke sini. Cuma hari ini gue keluar jalan-jalan. Jadi gue tolak!"
Ayu mengangguk-angguk memahami. Kondisi Grazilda sekarang sudah cukup mampu melakukan sesuatu seorang diri. Dia bukan bayi yang membutuhkan penjagaan dua peluh empat jam non stop.
"Kevano laki-laki yang hebat sekaligus pasangan paling pengertian sejauh gue mengenalnya. Cuma ya itu … dia terlalu posesif saat ini. Loe butuh ruang dan privasi juga. Ruang untuk sendiri dan berpikir. Ruang untuk memahami dan menerima keadaan dengan baik!" Tere memberi nasihat ala-ala mak bijak yang hidup seratus tahun.
"Baca artikel motivator di mana loe? Berubah jadi ibu peri begitu. Firasat gue mulai nggak enak kalau otak loe mulai bijak begini!" Ayu menggoda Tere yang biasanya dikenal cablak dan sering kali berbicara tanpa berpikir lebih dulu.
"Hei. Hidup itu adalah pembelajaran tanpa akhir. Kita harus terbuka dan mulai berpikir banyak hal. Sudah saatnya loe memahami hal-hal ini." Tere mengibaskan tangannya, yang membuat Ayu mengerutkan kening semakin dalam.
"Sindrom bijaknya kumat. Jangan dengerin dia, sebelum otak loe terkontaminasi." Ayu berbisik ke telinga Grazilda, membuat wanita itu tertawa kecil dan merasa ringan untuk sesaat.
Ayu dan Tere adalah sahabat yang Grazilda miliki untuk saat ini. Mereka menjadi salah satu pelangi yang membawa warna bagi hidupnya. Meski ingatan Grazilda masih kosong dan terasa seperti jalan buntu, kedua orang ini hadir, menciptakan pertemanan, memberikan kesan yang mendalam seolah-olah persahabatan mereka tak pernah berakhir dan tak mengalami titik kritis.
Terkadang, dalam saat-saat tertentu, Grazilda merasa Ayu dan Tere lebih mampu ia kenali daripada Kevano. Hubungannya dengan Kevano seperti dipisahkan jarak tak kasat mata. Jarak yang hingga kini belum sanggup Grazilda hilangkan. Namun, dengan Ayu dan Tere, tak ada hal-hal seperti itu. Jiwa mereka saling terkait dengan mudah. Mungkinkah mereka sama-sama perempuan sehingga ikatan mereka terasa alami? Grazilda hanya bisa menebaknya secara kasar.
"Gue mau tanya sesuatu sama kalian!" Grazilda tiba-tiba menciptakan suasana serius. Tere yang baru saja mengambil tiga mangkuk keramik dari dapur untuk menuang bakso, menghentikan semua aktifitasnya dan duduk di sisi Grazilda dalam hitungan detik.
"Ada apa? Loe mau tanya apa?"
"Tanya aja! Loe ingin tahu tentang apa?"
Ayu dan Tere menjawab serempak.
Grazilda tersenyum kecil sebelum akhirnya menanyakan sesuatu yang mengganggunya.
"Apa selama kita berteman, gue pernah menyebutkan masa lalu gue? Tentang mantan suami atau anak-anak?"
Dari penjelasan yang pernah Ayu berikan, mereka semua mulai saling mengenal di tempat kerja sejak satu setengah tahun yang lalu. Bukan tidak mungkin satu atau dua kali Grazilda pernah menyebutkan tentang masa lalunya, bukan? Mengingat hubungan mereka yang memang akrab dan dekat.
Ayu dan Tere diam untuk beberapa detik. Kemudian mereka serentak menggeleng bersama-sama.
"Loe kayaknya pernah nanya ini deh. Gue pernah bilang loe nggak pernah sebut-sebut tentang itu semua." Tere menjawab serius.
Grazilda mengangguk dan tak terlalu terkejut dengan jawaban tersebut. Dia sudah menduga akan seperti ini. Grazilda hanya memastikan, dia butuh mendengar lagi jawaban mereka secara langsung.
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang salah? Apa loe pikie loe memiliki masa lalu?" Ayu bertanya dengan hati-hati. Tidak mudah menjadi orang yang tak tahu apa-apa dan kehilangan banyak memori. Pasti hidup Grazilda seperti kertas kosong dan haus akan ingatan masa lalu. Sudah merupakan hal hebat wanita itu mampu bertahan di titik ini tanpa bersikap histeris.
"Gue hanya merasa, ada lubang besar dalam hidup gue. Jadi gue ingin memastikan itu apa. Rasanya seolah-olah gue pernah ada di suatu keadaan masa lalu yang seperti itu!" Grazilda belum terlalu yakin untuk bersikap terbuka dan membagi pertemuannya hari ini dengan Jefri kepada mereka. Saat ini, keberadaan Jefri masih menjadi rahasianya sendiri. Banyak pertanyaan Grazilda terkait semua ini yang mungkin lebih baij ia simpan dulu.
"Maksud loe, loe merasa pernah punya anak?" Tere jadi bingung. Bukankah Grazilda memiliki Kevano? Mungkinkah di masa lalu Kevano melakukan sesuatu yang terlarang dan membuat Grazilda hamil? Pikiran Tere jadi semrawut. Bagaimana nasib anak itu sekarang.
"Kevano pernah menghamili loe dan anak itu terlantar? Atau loe pernah jadi korban pemèrkosaan dan anak loe dititipin di panti? Loe butuh bantuan mencari anak yang hilang?" Pikiran Ayu lebih bar-bar lagi. Dia menghubungkan penjelasan Grazilda dengan hal-hal dalam imajinasinya sendiri.
Melihat kedua temannya mulai berpikir yang tidak-tidak, Grazilda hanya bisa mendesah panjang. Beginilah efek sinetron dan drama. Membuat orang mengambil imajinasi sendiri secara berlebihan.
"Cukup! Pikiran kalian mulai kacau!"
…