Siang ini suasana hati Grazilda cukup kacau. Dia memegang cangkir keramik berukir angsa di tangan, setengah melamun dan hampir menumpahkan isinya yang penuh.
Cuaca ibu kota lumayan mendung siang ini. Langit lebih gelap daripada biasanya, seolah-olah bersiap menumpahkan curahan hujan ke tanah. Grazilda menatap langit tak bersemangat dan kembali mengamati cangkir keramik dalam genggamannya.
Grazilda memejamkan mata beberapa detik, kemudian membuka kembali, matanya menujukkan sorot hampa. Kopi yang ia seduh empat puluh menit yang lalu mulai dingin, tetapi Grazilda masih tak berselera menghabiskannya. Cairan yang tadinya tampak menggoda kini hanya terlihat sebagai cairan hitam biasa.
Saat Grazilda sibuk merenungkan sesuatu, dering ponsel membuyarkannya. Grazilda menyambar benda pipih di atas meja ruang duduk, menatap nomor asing dalam panggilan tersebut, kemudian ragu-ragu untuk sesaat. Akhirnya, didasari rasa penasaran yang tinggi, dia memutuskan menerima panggilan.
"Ya? Dengan siapa?" Grazilda tak bisa menyembunyikan nada acuh tak acuh dalam suaranya.
"Aku tahu hari ini kamu mengikuti Felix dan mulai mengambil celah untuk menemuinya. Sepertinya kamu sengaja memancing amarhku, Graz! Tidak bisakah kamu memahami batas yang kutetapkan?"
Tak butuh waktu lama bagi Grazilda menyimpulkan siapa yang menghubunginya. Suara lelaki dalam dan berat yang sangat khas sudah lebih dari cukup menjadi petunjuk. Sejauh ini, hanya satu orang yang suaranya membawa aura kuat, berjarak, dingin, sekaligus arogan.
Jefri Brahmono.
Grazilda mencengkeram erat ponsel di tangan, hampir meretakkan benda kecil tersebut tanpa sadar.
Jefri mampu menghubungi Grazilda tanpa mendapatkan kontaknya langsung, itu adalah suatu petunjuk betapa lelaki tersebut memiliki kekuasaan. Entah bagaimana, kontak Grazilda terlacak, membuktikan Jefri sangat kompeten dan bukan orang yang bisa ia permainkan begitu saja.
"Hai, Jef! Ya. Aku nggak sengaja mampir ke tempat itu dan kebetulan melihat anak yang familier!" Dusta Grazilda dengan lancar. Sorot matanya menerawang ke arah langit-langit, menebak ke mana jalan hidupnya berkembang setelah ini.
"Jangan coba-coba masuk ke kehidupanku! Aku adalah orang yang sangat mudah untuk dipancing. Jadi, jangan berpikir melakukannya. Aku serius, Graz! Aku tidak pernah sesumbar omong kosong!"
Grazilda mengerutkan kening smakin dalam, bersamaan dengan rasa penasaran dan keingintahuannya.
"Aku hanya ingin tahu, Jef! Sebagai seseorang yang tak memiliki riwayat apa pun dalam hidup, aku mencoba memahami diriku sendiri. Orang seperti apa aku. Kehidupan seperti apa yang pernah kulalui. Jejak seperti apa yang aku miliki. Tidakkah kamu pikir kamu egois menahanku dari kenyataan yang ada? Rahasia apa sebenarnya yang ingin kamu tutupi dariku? Fakta apa yang tidak ingin kamu ungkit lagi?"
Didorong oleh kebingungan dan keingintahuan yang mendalam, Grazilda mencoba dengan baik mengumpulkan puzzle. Dia tahu mungkin tindakannya menyinggung Jefri, tetapi ia sudah tak lagi peduli pada hal-hal itu. Dia seperti si buta yang merindukan cahaya. Seperti si bodoh yang menginginkan ilmu. Seperti kafilah yang memginginkan rumah. Dia dalam pencarian jati diri dan identitas diri.
Terdengar desahan napas panjang di seberang. Tampaknya Jefri menyadari kekeraskepalaan yang Grazilda miliki. Wanita ini tampaknya memang lemah lembut, hampir tanpa memiliki kekuatan berarti. Namun, Grazilda memiliki kepala sekeras batu dan hati setangguh karang yang tidak akan pernah berubah ketika memutuskan sesuatu.
"Aku menghalangimu menyelidiki, bukan hanya demi menjaga ketenangan hidupku dan putraku. Tapi, juga demi hidupmu dan kestabilan yang sudah kamu miliki. Aku mendengar kamu sudah siap membentuk keluarga dengan seseorang bernama Kevano, bukan? Jika kamu terus mengulik masalah ini, aku khawatir kamu akan kehilangan semua yang kamu miliki saat ini."
"Ini tidak berhubungan dengan Kevano. Masa lalu adalah bagian dari diriku yang dulu!" sanggah Grazilda keras kepala.
"Ini berhubungan dengan semuanya. Ini berhubungan dengan segala aspek hidupmu dan hidupku. Jadi ... sebelum semuanya terlanjur rumit, mundurlah, Graz! Jangan masuk ke dalam hidupku dan putraku! Anggap semuanya masa lalu dan fase hitam dari hidupmu yang harus kamu tinggalkan!"
Grazilda tersenyum mendengar kata-kata Jefri. Dia meletakkan cangkir yang ia genggam ke tatakan, mengagumi betapa benda itu terlihat rapuh dan mudah pecah. Mungkinkah Grazilda terlihat seperti itu? Tampak rapuh dan rentan hancur begitu saja.
"Aku tidak peduli, Jef. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu kenapa bahkan putraku sendiri tidak mengenaliku sebagai ibu. Aku hanya ingin tahu seburuk apa aku di masa lalu sampai sampai anakku sendiri tidak memiliki ikatan denganku. Mungkinkah ini kesalahanku? Atau mungkin kesalahanmu? Apa yang terjadi? Aku ingin tahu tentang semua itu!" Nada suara Grazilda meninggi, menunjukkan amarah dan kekesalan.
Sebagai seorang wanita, hatinya retak melihat bagian dari dirinya ditolak oleh putranya. Dia ingin mengulik lebih dalam, iblis seperti apa dalam dirinya yang membuat semua kondisi buruk ini. Semakin Grazilda memikirkan, semakin ia merasa ada sisi gelap tak kasat mata yang ia miliki. Sisi gelap yang ia sendiri baru menyadarinya.
"Kamu menolak anak itu, Graz!"
"Apa?" Grazilda masih tak memahami arah pembicaraan Jefri.
"Kamu bertanya kenapa Felix tidak mengenalmu. Karena kamu sendiri telah menolak keberadaannya sejak ia dilahirkan. Itulah jawaban yang kamu cari. Seseorang tidak akan datang secara suka rela untuk sesuatu yang ia tolak!"
Kebas. Sebagian tubuh Grazilda seolah mati rasa dan baru bisa bereaksi setelah beberapa saat. Rona wajahnya hilang, meninggalkan warna putih pucat yang tampak mengenaskan. Perut bagian bawahnya seperti ada yang mengaduk kuat, membuat isinya memberontak dan ingin keluar.
"Tidak! Seseorang bisa memiliki ribuan identitas, tetapi hanya akan memiliki satu karakter sepanjang hidupnya. Aku tidak mungkin menolak seorang anak. Aku tidak mungkin menolak darah dagingku sendiri!" Grazilda histeris. Dia berdiri, tanpa sadar menendang meja di depannya, membuat cangkir keramik rapuh tersebut terguncang dan nyaris jatuh. Begitulah dirinya saat ini. Mudah jatuh dan pecah. Sangat rapuh tanpa perlindungan.
"Kamu membenci putraku, Graz! Kamu membenci keberadaannya!"
"Tidak! Tidak mungkin! Itu bukan aku! Mustahil!" Grazilda semakin histeris. Dia meraung seperti hewan yang terluka.
Grazilda bahkan tak sanggup melihat kucing liar sekarat di depan rumah. Bagaimana ia bisa membenci anaknya sendiri sebegitu rupa dan menolak keberadaannya? Dunia bisa hancur, tetapi ia tak akan pernah sudi mempercayai fakta ini sedikit pun. Tidak akan pernah.
"Melihat dari reaksimu yang histeris, sepertinya kamu memang benar-benar hilang ingatan! Cobalah terima fakta ini dengan baik, Graz! Hidup terus berjalan dan seseorang bisa berubah menjadi apa pun yang ia mau. Selalu ada sisi lain dari setiap individu. Jangan terlalu terkejut dengan beberapa hal!" Jefri menutup sambungan, membiarkan Grazilda mengatasi emosinya sendirian.
Grazilda meraih cangkir di depannya dan melemparkannya ke dinding. Cairan hitamnya terciprat menodai cat putih, dan cangkir keramik itu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tampak rapuh tetapi berpotensi melukai orang lain.
Begitulah manusia pada hakikatnya. Saat seseorang rapuh dan hancur, saat itulah ia lebih berpotensi melukai dan menyakiti orang di sekelilingnya.
"Tidak mungkin … tidak mungkin … ini tidak mungkin." Grazilda mendesis tak percaya. Dia menggelengkan kepalanya lemah, merasa dimanipulasi habis-habisan.
Benarkah ia menolak dan membenci Felix? Seorang anak yang memiliki darah dan daging yang sama dengannya? Apakah ada sisi iblìs dalam dirinya yang belum ia ketahui?
Lantas ... siapa Grazilda sebenarnya?
Identitas seperti apa yang ia miliki?
Kekejaman apa yang melekat dalam jiwanya? Mungkinkah ia psikopat di balik penampilan cantiknya?
Jefri bisa saja berbohong, tetapi mata Felix mustahil berbohong. Mata Felix hampir menunjukkan semua kebenaran.
Grazilda rubuh di atas sofa lembut. Wajahnya pucat pasi. Tidak ada seorang ibu yang menolak anaknya, jadi bagaimana bisa ia masih berada di sini, menarik napas, dan tetap hidup dengan anggapan semuanya baik-baik saja?
Grazilda memejamkan matanya rapat-rapat, merasa bagian dari dirinya mulai retak dari dalam. Retak ini menjalar sedikit demi sedikit, menciptakan kerapuhan baru. Tampaknya sebentar lagi ia akan hancur.
Setelah Grazilda berhasil menenangkan diri selama beberapa saat, ia mengambil alat komunikasi dan menghubungi Kevano.
"Kev! Aku bukan wanita baik yang mungkin kamu kenal selama ini. Hubungan kita perlu dievaluasi ulang. Akan lebih baik bagimu jika kita mengambil langkah mundur dan mengakhiri semuanya. Sepertinya aku bukan wanita yang pantas untukmu! Ada iblis di dalam hatiku dan aku sendiri mulai tak mengenal siapa aku sesungguhnya!"
…