Rapuh

1379 Words
Memang ada kekecewaan di hati Kevano. Namun, itu tak menggoyahkan perasaannya terhadap Grazilda. Cintanya cukup besar untuk menerima kekurangan-kekurangan yang ada pada Grazilda. Bukankah manusia tak ada yang sempurna? Sebagian besar dari kita, terlalu sibuk berpura-pura dan menutupi hal-hal buruk yang menjadi bagian dari diri kita sendiri. Saat ini, keburukan Grazilda terpapar, jadi kenapa? Semua itu tidak berhasil merusak hubungan yang mereka bina selama tiga tahun. "Kamu yakin untuk tetap bertahan denganku?" Grazilda masih terkejut. Sebagian besar cinta dipengaruhi variabel-variabel tertentu. Karakter, sikap, masa lalu, kepercayaan, dan hal-hal lain semacamnya. Tidakkah fakta yang baru saja Grazilda beberkan seharusnya mempengaruhi perasaan Kevano? "Ya. Jangan bersikap bodòh. Kamu pikir hal-hal seperti ini bisa menghancurkan hubungan kita?" Kevano beralih ke sisi Grazilda, menyentuh lembut bahu wanita ini, dan tersenyum menenangkan. Dia ingin menunjukkan masa lalu Grazilda tak mempengaruhinya sama sekali. "Seharusnya hal-hal seperti ini memengaruhi hubungan kita!" Grazilda menggigit bibir bawahnya, merasa tak yakin. "Tidak akan. Perasaanku terlalu kuat untuk bertahan dalam menghadapi semua badai dalam hubungan kita. Jadi, jangan pernah coba berpikir aku bisa dihasut pergi hanya dengan hal-hal seperti ini." Kevano mencubit ujung hidup Grazilda hingga memerah, memutuskan meninggalkan topik sensitif di antara mereka. "Kamu yakin, Kev?" Terkadang, antara bodoh dan tulus berbeda tipis. Grazilda tak yakin Kevano masuk dalam golongan mana. "Apa kamu mulai meragukan hubungan ini? jangan-jangan kamu sengaja memancing masalah!" Ekspresi Kevano langsung berubah gelap. Masih kurangkah kesabaran dan kesungguhannya selama ini? Sehingga Grazilda memiliki benih-benih keraguan padanya. "Aku yang meragukan diriku sendiri di sini. Seolah-olah ada beban berat yang aku temui dan sulit kuanalisis sendiri!" Tatapan Grazilda mulai menerawang. Dia tampak tertekan dan penuh pikiran. Jelas fakta yang ia dapat dari salinan kartu keluarga lama miliknya berhasil memancing kewaspadaan baru bagi dirinya sendiri. "Sssshhhhttttt. Sudah sudah! Aku nggak mau lagi tiba-tiba kamu menghubungiku dan mengatakan hubungan kita lebih baik berakhir." Kevano mengangkat dagu Grazilda dengan jari telunjuk, membiarkan mata mereka saling mengunci beberapa saat lamanya. "Itu menyakitkan, tau nggak? Setelah tiga tahun penantian, tiga tahun bujukan, tiga tahun kebersamaan, tiba-tiba kamu berniat mengakhiri hubungan gitu aja. Cobalah bersikap dewasa, Graz! Jangan mudah menyerah akan hubungan kita. Jangan mudah menyerah padaku!" Sebuah hubungan tidak akan menjamin lepas dari semua kendala dan hambatan. Kedua pihak harus saling menjaga dan menguatkan. Jika hanya satu pihak saja yang mencoba bertahan sementara pihak lain berniat melepaskan, tak akan pernah berhasil dan hanya akan berakhir dalam kegagalan total. "Maaf, Kev." Grazilda tahu kali ini ia salah. Emosi Kevano terlalu kuat. Dia bukan lelaki yang mudah menyerah begitu saja. Tidak adil rasanya jika Grazilda mendorong Kevano sejauh itu. "Udah nggak apa-apa. Hubungan nggak ubahnya grafik. Mengalami up dan down. Kita yang harus pinter menyikapinya!" Kevano mengelus lembut puncak kepala Grazilda, membuat aroma mint shampo yang wanita itu gunakan tercìum semakin menggoda. Tak bisa menahan diri, Kevano meeraih Grazilda dalam pelukan hangat. "Aku mencintaimu, Sayang. Nggak peduli masa lalumu yang buruk atau karaktermu yang jauh dari sempurna. Tetap di sisiku, ya!" bujuk Kevano, membiarkan sisi lembutnya mendominasi setiap kali ia melihat sosok Grazilda. Wanita satu itu seolah-olah tercipta memang hanya untuk Kevano puja dan kasihi tanpa akhir. Tak ada orang yang sempurna, bukan? Kevano telah memilih Grazilda dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Apa pun itu, penerimaan Kevano cukup besar. "Dengerin aku! Selalu ada titik terendah dalam hubungan. Titik di mana kita melihat pisah itu lebih baik daripada dilanjutin terus. Tapi justru itu intinya, kita harus tetep bertahan dan melewati fase itu." Sentuhan Kevano terasa lembut dan menyenangkan di sepanjang garis wajah Grazilda. "Aku sudah mencoba mencari tahu dengan mendatangi alamat di salinan kartu keluarga, Kev!" Kejujuran akhirnya lebih Grazilda pilih. Kevano terlalu baik. Grazilda pikir sudah seharusnya Kevano tahu tentang semua ini. Memang apa yang Grazilda lakukan bisa dibilang salah karena tidak membaginya terlebih dahulu bersama Kevano. Namun, sebagai seorang wanita yang dipenuhi rasa ingin tahu, dia hanya mencoba melakukan sesuai dengan nalurinya. Bukankah orang yang terlanjur penasaran selalu lebih impulsif dalam bertindak? "Kamu datang ke laki-laki bernama Jefri ini?" Kevano tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sudah sejauh ini Grazilda melangkah dan ia tak tahu sama sekali? "Aku penasaran, Kev!" "Tapi bukan begini caranya, Graz! Kamu nggak bilang sama aku dan lebih milih mengambil tindakan sendiri. Tidakkah kamu pikir apa yang kamu lakukan ini bisa menghancurkan kepercayaanku dan hubungan kita?" Ada kekecewaan besar yang Kevano rasakan di dalam hatinya. Dia pikir hubungan mereka sudah cukup dalam dan mendekati pernikahan. Seharusnya hal-hal seperti ini Grazilda bagi pada Kevano lebih awal. Bukankah setiap tindakan Grazilda rentan menghancurkan hubungan mereka yang kini terasa kian rapuh? "Memangnya aku salah mencari tahu, Kev? Kamu sendiri bilang nggak tahu masa laluku. Jadi ke mana aku harus mencari tahu jika tidak terjun secara langsung ke pokok masalah?" "Aku nggak bilang ketemu dia itu salah. Tapi cara kamu diam-diam mengambil tindakan tanpa sepengetahuanku itu nggak bener, Graz! Masa lalu selalu memiliki kemungkinan terulang lagi. Kamu perlahan-lahan mulai membuat hubungan kita berada di ujung tanduk!" "Aku hanya bertemu, ngobrol, yang pada akhirnya ditolak. Tolong jangan perbesar masalah ini. Jefri bahkan nggak ngijinin aku buat liat anakku sendiri." "Ya Tuhan. Kamu bahkan sampai di titik itu tanpa konsultasi dulu sama aku. Apa kamu nggak pertimbangin perasaan aku, Graz?!" "Kev, aku cuma—" "Kamu bilang kamu cuma lakuin ini. Lakuin itu. Tapi justru karena tindakan-tindakan seperti itulah yang bisa menggerogoti hubungan kita menjadi semakin kacau. Keterbukaan adalah hal yang paling penting dalam sebuah hubungan. Apa sulitnya kamu bilang semua ini, melakukan pembicaraan baik-baik sama aku, dan mengambil langkah bersama? Jangan bertindak di belakangku sendirian! Seolah-olah di sini aku tak memiliki fungsi sama sekali!" Grazilda menggeleng lemah melihat kemarahan yang mulai terpancar dari kedua mata Kevano. Dia mundur beberapa langkah, tetapi gerakannya tertahan oleh lengan Kevano yang kini membelit pinggangnya dengan kuat. Sepertinya Kevano tak akan mau melepaskan Grazilda begitu saja kali ini. "Kamu mulai mengekang, Kev! Kamu mulai mendominasi hubungan ini!" Suara Grazilda lemah. Mendengar pendapat Grazilda, Kevano hanya bisa menatap wanita itu hampa. Jadi … beginikah penilaian Grazilda pada dirinya? Mengekang dan mendominasi? Ada persaan getir dan masam yang mulai hadir di hati Kevano. Dia menggelengkan kepalanya dengan lemah, menatap Grazilda lama seolah-olah Grazilda objek yang sangat langka. "Aku hanya takut, Graz! Kamu nggak tahu ketakutan seperti apa yang saat ini aku rasakan. Semenjak kamu amnesia, hanya aku satu-satunya pihak yang mencoba tetap mempertahankan hubungan ini sendirian. Rasanya, setiap hari kamu terasa semakin jauh. Sekarang kamu memiliki masa lalu suami dan seorang anak. Aku tidak menyalahkan kenyataan itu. Tapi mendengarmu mengulik kembali lelaki yang pernah ada di hidupmu, rasanya seperti aku dihadapkan fakta bahwa kamu mulai tergelincir semakin jauh dari genggamanku. Aku terlalu mencintaimu sehingga emosiku sangat rapuh dan rentan pada semua tindakanmu, Graz! Tidak bisakah kamu pahami ini? Aku hanya ingin merasa lebih dianggap dan diberi makna. Aku ingin didengarkan dan memberi peran. Tapi sepertinya hal seperti itu sulit kudapatkan!" Wajah Kevano menggelap. Dia menyugar rambutnya putus asa, merasa luar biasa sedih. Takut akan kehilangan bukanlah perasaan yang mudah dihadapi. Dia bangun setiap hari dengan harapan hubungannya dengan Grazilda semakin membaik, tetapi tampaknya hasilnya justru bertolak belakang. Wanita itu semakin enggan, dan kini bahkan mencari tahu masa lalunya seorang diri tanpa memberi peran pada Kevano sama sekali. Kedua mata Kevano tampak putus asa. Dia menatap langit-langit ruangan yang berwarna polos, mendesah panjang dan tampak menderita. Ke mana hubungan mereka akan berlanjut setelah ini? Apakah semuanya hanya akan menuju kehancuran? Melihat penderitaan yang terlihat jelas di mata Kevano, Grazilda merasa lehernya tercekik oleh sesuatu. Inilah lelaki yang dengan setia memperjuangkan dirinya tanpa lelah. Bukannya memberi apresiasi, Grazilsa justru menyakitinya dengan sengaja. Tak mudah untuk menjadi Kevano. Lebih tak mudah lagi menerima semua tindakan Grazilda yang sering kali tak berpikir panjang. Sebuah pelukan menyelimuti diri Kevano secara tiba-tiba. Grazilda tenggelam di d**a Kevano, membisikkan permintaan maaf berkali-kali. Ada penyesalan yang jelas dari sikapnya. "Maaf. Maaf. Maaf." "Tidak akan ada lagi tindakanku yang sembunyi-sembunyi darimu. Maaf, Kev! Maaf!" Kevano menatap wanita dalam pelukannya dan tersenyum kecil. Pada akhirnya, sejauh apa pun wanita ini mengecewakan dan menyakitinya, hatinya akan selalu rapuh dan sensitif. Seribu kali Grazilda membuat kesalahan, seribu kali itu pula Kevano memberi maaf. "Sudah sudah! Nggak apa-apa. Lain kali lebih terbuka sama aku, ya! Kalau ada apa-apa, ayo kita hadapi bareng-bareng!" Kevano menepuk puncak kepala Grazilda, matanya menunjukkan emosi rumit. Sebuah emosi yang saling tumpang tindih. Hanya Tuhan yang tahu semua kerumitan ini. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD