Jarvis menegakan tubuhnya dan menatap pada Meida yang tidur dengan nyaman disana. Untuk memastikan sekali lagi, Jarvis menempelkan tangannya di leher Meida yang sedikit berkeringat. Jantung Jarvis berdetak kencang melihat tangannya memegang area itu. Namun, ternyata efeknya hanya sedikit gatal dan kemerahan saja. Tidak separah saat Jarvis menyentuh kulit wanita lain sampai dirinya tidak bisa menahan rasa gatal.
Untuk memastikan lagi, Jarvis menunduk kemudian tanpa ragu menyatukan bibir keduanya dan itu membuat Jarvis langsung menarik wajahnya lagi. “Oke,” ucapnya telah memastikan.
Dia langsung keluar dari kamar Meida dan menghubungi Aldi. Meminta sang ajudan memanggil psikolog pribadinya. Aldi datang bersama dengan sang dokter dengan penuh kekhawatiran. “Tuan Jarvis, apa sesuatu terjadi?”
“Aku ingin bicara dengan psikologku,” ucapnya meminta sang ajudan tidak banyak bertanya lagi.
“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Tuanku?”
“Aku menemukan seorang wanita yang sedikit memberikan efek alergi, atau bahkan tidak mungkin. Saat itu aku melakukan skinship dengannya tanpa sengaja, aku menidurinya dan besoknya tidak banyak reaksi yang ditimbulkan. Lalu saat aku menemukannya, reaksi alergi itu juga hampir tidak ada. Barusan aku menyentuh keringatnya, dan itu hanya sedikit gatal. Ruam merah hampir tidak ada, jantungku juga tidak berdetak kencang merasa cemas. Ditambah lagi ketika aku menciumnya, aku tidak merasa waspada harus mundur darinya.”
“Skinship seperti apa yang anda dan dia lakukan setelah berhubungan badan?”
“Um, aku menggendongnya dengan dia memakai pakaian tidak bermerk, lalu dia muntah pada tanganku dan reaksiku biasa saja.”
“Bagaimana dengan efek yang terlihat?”
“Hanya ruam biasa.”
“Apa anda berfikir karena dia itu seseorang yang kaya? Dengan tubuh terawat juga jadi tidak menimbulkan reaksi?”
“Singkirkan tentang kemiskinan, aku ingin focus pada kecemasanku jika berdekatan dengan wanita. Aku tidak terlalu merasakan itu dengannya.”
Sang psikolog mengangguk mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Jarvis. “Lalu?”
“Karena dia adalah wanita pertama yang tidak membuatku merasakan kerugian, jadi aku berniat menikahinya.” Supaya permintaan Kakek dan pertanyaan dari keluarga tidak terulang lagi, khususnya adik-adiknya yang berusaha membuat Jarvis dekat dengan wanita lain, itu membuatnya tidak nyaman. “Sebagai bentuk tanggung jawab juga ‘kan?”
“Tuan sendiri apa siap hidup tanpa cinta?”
“Cinta itu tidak benar-benar ada. Lagipula yang aku butuhkan hanya status, yang dia butuhkan juga uang. Jadi kami saling melengkapi.”
“Ya bagian terbaiknya mungkin Tuan akan hidup bersama dengan wanita yang tidak membuat alergi.”
“Benar, karena cinta tidaklah penting. Jadi bagaimana menurutmu?”
“Ikuti kata hatimu. Kalau anda yakin dengan perempuan ini, maka semua resikonya harus siap ditanggung.”
“Karena dia hanya butuh uang, semuanya bisa dibereskan dengan mudah.”
Sang ajudan semakin bertanya-tanya siapa perempuan itu. tapi setelah berfikir lama, Aldi langsung berspekulasi sendiri. “Apa orangnya Meida, Pak.”
“Iya, dia orangnya. Bapak bisa pulang, saya mau bicara dengan ajudan saya.”
“Sudah? Hanya itu yang ingin anda sampaikan?”
“Iya, karena semua perubahan kecil dalam hidupku harus kamu ketahui ‘kan?”
“Benar sekali. Saya pulang dulu kalau begitu, terima kasih sudah menghubungi saya di tengah malam.”
Sementara itu Aldi menatap sang majikan tidak percaya. “Bapak yakin itu orangnya?”
“Saya yakin karena ingatan saya mulai jelas, bahkan ukuran pinggang sama aromanya itu akurat. Saya mau dia jadi istri saya.”
“Secepat itu, Pak? kalian bahkan tidak saling cinta.”
“Cinta itu gak ada, kami juga saling membutuhkan. Jadi sudah cocok satu sama lain.”
“Lalu apa yang bapak butuhkan? Sebuah kontrak?”
“Kontrak apa?” tanya Jarvis bingung.
“Kontrak pernikahan? Dan aturan untuk ditaati jika bapak dan Meida menikah.”
“Gak perlu. Ngapain kontrak-kontrak, saya minta kamu buat bikin rincian kerugian dia. Biar bisa sedikit ngancam dia.”
***
Meida terbangun saat mendengar suara dari arah dapur. Matanya langsung terbuka membayangkan Jarvis yang memasak kemudian membuat apartemen ini kebakaran! Meida tidak mau mati muda, jadi dia keluar dengan cepat. “Huh?”
“Pagi, Bu,” sapa pelayan itu.
“Mbak, ini saya yang kerja disini juga. Kenapa panggil Ibu?” tanya Anna terkekeh dan datang pada pelayan itu. “Muka saya beda ya? Jadi keliatan tua banget.”
“Hehehe, tidak. Hanya saja kata Pak Jarvis, saya harus lebih sopan sama Bu Meida.”
“Mbak jangan gitu deh, saya jadi takut. Saya bantu ya.”
“Enggak, kan Ibu sakit. Duduk aja, nanti saya hidangkan masakannya.”
“Mbak kenapa sih ih? Ini Meida loh, bukan Bu Maemunah,” ucap Meida mencoba merebut panci.
Jarvis yang baru saja selesai berpakaian rapi itu melihat tingkah Meida yang mencoba mengambil alih dapur. Dengan rambut seperti singa, leher kaos yang longgar dan celana kumal. Dia masih memakai baju jelek? “Sini nggak?!” teriak Meida yang membuat Jarvis kaget.
Dadanya naik turun dan merasa bangga saat panci itu sudah ada ditangannya. “Biar saya aja ya, Mbak. jangan lagi manggil Ibu, saya geli dengernya.”
Bisakah hidup dengan seseorang seperti itu? Menyebalkan, miskin dan hidup yang tidak tertata? Tapi Jarvis sadar kalau hanya perempuan itu yang membuat perasaannya tidak penuh kecemasan. Bahkan kuman saja terasa bukan masalah besar, karena tubuhnya tidak mengalami reaksi berlebihan.
“Saya gak mau dimasakin sama orang yang gak rapi kaya kamu. Biarin Bibi yang masak, kamu mandi sana,” ucap Jarvis turun dengan cepat.
“Um, saya lupa apron sama alat masaknya, Pak. Maaf, saya ganti sekarang.”
“Telinga kamu dipasang ‘kan?”
Meida langsung diam, melihat sang pelayan yang memasang wajah memelas itu membuatnya tidak tega. “Maaf, Mbak, saya udah ganggu.”
“Pergi bersihin diri. terus kesini.”
“Baik, Pak.”
Jarvis sangat menyebalkan.
“Baju kamu yang kayak gitu… harus dibuang. Kalau saya masih liat baju jelek, bakalan saya ambil paksa terus dibakar.”
“Baik, Pak,” ucap Meida masuk saja daripada menanggapi Jarvis. “Dasar anak emas,” gumamnya kesal dengan sikapnya yang terlalu arogan.
Tapi satu kali lagi, Meida membutuhkan Jarvis. Jadi dia memakai dress selutut warna merah dari merk terkenal YSL. Tidak ada baju yang agak normal disini, semuanya mencerminkan Meida sebagai sosok yang kaya, padahal tidak.
“Demi orang yang alergi kemiskinan.”
Saat keluar dari kamar, Meida tidak melihat sang pelayan lagi. semua makanan sudah tertawa di atas meja. “Bapak mau dibuatkan tambahan menu?”
“Nggak, saya mau ngomong sama kamu. duduk.”
“Kenapa, Pak?”
Pria itu dengan santainya mengunyah sarapan, seolah keberadaan Meida disana tidak begitu penting. “Saya masih kesal dengan kamu yang muntah kemarin, tapi itu udah jadi masa lalu ‘kan? jadi saya maafin kamu.”
“Ehehehe, iya terima kasih, Pak.”
“Saya juga mau kasih kamu selamat.”
“Selamat atas?”
“Selamat karena kamu yang diperkosa oleh saya, jadi kamu akan dinikahi oleh saya.”