“Mei, kamu bentar lagi lulus ‘kan?”
“Iya, Bu. Ini masih magang sambil nyusun skripsi. Bentar lagi juga lulus, nanti langsung kerja di tempat yang bagus.”
“Nanti harus ganti beasiswa?” Tanya sosok yang sekarang berbaring di Rumah Sakit.
“Enggak, Bu. Mei ‘kan pilih beasiswa yang dari Yayasan luar, mereka emang pure mau bantu. Jadi gak ada ganti rugi. Magang di tempat sekarang juga karena pilihan Meida, soalnya jenjang karir disana bagus, Bu.”
“Ibu Cuma bisa dukung kamu aja. Apapun yang bakalan kamu ambil, itu yang terbaik. Maafin Ibu bisanya nyusahin kamu aja.”
“Udah tau nyusahin, malah ngomong yang negative. Nanti Mei jadi males ah, sini mending makan,” ucapnya dengan wajah yang tampak kesal. Aslinya, Meida hanya enggan membicarakan hal tersebut dengan sang Ibu.
Setelah memberi makan sang Ibu, Meida keluar dari rumah sakit. Dia duduk dulu di halte menunggu angkot lewat sambil meminum teh manis cekek. Ketika telponnya berdering, tatapan Meida sudah malas, itu pasti atasannya. Aslinya gue gak mau kerja disini, nyesel banget anjirr. Tapi kalau keluar, nanti beasiswa gue bermasalah.
“Hallo, Bu Wendy?”
“Jam makan siang mau berakhir. Mau ada rapat sebentar lagi. Kamu ini yang usulin rapat ini, kenapa telat?”
“Belum terbukti telat, Bu, saya ini diperjalanan. Jangan khawatir, saya bakalan datang tepat waktu.”
“Butuh persiapan juga, kamu pikir team saya yang lain gak capek apa? Kamu tuh magang disini, jangan sampai saya kasih nilai jelek.”
Kalimat andalah sang Spesialis departemen ketika Meida sebagai Staff Operasional. Meida juga menyesal masuk ke perusahaan ini, dia pikir orang-orangnya akan professional. Tapi senioritas tetap ada, kedatangannya juga menjadi ancaman bagi seorang Wendy. Padahal Meida merasa dirinya tidak lebih dalam hal apapun.
Begitu sampai di kantor, Meida langsung diberikan tatapan sinis oleh Wendy. “Lima menit lagi rapat dimulai. Kamu pikir persiapannya cukup dengan waktu segitu? Segala macam mau adain rapat, dimana tanggung jawabnya?”
“Maaf, Bu, tadi Ibu saya kritis jadi saya ke rumah sakit dulu.” daripada kena omel lagi, Meida memilih focus pada rapat yang dia pimpin kali ini. Mengeluarkan idenya terkait pemasaran yang lebih efektif lagi dengan memanusiakan para pekerja dibawah mereka juga.
Tepuk tangan dari Manager Senior jelas membuat Meida semakin ngeri ketika melihat Wendy. “Bagus, saya suka ide kamu. Tolong realisikan ya.”
“Baik, Pak.”
Menumpahkan rasa kesalnya, Wendy memberikan Meida pekerjaan sampai dia harus lembur. Meida mencoba untuk bernegoisasi, “Bu, saya kerjakan ini besok. Sekarang sedang tidak enak badan. Berkasnya sedang tidak diperlukan dalam waktu dekat kalau saya lihat.”
“Yang Spesialis departemen itu siapa? Saya jelas lebih tahu apa yang dibutuhkan. Kerjakan sekarang.”
Meninggalkan Meida sendirian di lantai 16 tersebut. Bergadang semalaman menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya bukan tugasnya.
Krieetttt!
“Diem lu, Setan! Bapak gue tukang selingkuh, nyiksa anak sama bininya terus punya banyak hutang, ditambah sekarang punya bini baru yang kerjanya Cuma keluarin kebun binatang! Gak usah nakutin gue! Bapak gue lebih serem! Hidup gue udah berantakan!” teriaknya di tempat yang sepi itu.
Lama-lama, Meida takut juga. “Anjirlahhh!” Apalagi tengah malam sudah tiba, Meida segera mematikan computer dan berlari menuju lift. Matanya yang tidak focus membuat Meida terjerat. BRUK! “Huaaaa! Jangan makan gue! daging gue gak enak!” teriaknya memejamkan mata.
Sampai Meida sadar kalau yang menjeratnya adalah nametag seseorang. “Bangsatt Wendy, bukan Cuma lu yang nyiksa gue, tapi nametag lu juga.” Mengambilnya dan memasukan ke dalam tas kemudian berlari menuju lift.
Lantai yang lainnya juga sudah sepi, mana ada yang lembur di awal bulan seperti ini. Lobi juga hening dan gelap. Meida baru bisa menghela napas dalam ketika keluar dari gedung tersebut. “Masih tetep serem, sepi banget. Tapi seenggaknya gue bisa lari ke manapun.”
Tidak ada angkutan umum, mobil pun jarang karena ini bukan pusat kota. Sampai mata Meida menangkap sebuah mobil dengan pria yang tampak kesakitan di dalamnya. “Kesurupan kah?” gumamnya panic. Meida segera mendekat. “Pak? situ nggak papa? Pak? Mau dibawa ke orang pinter?”
Tapi Meida tiba-tiba ditarik masuk.
“Arrghhh! Lu mau ngapain?!”
Dan pria itu melakukan hal yang b***t pada Meida. Ketika Meida hendak melawan, pria itu memberikan pukulan. Itu membuat Meida teringat dengan tindakan yang dilakukan oleh ayahnya, rasa takutnya muncul. “Lepas…. Lepasin saya… jangan lakuin ini… Tolong….”
Meida menangis ketika tubuhnya disentuh. “Stop…. Sakit… hnghhh…” pintanya dengan air mata yang menetes.
“Saya akan tanggung jawab,” ucap pria itu meraup bibir Meida dan kembali meledak di dalam sana. “Ayo lakukan lagi,” bisiknya.
***
Pria itu berhenti menyetubuhi Meida ketika pelepasannya yang keempat. Meida sudah tidak berdaya disana, dia hampir kehilangan kesadarannya jika saja tidak melihat kesempatan untuk kabur. Dengan tangan yang bergetar, Meida menatap pria yang duduk dan memejamkan mata di kursi sebelahnya. “Kurang ajar,” gumamnya mengambil pakaiannya sendiri.
Semuanya berantakan, pakaian berserakan dimana-mana da nisi dompet berceceran. Sebuah kartu nama yang membuat Meida kaget. Jarvis Bratadiama seorang Presiden Direktur dari Bratadiama Inc. Itu adalah Perusahaan utama yang membawahi Yayasan dimana Meida mendapatkan beasiswa. Pria ini bukan orang yang tepat untuk dilawan dan dilaporkan ke polisi.
Jadi malam itu, Meida memilih untuk pergi diam-diam dengan kondisi tubuh yang tidak baik. Karena keterbatasan uang, Meida bahkan harus berjalan sampai ke rumahnya. Dimana disana ada Ayah dan juga Ibu tirinya.
“Siapa sih jam 2 berisik banget?!” teriak seorang wanita yang membuka pintu.
BRUK! Meida langsung jatuh.
“Mabuk lu hah?” menatap Meida dengan jijik. “Mas! anak lu jual diri nih! Bau s****a gini!”
“Diem! Gue mau molorr!”
“Cihh! Lu kalau mau jual diri pilih-pilih pelanggan lah! Pulang-pulang dah kayak jompo gini.” Sambil menendang pelan bahu Meida. Perempuan itu segera mengangkat jari tengahnya, membuat sang Ibu Tiri terkekeh. “Masih sehat lah ya, gak usah gue bantu. Nanti kalau lu dapet duit hasil jajalin perawan, jangan lupa kasih gue.”
Aslinya, Meida menderita sekali. Di dalam kamar mandi dia menangis sambil terus mengambil air dengan gayung dan mengguyur tubuhnya. “hiks… Hiks…. Kesiksa banget gue… Hiks…. Mau nangis di bawah guyuran air aja susah… Hiks… bangke tangan gue pegel ngambili air…. Hiks… ibu…. Huaaa….” Seluruh tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Miliknya juga sakit, dan Meida jadi mual.
“Cepetannn! Gue mau buang air!” teriak Bapaknya dari luar kamar mandi.
Ingin sendiri saja susah. Pada akhirnya, Meida menangis di kamarnya. Dia sampai demam karena kejadian itu dan tidak masuk kerja selama beberapa hari. Wendy sudah memaki-makinya mengatakan Meida tidak bertanggung jawab. Tapi bukan hal mudah kehilangan keperawanannya oleh seorang pria mabuk berkuasa. Meida juga takut ketika membayangkan kejadian itu. Mentalnya perlu dipulihkan.
***
“Meidaaa!” teriak seseorang saat perempuan berambut panjang itu keluar dari rumah. Meida dipeluk erat oleh sang sahabat. “Ayok masuk dulu,” ajaknya masuk ke dalam mobil. “Lu beneran gak di apa-apain? Sumpah bilang ke gue, nanti gue bantu.”
“Nggak, gue Cuma demam biasa. Makasih udah mau ngasih tau gue.”
“Ya lu ilang tiga hari, anjiirr! Sampe gue harus hubungin lu lewat email, se-enggak mau itu ketemu orang?”
“Emang lagi gak pengen aja.”
“Hishhh! Kalau gue gak masuk Prodi waktu itu, gue gak bakalan tau kalau lu dikasih peringatan sama atasan lu buat masuk magang lagi. Gilaa… ketat banget sih aturannya, kan mereka tau lu lagi sakit.”
“Salah gue sih malah ajuin magang disana. tapi mau gimana lagi? kalau gue dikasih nilai jelek, nanti beasiswa gak sampe akhir.” Meida mendengar kalau Wendy sampai mengirim surat ke Prodi untuk memperingati dirinya yang tidak masuk selama tiga hari.
Destina sang sahabat mengantarkan Meida sampai ke depan gedung. “Mei, tawaran gue masih berlaku. Kostan bokap gue masih kosong. Mending lu tempatin biar deket juga ke kampus.”
“Nanti gue pikirin ya.”
“Gak usah gak enakan gitu, Mei. Gue sahabat lu, kita ini udah bagaikan upin ipin loh?”
“Minggir, Setan. Gue mau masuk,” ucapnya kesal dan berdecak ketika melangkah ke lobi.
Tujuannya adalah lanntai kematian, dimana perusahaan yang Meida anggap keren itu nyatanya punya sumber daya yang kurang. Begitu sampai disana, Meida melihat ada keributan. Mereka saling berbisik.
“Eh, Mei? Dah sehat.”
“Udah, Mbak.” Duduk di bangkunya dengan tenang. “Berita apa, Mbak? Raffi Ahmad jatuh miskin?”
“Ngaco! Yeuh tau henteu? Perusahaan udah resmi di akusisi sama perusahaan yang lebih gede. Nantinya kita juga bakalan dipindahin kantornya, di pusat Bandung. Walahhh, bakalan punya kantor baru.”
“Di akusisi, Mbak? mendadak?”
“Nggak juga, katanya udah ada omongan lama, Cuma sampe di karyawannya baru sekarang. Oh iya, mau ada kunjungan siang ini.”
“Sama perusahaan mana sih, Mbak?”
“Mana lagi kalau bukan Bratadiama Inc yang gedung kantornya aja gak nyatu sama yang lain.”
Meida menegang seketika. Apa? Bratadiama Inc? si Jarvis?
“Kamu juga dapet beasiswa di bawah Yayasan itu ‘kan? Jadi kayaknya nanti kamu bakalan punya peluang buat kerja netep disana.”
Meida tidak bisa berkata apa-apa karena diliputi rasa takut. Melihat pria yang memperkosanya akan datang? “Mbak, kapan mereka datangnya?”
“Nanti siang.”
“Yang datang siapa? Si petingginya langsung?”
“Kayaknya enggak deh. Direktur utama pasti sibuk, paling sama ajudannya juga. Mana mau ke perusahaan kecil macam ini.”