Tapi Jarvis segera menarik tangannya lagi karena gatal. “Kamu dimana ketika senin malam?”
Wendy mengerutkan keningnya. Ada apa ini?
“Saya…. Saya….” Wendy membaca keadaan, dipastikan kalau Jarvis sedang mencari seseorang bukan. Jadi dia menunduk enggan menjawab. “Ini nametag kamu,” ucap Jarvis mengeluarkannya dari saku. “Ada yang ingin kamu katakan?” tanya Jarvis lagi.
Wendy mengerjapkan matanya dan melihat nametagnya yang hilang. Kenapa ada di Jarvis? Bagaimana pria itu bisa mendapatkannya? Wendy diam dulu.
“Saya belum punya pacar dan ini kartu saya,” ucapnya mendekat pada Jarvis.
“Bisa kamu jelaskan malam senin itu berada dimana?”
“Saya tidak ingat, karena waktu itu saya dalam keadaan mabuk.”
Jarvis mengerutkan keningnya curiga. Otaknya tidak bodoh juga untuk mengetahui apa yang terjadi. “Saya menemukan ini, takutnya kamu kenapa-napa senin malam itu.”
“Oh, terima kasih, Pak. Saya masih… aman.”
“Baguslah kalau begitu. Apa kamu ingat kapan kartu ini hilang?”
“Saya tidak ingat apa-apa karena waktu itu saya pulang dalam keadaan mabuk, Pak.” Wendy mendekat lagi. “Ada yang ingin bapak sampaikan? Ken- Aduhh!” Wendy terjatuh dan menimpa tubuh Jarvis. Posisinya memeluk Jarvis, dimana Wendy bisa mencium aroma tubuh pria itu yang wangi. Sementara Jarvis langsung mendorongnya.
“Lepas, jangan sentuh saya,” ucapnya dengan kesal.
“Maaf, Pak.”
Jarvis langsung merasa gatal bersentuhan dengan kain kasar yang dipakai Wendy, juga aroma tubuhnya yang tidak enak. Seperti bau obat. Pahit sekali.
“Saya gak terbiasa sama skinship. Jaga jarak juga dengan saya.”
Wendy langsung mengerucutkan bibirnya dan melangkah mundur.
Ketika seseorang masuk ruangan, Jarvis menghela napas lega. Itu adalah Aldi; sang ajudan.
“Saya ada rapat ya, Di?”
“Huh? Oh iya, Pak. Harus segera pergi.”
Jarvis bergegas pergi dari sana. Orang-orang langsung berdiri saat Jarvis lewat. Yang diinginkan pria itu hanya segera mencapai lift, dan berendam di dalam air bertaburan emas. Namun sebelum dirinya mencapai lift, seseorang membuka pintu secara tiba-tiba hingga Jarvis terpental dan jatuh.
“Astaga, Pak Jarvis!” Aldi yang langsung membantu majikannya berdiri. “Bapak gak papa?”
Jarvis menatap kesal pada sosok yang membuka pintu sembarangan. “Kamu kalau buka pintu hati-hati.”
“Bapak yang meped ke tembok, kayak mau pel dinding aja. Atau emang punya kebiasaan jalan miring?” tanya Meida dengan matanya yang bengkak kemudian melangkah pergi meninggalkan Jarvis.
Semua orang kaget, termasuk Niko yang langsung mendatangi Jarvis. “Bapak nggak apa-apa?”
“Itu si gadis kentut ‘kan?” tanya Jarvis kesal. dengan wajah penuh ketenangan, Jarvis berucap, “Suruh dia bereskan project terakhir sebelum kalian pindah minggu depan.”
“Baik, Pak.”
***
“t***l! t***l! t***l! Kenapa lu malah kayak gitu?! Inget dia itu yang bikin lu dapet beasiswa, kenapa sekarang lu malah musuhin dia? Aarrgghhhh!” Meida berteriak sekencang-kencangnya di atap.
“Berteriak gak bakalan bikin masalah selesai.”
“Pak Niko.” Langsung turun dari tumpuan dan menunduk malu. “Maaf, Pak. saya kayaknya mau datang bulan, jadi bawaannya marah. Saya akan minta maaf secara pribadi pada Pak Jarvis kalau itu diperlukan.”
“Beliau akan lebih senang kalau kamu bereskan satu project yang tersisa sebelum bergabung dan pindah kantor.” Niko memberikan berkasnya. “Ini klien yang harus kamu yakinkan untuk bergabung dengan kita. Dia seorang pelukis terkenal di negaranya, dan dia berniat membuat galeri di Indonesia. Sebagai bagian dari Bratadiama Inc, akan sangat memalukan jika orang sekelas dia tidak memilih kita.”
“Oh… Pak Jarvis yang minta ini, Pak?”
“Iya, supaya kamu gak ada masalah ke depannya juga. Kamu dapet beasiswa dari sana ‘kan?”
Meida mengangguk. “Kapan pertemuannya, Pak?”
“Malam ini. Dia berdiam di sebuah hotel, kamu bisa kesana setelah pulang kerja. Dan kamu juga bakalan dapet bonus kalau nantinya berhasil.”
Setidaknya itu yang akan membuat Meida bahagia.
“Nanti-nanti kalau lagi gak mood, tahan aja apalagi itu atasan.”
“Mohon maaf, Pak.”
Karena kesalahannya, Meida harus bersiap nanti malam. Setidaknya dia harus menonjolkan perusahaan Bratadiama Inc supaya bisa mendapatkan kerjasama. Dia cukup menderita akhir-akhir ini, dan itu terjadi juga pada Jarvis yang sekarang sedang berendam dengan serbuk emas dan sabun yang dibuat khusus oleh Brand terkenal Paris.
Handuk hangat menutupi matanya, Jarvis berbaring di bathub dengan napas yang berat. “Saya sudah sterilkan kamarnya jika bapak ingin langsung istirahat.”
“Saya mau nenangin pikiran dulu. Pilih kamar hotel dengan pemandangan bagus. Sama siapin supir.”
“Baik, Pak.” Aldi melihat kulit tangan sang majikan yang masih merah. “Biasanya tidak separah ini, Pak.”
“Saya juga bingung. Malam itu dia bilang gak inget apa-apa, itu artinya bukan dia ‘kan? karena saya saja gatal ketika menyentuhnya. Atau karena kainnya yang murah? Reaksinya gini banget, bikin saya menderita dengan bau kemiskinannya.”
“Bisa jadi, karena harga kain permeter nya bisa dibawah 20ribu.”
“Pantesan aja saya gatel-gatel. Ck.”
“Mau saya selidiki ulang, Pak?”
“CCTV gak ada sepanjang jalan itu. Dasar area kantoran miskin, CCTV jadi pajangan aja.”
“Menikah itu seumur hidup, Pak. Harus dilandasi cinta juga, kalau bapak gatal terus, nanti seumur hidup tubuhnya merah.”
“Gak papa kali ya, cosplay Hellboy,” ucapnya tertawa menyedihkan. “Saya harus tanggung jawab sesuai ajarak Kakek buyut. Dia juga mau saya cepet nikah sebelum jadi ubi. Jadi kalau cewek yang saya perkosa ini ditemukan, saya akan nikahin dia bagaimanapun kondisinya.” Meskipun Jarvis tidak berharap itu Wendy.
“Saya selidiki ulang aja, Pak.”
“Harus, saya harus menemukan dia,” gumam Jarvis membuka penutup matanya. “Siall! Saya merem berapa kali, kenapa gak inget wajah dia? Semuanya buram!” umpat Jarvis kesal. “Ini semua gara-gara Jefrey!”
****
“Lu mau kemana cantik kayak gitu? Jual diri lagi?” tanya sang Ibu tiri.
BRUK! Meida menutup pintu kasar dan menghela napasnya dalam. Setiap datang ke rumah, telinganya akan panas mendengar semua caci maki. Belum lagi Ayahnya yang akan meminta uanh, Meida pusing sekali! “Kayaknya gue harus terima tawarannya di Destina nih.”
Tinggal di kostan yang ada di tengah kantor Bratadiama Inc dan Kampus, itu akan sangat menguntungkan. Kali ini, Meida pergi dulu ke salah satu hotel di daerah Dago dimana calon klien itu harus dia yakinkan. Sebelumnya Meida sudah menjalin komunikasi, sang resepsionis juga mengantarkannya ke lantai 12 sampai ke depan pintu.
“Holla! Cepat sekali kamu datang!”
Meida terdiam kaget. “Tuan bisa bahasa Indonesia?”
“Dulu saya tinggal di Indonesia selama beberapa tahun.”
“Tapi saat menelpon….”
“Saya hanya ingin mengetes sepintar mana anak jaman sekarang. Tapi bukan hanya pintar, ternyata cantik juga.”
Meida terkekeh hambar saat dipersilahkan masuk. Untungnya kamar ini memiliki ruang tamu yang terpisah, disanalah Meida mempresentasikan semua kelebihan Bratadiama Inc. “Karena kami baru bergabung dengan Bratadiama, itu akan lebih menjanjikan apabila mempercayakan semua project pada kami. Bratadiama Inc sendiri tidak hanya membawahi property, tapi juga Rumah Sakit, sarana pendidikan dan Yayasan amal. Bagaimana menurut Tuan?”
“Kamu sangat cantik.”
“Ya?” Meida mulai merasakan atmosphere yang aneh disini.
“Kalau kamu mau menemaniku tidur malam ini. Mungkin perusahaanmu bisa mendapatkan proyek dari seorang seniman terkenal. Bagaimana? Hanya satu malam saja.”
“Maaf, saya tidak bisa bermalam disini.”
“Aku juga akan menambahkanmu uang jajan. Bagaimana? Kamu pasti kesusahan ‘kan, apalagi masih magang.”
“Terima kasih. Mari kita kembali membicarakan project ini.”
Pria tua gendut itu menghela napasnya dalam. “Okelah, ikut aku. Ada desain gedung yang ingin aku tunjukan. Kalau kalian sanggup, mungkin aku pakai jasa kalian saja.”
“Saya akan menunggu disini, Tuan.”
“Aku sulit membawanya karena itu ada dalam kotak yang berat. Aku sudah tua jadi susah.”
Meida mencurigai kalau ini adalah jebakan. “Baiklah.” Jadi dia mengambil pisau buah yang ada di meja tanpa sepengetahuan pria itu. ikut masuk ke dalam dan diminta membuka kotak besi yang berat. Kecurigaan Meida berkurang, sampai pria itu tiba-tiba mendorongnya ke atas ranjang kemudian menindihnya. “Jangan takut, kamu akan mendapatkan uang setelahnya. Kamu hanya perlu permulaan.”
“Lepasss!” teriak Meida ketika pakaiannya dirobek. Ketika hendak mendorong, tubuh pria itu tidak bergerak sama sekali dan malah menggigit leher Meida.
Karena panic, Meida menusuk lengannya dengan pisau.
“Arrgghhhh!” teriaknya kuat. Meida mengambil kesempatan itu untuk kabur. Tubuhnya bergetar ketakutan, pakaiannya compang camping dan air matanya terus menetes. Meida menekan lift berulang kali, “Tolong…. Tolong….,” gumamnya dengan bibir yang pucat.
Saat lift terbuka, Meida kembali dihadapkan dengan wajah pria yang sudah memperkosanya. BRUK! Dia jatuh pingsan seketika.
“Hei, Tukang kentut!” Jarvis membuka mantelnya untuk menutupi tubuh Meida yang terbuka, dan pakaian yang tidak bermerk.