"Jadi sebenarnya justru kamu nggak diharapkan pulang ke kampung?" tanya Ryan. Kana memang tidak pernah pulang kampung bertahun-tahun.
Kana mengangguk. Dia tidak mau menceritakan apa yang terjadi malam itu, sehingga mamanya mengusirnya dari rumah. Dia hanya bercerita bahwa mamanya memang tidak menyukai dirinya karena tidak bisa dibanggakan.
"Yah," Kana menelan ludahnya kelu.
"Trus kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Ryan. Dia tampak sedikit curiga dengan Kana yang berpenampilan lebih baik dan menarik. Wajah yang bersih, kulit yang terang, namun tetap berisi dan tinggi.
"Di kos putri."
"Hm ... trus yang biayai kamu?"
Kana tersenyum tipis.
"Aku kerja di panti jompo hampir tiga tahun. Sambil bekerja aku ambil program percepatan."
"Oh."
"Aku hanya memikirkan menabung karena tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari sudah ditanggung. Hm ... aku juga lulus program beasiswa."
Ryan mengerti sekarang. Dia angguk-anggukkan kepalanya. "Wah. Kayaknya beneran ngebet jadi guru," decaknya kemudian. Dia tahu Kana bercita-cita jadi guru sejak SMP. Ryan dan Celine sendiri memilih jurusan ekonomi.
"Pasti anak muridnya seneng dan betah diajari Kana," sela Celine tiba-tiba. Dia sedari tadi menguping pembicaraan Ryan dan Kana.
Namun tiba-tiba wajahnya berubah seolah mengingat sesuatu.
"Eh, Kana. Kamu kan jurusan pendidikan. Jadi bisa ngajar dong," decaknya.
Kana tersenyum mengangguk. Dia yakin bisa mengajari anak-anak meskipun dia hanya memiliki pengalaman merawat lansia dan membimbing mereka. Kata Bu Wita lansia dan anak-anak kurang lebih sama cara merawatnya, harus dengan penuh kasih sayang.
"Hm ... Tanteku butuh guru privat untuk anaknya. Kelas dua SD. Anaknya ini kurang bisa nangkap pelajaran di sekolah. Sudah tiga kali ganti guru privat sih, karena emang rada-rada bego."
"Hush. Ayang jangan gitu ngomongnya," ujar Ryan menasihati. Dia usap-usap kepala Celine.
Kana jadi iri melihat kemesraan keduanya. Ryan begitu romantis terhadap pacarnya. Tatapan Ryan sangat beda saat menatap Celine. Tatapan penuh kasih sayang
"Iya, Yang. Si Diva ini diajari berkali-kali suka lupa melulu. Eh, Kana. Gajinya lumayan lo. Dua ratus ribu per sesi. Kamu bisa bahasa Inggris?"
Kana mengangguk pelan.
"Yah. Lumayan."
"Yang penting basic English aja sih untuk anak-anak. Bisa lebih kalo bisa bahasa Inggris. Tanteku berani bayar tiga ratus. Kalo anaknya seneng bisa setiap hari kamu ajarkan."
Kana menahan napasnya saat membayangkan besar gaji yang didapatkan jika dia menerima pekerjaan yang ditawarkan Celine.
"Aku belum pernah sih. Tapi aku mau coba," ucap Kana.
Celine menoleh ke arah Ryan yang kini malah sibuk dengan ponselnya.
"Yang. Antar Kana ke rumah Tante Kintan ya."
Ryan mengangguk. Wajahnya serius mengamati layar ponsel.
"Kenapa, Yang. Mukanya kok sebel gitu?"
"Lagi serius nih. Orang yang ganggu kamu tadi lagi dicari di terminal. Angkotnya udah ketemu,"
Celine dan Kana saling pandang, lalu tersenyum penuh makna.
"Aku nggak akan pernah lupa, Kana," ucap Celine sungguh-sungguh.
***
Sore itu juga, Kana diantar Ryan dan Celine ke rumah Tante Celine yang bernama Kintan. Rumah Tante Celine tersebut ternyata tidak begitu jauh dari kampus dan kos yang disewa Kana. Bu Kintan dengan senang hati memberi Kana kesempatan untuk mengenal anaknya dan mengajarinya mulai Minggu depan. Tampaknya anaknya senang saat berkenalan dengan Kana. Anak perempuan kecil yang bernama Diva memegang-megang perut besar Kana. Kana langsung menggendongnya sambil mengajaknya berbincang. Kana terlihat sangat kuat dan keibuan saat menggendong anak usia tujuh tahun itu.
"Mau kan belajar sama Mbak Kana?" tanya Kana dengan senyum manisnya.
Diva menggeleng tersenyum menyeringai.
Dia pegang pipi gembul Kana.
"Nggak mau manggil Mbak. Aku mau manggil teteh aja."
"Teh Kana? Boleh. Diva anak sopan."
Diva cekikikan saat turun dari gendongan Kana. Diva lagi-lagi memegang perut Kana. Matanya berbinar senang.
***
Kana merasakan hidupnya jauh lebih baik dan berkualitas sejak putus dari Abi. Dia bisa lebih fokus dengan beragam kegiatannya. Kana bisa mengatur jadwal kerja dan kuliahnya dengan baik, tanpa harus terbebani dengan masalah asmara. Apalagi mengajar secara privat sangat fleksibel. Kana bisa minta izin off mengajar sewaktu-waktu, terutama saat ujian atau mengerjakan tugas kuliah. Untungnya Bu Kintan tidak mempermasalahkan dan mengerti akan keadaan Kana. Baginya yang terpenting adalah bahwa anak satu-satunya itu mau belajar sehingga bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik.
Diva sangat senang diajari Kana. Kana bisa saja membuat suasana menyenangkan jika Diva yang sesekali tidak mood belajar. Ada saja ide kreatif Kana, dari mengajak Diva jalan-jalan dan jajan bersama, membuat permainan yang berhubungan dengan pelajaran, hingga bercerita yang indah-indah. Ternyata Diva sangat suka didongengkan.
Fina, sang sahabat, pun senang dengan keseharian Kana sekarang. Dia tidak pernah mendengar keluhan Kana lagi. Dia senang karena Kana kembali semangat seperti dulu. Kana tetap semangat menabung hingga uangnya bertambah di setiap minggu. Fina pun ikut menikmatinya. Kana kerap menraktirnya di setiap saat menerima gajian. Akan tetapi Fina juga gantian menraktir makanan untuk Kana. Fina tidak aji mumpung, karena dia berasal dari keluarga berada.
"Kemarin pagi aku ketemu Abi di warung depan. Dia nanyain kamu dan kirim salam. Dia bilang kangen kamu," ujar Fina saat mengunjungi kamar kos Kana di sore hari.
"Kok baru ngasih tau sekarang?" Kana balik bertanya. Biasanya Fina cepat memberi kabar tentang apapun yang berkaitan dengan dirinya sesegera mungkin.
"Aku ragu-ragu, Na. Takut kamu masih gimana gitu kalo aku singgung nama Abi," jawab Fina.
"Nggak ada rasa lagi. Udah hambar," decak Kana.
Fina tertawa kecil.
"Baiklah kalo begitu," ujar Fina pelan. Pandangannya tertuju ke toplesnya yang berisi kue bawang. Fina sukar terpisah dari cemilan.
"Kenapa, Fin? Ada kabar baru dari Abi?" tanya Kana.
Fina hela napas panjang.
"Dia sakit-sakitan dan nggak bisa kerja lagi. Radang paru-paru."
Wajah Kana berubah sendu.
"Tadinya aku pikir hanya akal-akalan aja sih dia bilang begitu ke aku. Supaya nanti aku kasih tau ke kamu, trus kamunya iba dan mau bertemu dengannya. Tapi ... pas aku pergi dari warung, aku dengar dia batuk-batuk parah. Aku perhatikan pas dia ke luar dari warung, dia masih batuk-batuk ... sampe ujung gang."
Kana terdiam. "Aku nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia," ujarnya pelan. Bukannya tidak peduli, Kana merasa bahwa dihina dari belakang itu sangatlah menyakitkan. Lebih baik jika dia dihina atau diejek di depannya, seperti apa yang dilakukan teman-temannya dulu, Ryan misalanya. Ah, rasanya Kana ingin memutar waktu ke belakang seolah tidak pernah mengenal pengkhianat itu.
Good, gumam Fina dalam hati, lalu dia tersenyum melihat Kana yang sekarang jauh lebih tegas.
"Aku pikir emang saatnya aku harus fokus sama diri sendiri dulu dan belum saatnya memikirkan pasangan. Aku juga nggak mau mematok usia memiliki pasangan atau menikah. Kalo emang cocok dan sejalan atau punya visi ke depan yang lebih cerah, aku akan jalani. Bagiku yang terpenting aku harus selesaikan kuliah. Hm ... prinsip kamu aku ambil yah."
Fina tertawa kecil. Dia mainkan satu kue bawang di hadapan Kana, lalu melahapnya sambil mengamati wajah Kana.
"Itu baru Kana. Yang bucin kemarin itu Kina, obat Malaria," decaknya bercanda.
Kana tepuk pundak Fina. Ada-ada saja pikiran Fina, apa hubungannya persoalannya dengan penyakit Malaria. Fina memang suka ngasal.
Bersambung