Bab.6 pria Aneh

2049 Words
Dengan sedikit terhuyung Elina yang baru saja memuntahkan isi perutnya berdiri menyandar tembok. Matanya memejam rapat, karena apa yang terlihat tampak berputar dan semakin membuat kepalanya pusing tidak karuan. Perutnya masih sedikit mual, tapi dia sudah tidak kuat lagi untuk kembali muntah. Baru setelah pusingnya berkurang perlahan El melangkah keluar menuju ke arah wastafel. Sambil berkumur dia menatap mukanya yang pucat pasi. Sudah beberapa hari ini dia selalu begini, terutama saat pagi. Rasa khawatir mulai hinggap. Meski belum pernah punya anak, tapi El tidak sebodoh itu untuk menerka penyebabnya. “Apakah kamu sudah tumbuh di sini?” gumam El lirih sambil mengusap perutnya. Dia tidak menyesal kalaupun benar-benar hamil. Sebesar apapun resikonya, El yakin mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bahkan meski tanpa Atha sekalipun, sebab sejak awal dia memang tidak ingin punya hubungan lebih dengan pria itu. Apalagi sampai dinikahi hanya karena tanggung jawab akan anak di perutnya. Tidak, dia tidak ingin semenyedihkan itu terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Baru saja dia keluar dari toilet, matanya bertubrukan dengan bosnya yang keluar dari lift. Matanya mengernyit cemas. Selama hampir sebulan ini dia benar-benar menaruh perhatian penuh akan keadaannya. El tidak ingin besar kepala, karena tahu Atha hanya peduli pada calon anaknya yang mungkin saja tumbuh di perutnya. “Kamu sakit? Mukamu pucat, El.” tanya khawatir. “Tidak, mungkin karena semalam tidur terlalu larut jadi agak pusing.” elaknya menggeleng. Atha yang sengaja menunggu tampak meraba kening sekretarisnya begitu El mendekat. Tatapannya semakin cemas mendapati dahi El yang hangat. “Badanmu agak panas, nanti pulang kantor kita mampir ke dokter dulu ya?” “Tidak usah, aku cuma kecapekan kemarin bantu beres-beres di panti dan malamnya kurang tidur.” tolaknya buru-buru beranjak kembali ke meja kerjanya. “El …” panggil Atha menyusul di belakang. Ke dokter diantar Atha, lalu bagaimana kalau nanti ternyata dirinya memang hamil? Atha pasti akan tahu, dan dia belum siap untuk menghadapi pria itu dengan segala kengeyelannya. Kehadiran anak di perutnya akan membuatnya semakin tidak bisa lepas dari genggaman bosnya. “Ada tamu Kak El,” ucap Shinta yang meja kerjanya bersebelahan. Elina yang baru saja duduk menoleh ke sofa tunggu, dia sampai lupa kalau ada janji dengan Sasha. Namun, sialnya saat beranjak berdiri dari kursinya El kembali terhuyung. Tangannya mencengkram kuat pinggiran meja sambil meringis saat kepalanya berdenyut sakit. “El …” Setengah berlari Atha segera menghampiri Elina. Begitupun Shinta dan Sasha yang mendekat dengan tatapan khawatir. “Duduk dulu!” Atha mendudukkan Elina ke kursi, sedang Shinta memberinya segelas air putih. “Kamu sakit? Mukamu kenapa sampai sepucat itu, El?” tanya Sasha. “Nggak, cuma pusing karena terlalu capek dan kurang tidur.” jawabnya meletakkan kembali gelas minumannya yang sudah kosong. “Aku ada obat sakit kepala, Kak El mau?” tawar Shinta, tapi langsung disahut keras oleh Atha. “Tidak usah, jangan kasih El minum obat sembarangan!” “Obat saya kan juga dari dokter, Pak.” “Saya bilang tidak usah, kenapa kamu ngeyel!” sahut Atha tanpa sadar setengah membentak. “Pak …” tegur Elina yang tidak tega melihat Shinta gelagapan. “Maaf,” ucap gadis berwajah imut itu, kemudian kembali ke mejanya dan meneruskan pekerjaannya. Sasha hanya mengulum senyum, lalu menarik kursi kosong dan duduk di depan meja Elina. Punya tiga anak membuat matanya jauh lebih jeli untuk menebak keadaan temannya itu. “Kamu istirahat saja dulu, sisa pekerjaan biar Shinta yang selesaikan. Sebentar lagi sudah jam pulang, kita mampir ke dokter.” “Aku cuma butuh tidur, tidak usah ke dokter.” tolak El bersikeras menolak ajakan Atha. “El!” “Aktanya sudah keluar, Sha?” Atha mendengus kesal karena Elina justru sengaja mengalihkan pembicaran dengan Sasha, dan ngotot tidak mau mendengarkannya. “Sudah, ini akta cerainya dan sertifikat apartemen!” jawab Sasha meletakkan dua map dengan berkas yang berbeda isi di dalamnya. Mata Elina berbinar senang, apalagi saat memeriksa isinya. Akta cerai, itu artinya dia benar-benar sudah mendapatkan kembali status singlenya. Satu lembar kertas yang membebaskan dia dari mimpi buruk selama lima tahun lebih pernikahannya. Sedang satunya adalah sertifikat apartemen yang ditempatinya sekarang. Elina memutuskan membeli hunian mewah itu dari suami Sasha. Iya, menang gugatan dari Hanung Pratama membuatnya bisa mendapatkan jumlah harta gono-gini yang jumlahnya sudah pasti fantastis. “Kamu membeli apartemen itu dari Bang Abi?” tanya Atha. “Iya, karena aku sudah merasa nyaman di sana. Meski sebenarnya terlalu besar untuk aku tempati sendirian,” jawab El mengangguk. “Selamat memulai hidup baru, El! Semoga semua akan menjadi lebih baik dan secepatnya bertemu Mr. Right,” ucap Sasha ikut senang sahabatnya bisa selangkah keluar dari keterpurukannya. “Terima kasih, Sha. Tanpa bantuanmu, Freya dan Pak Bos mana mungkin aku bisa melawan mereka.” Atha yang masih berdiri di samping El tampak menghela nafas lega. Mereka mengobrol sebentar, sampai kemudian Rena datang bersama Satria dengan tangan menenteng tas plastik. “Lho Sha, kamu juga di sini?” sapa Rena mendapati Sasha yang tumben datang ke kantor mereka. “Iya, mengantar akta cerai dan sertifikat apartemen milik El.” “Wah, selamat El! Kebetulan aku beli donat kesukaanmu, anggap saja kita sekarang pesta kecil-kecilan merayakan hari kemenanganmu,” ucapnya meletakkan sekotak donat di atas meja. “Terima kasih,” Elina tersenyum senang, meski sebenarnya dia sekarang tidak menginginkan makanan manis itu karena perutnya yang masih mual. Sasha membukanya, dan lebih dulu mencomot donat coklat kesukaannya. Saat mereka tampak menikmati oleh-oleh dari Rena, El justru hanya diam bertopang dagu tanpa berminat menyentuhnya. Mati-matian dia menahan perutnya yang semakin bergejolak mual, tapi karena ada Atha disana El tidak mau membuatnya berpikiran yang aneh-aneh. “Mau?” tanya Atha menyodorkan donatnya untuk El cicipi. “Nggak,” jawabnya menggeleng. Bau manis coklat menguar di penciumannya. Tangan El sampai terkepal kuat menahan supaya tidak muntah, tapi akhirnya dia sudah tidak tahan lagi. “Aku ke toilet sebentar.” Mereka hanya menatap bingung Elina yang melangkah lebar ke arah toilet dengan muka kaku dan kepala pusing. Atha meletakkan sisa donatnya hendak menyusul, tapi urung karena Sasha yang lebih dulu mencegahnya. “Biar aku saja,” ucapnya bergegas bangun dari duduknya dan menyusul Elina. “Elina sakit? Mukanya pucat,” tanya Satria. “Dia bilang kecapekan kemarin dari panti,” jelas Atha masih menatap cemas ke arah toilet. “Capek atau hamil?” “Sat!” tegur Rena menyikut suaminya supaya tidak lanjut bicara ngawur. Ada Shinta disana, bisa-bisa nanti malah ribet urusannya. Namun, ucapan Satria tak urung membuat Atha was-was. Berulang kali dia menyinggung soal itu ke Elina, tapi selalu mendapat jawaban yang sama dan juga wajah galaknya. “Shin …” “Iya Pak,” sahutnya. “Sisa pekerjaan kamu yang bereskan, Elina biar pulang istirahat dulu!” titahnya. “Baik.” “Kamu sudah tanya El belum?” tanya Satria penasaran. Atha menelan kunyahan sisa donatnya, lalu meraih akta cerai yang tergeletak di atas meja sampingnya. Sekarang tidak ada lagi sandungan jika dia ingin menikahi El nantinya. “Sering, tapi malah selalu kena omel.” jawabnya yang membuat Satria tertawa geli sekaligus kasihan. “Tidak perlu bertanya lagi ke El. Kalau memang iya, sebentar lagi meski dia bersikeras mau menutupinya pun tetap tidak akan bisa.” Masuk akal, tapi tetap saja Atha tidak tenang dan juga sudah tidak sabaran. Punya anak secepat ini sebenarnya tidak masuk dalam rencananya. Mengingat setelah putus dari Rena, dia tidak pernah lagi tertarik memulai hubungan baru dengan wanita lain. Namun, setelah kejadian malam itu tidak tahu kenapa dia malah berharap Elina benar-benar mengandung anaknya. *** Tadi sekembali dari toilet, Elina terpaksa menuruti kemauan bosnya yang ngotot menyuruhnya pulang lebih awal. Tentu saja tidak sendirian, tapi diantar oleh Sasha yang kebetulan sudah selesai dengan urusannya. Hanya saja sialnya, dia tidak bisa berkelit saat teman sekaligus pengacaranya itu memergokinya sedang muntah-muntah di toilet. Mereka tidak langsung ke apartemen, karena El malah mengajak Sasha mampir ke kedai gelato yang berada tepat di seberang apartemennya. Sedikit aneh, karena dia tidak suka gelato. Ini justru kesukaan Atha, apalagi rasa blueberry seperti yang sedang El nikmati sekarang. “Ini buat kamu! Nanti coba cek kalau tidak percaya, tapi aku yakin seribu persen ada anak buaya di perutmu.” ucapnya konyol sambil meletakkan plastik berisi testpack yang tadi dibelinya di apotik. Elina menatap gamang. Tuhan sepertinya sedang mengajaknya bercanda. Lima tahun lebih dia berusaha mencoba segala cara untuk bisa hamil. Tidak terhitung berapa kali dia mengunjungi dokter kandungan hanya untuk memastikan kandungannya tidak bermasalah, bahkan sampai suntik hormon subur. Sayang semua tidak ada hasilnya. Sekarang saat dia sudah ikhlas pernikahannya hancur berantakan karena dianggap mandul dan diselingkuhi. Justru Elina sepertinya harus siap menerima kenyataan dirinya hamil benih bosnya. Kesalahan satu malam yang kini akan menjungkirbalikkan kehidupannya. “Jangan bilang ke siapa-siapa ya Sha! Biar ke Rena sekalipun. Nanti kalau dia keceplosan ngomong ke Satria, bisa ribet urusannya.” “Nggak lah,” sahut Sasha. Elina meraih plastik dari Sasha, lalu memasukkannya ke dalam tas. Matanya menatap bangunan apartemen yang berdiri menjulang di seberang sana. Tidak apa, setidaknya nanti dia tidak akan kesepian tinggal sendirian di apartemen sebesar itu. “Aku tahu apa yang kamu khawatirkan, El. Orang tua Atha, iya kan?” tebak Sasha tepat seperti yang selalu membebani pikiran Elina. “Iya, baru saja aku bisa bernafas lega bisa lepas dari keluarga Pratama, sekarang harus berurusan dengan Ayu Nayaka. Entah kelakuan gila apa yang akan dia perbuat kalau sampai tahu aku hamil anak Atha,” jawabnya. “Harus dilawan, sama seperti dulu aku memberi pelajaran ibu Aksa dan Rena. Jangan hanya diam kalau dia mencoba mengusikmu, apalagi mulai berkelakuan bar-bar. Semakin kamu terlihat lemah, semakin dia keranjingan menginjakmu.” ucap Sasha. Elina mengangguk mengerti. Cukup sekali dia dihina dan tersakiti oleh kelakuan mantan suami juga mertuanya. Apalagi kalau memang nanti dia hamil, demi anaknya apapun pasti akan dia lakukan. Termasuk memberi pelajaran ibu Atha kalau memang sudah berkelakuan kelewat batas. “Kamu masih pusing?” tanya Sasha khawatir melihat muka Elina yang masih pucat. “Masih, sepertinya aku butuh tidur.” “Ayo aku antar pulang! Kamu tunggu sebentar, aku beli gelato yang mau dibawa pulang dulu!” ucap Sasha beranjak ke tempat pemesanan. Elina menghabiskan sisa gelato di gelasnya. Anak buaya, bibirnya berkedut ingat panggilan konyol Sasha untuk calon anaknya. Benar juga, karena bapak dari anaknya memang buaya ranjang. Sialnya lagi, dia justru terjebak dan mulai hanyut dalam pesona pria tampan yang selalu bersikap manis padanya itu. Kadang El berpikir, apakah memang seperti itu sikap Atha ke semua wanita yang dia tiduri. Ponselnya berdering pelan, tanpa sadar bibir Elina tersenyum senang melihat nama pria yang sedang memenuhi pikirannya itu muncul di sana. “El, kamu sudah sampai apartemen belum? Kenapa chatku tidak dibalas?” tanyanya dengan suara cemas. “Belum, mampir sebentar ke kedai gelato depan apartemen. Ini baru mau pulang,” sahut Elina. “Pusing kenapa malah makan es!” tegurnya. “Lagi pengen.” “Pulang langsung tidur, nanti aku bawakan makan malam. Kamu mau makan apa?” tanya Atha dengan sabarnya. Lagi-lagi Elina tersenyum lebar. Sampai kemudian tanpa sengaja pandangannya yang sedang mencari keberadaan Sasha, justru mendapati sosok pria yang menatapnya lekat. Matanya mengernyit, lalu pria itu tersenyum samar dan menunduk menikmati gelatonya seolah tidak terjadi apa-apa. “El …” “Hm …” “Kamu mau makan apa?” ulang Atha. “Aku mau ramen yang biasa kamu makan, tapi yang pedas.” “Ok, nanti aku belikan. Pulang sekarang, terus tidur. Ingat! Jangan sembarangan minum obat. Kalau masih pusing nanti aku mintakan obat ke Sifa yang aman buat kamu.” “Tha, harus banget ya gitu! Aku kan tidak hamil,” protes Elina. Suara sendok jatuh mengalihkan perhatian Elina. Pria itu lagi, sekarang malah terlihat jelas menatap Elina dengan ekspresi wajahnya yang aneh dan sulit diterjemahkan. Kali ini Elina membalasnya dengan tatapan tak suka. Risih karena sepertinya pria itu sengaja di sana dan memperhatikan setiap gerak-geriknya. Bahkan El yakin dia juga mendengar pembicaraan dengan Sasha dan Atha. “Tes dulu, kalau perlu ikut aku ke dokter buat periksa baru aku percaya kamu tidak hamil.” balas Atha membuat Elina bungkam tidak berani membantah. “Terserah!” Hanya itu yang El ucap untuk menyudahi pembicaraannya dengan Atha, sebelum kemudian menyimpan lagi ponselnya. Setelah meraih tasnya, El bergegas menghampiri Sasha yang sedang menunggu gelato pesanannya untuk mereka bawa pulang. Pria aneh, dan Elina tidak ingin berlama-lama di sana menjadi objek perhatiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD