“Kamu mau makan apa?” tanya Atha melihat Elina yang hanya membolak-balik buku menu tanpa minat.
“Kan tadi saya sudah bilang tidak lapar,” sahutnya.
“Dan aku juga tidak bercanda menyuruhmu untuk tidak melewatkan makan, supaya calon anakku di perutmu tidak kelaparan.” balas Atha.
Elina menutup kasar buku menu di tangannya dengan muka jengkel setengah mati. Bagaimana dia tidak jengah, kalau setiap hari mulut celometan bosnya selalu seenaknya saja bicara ngawur yang membuat moodnya makin berantakan.
“Tidak bisakah kamu untuk tidak mengungkit soal itu lagi! Aku benar-benar tidak ingin mengingatnya, jadi tolong sudahi omong kosong soal anak. Aku tidak hamil, dan tidak akan pernah mau hamil anakmu!” tegas Elina masih berusaha merendahkan suaranya.
“Apa maksudmu tidak pernah mau? Kalau ternyata nanti kamu benar-benar hamil, apa kamu ingin menggugurkannya?” cecar Atha mulai was-was mendengar perkataan El yang terkesan menolak mengandung anaknya.
“Apa menurutmu aku akan sekejam itu menggugurkan darah dagingku sendiri? Aku tidak hamil, dan amit-amit kalau bisa jangan sampai kejadian.” sahut El menghela nafas lelahnya.
Entah bagaimana lagi caranya untuk membuat bosnya mengerti maksudnya, dan berhenti membahas soal hamil. Atha mana paham seberapa tertekannya dia sejak kejadian malam itu. Takut kalau dia akan mengulang kisah Sasha, dan sudah pasti nanti anaknya yang akan menanggung akibat dari khilaf mereka.
“Tolong Tha, buang jauh pikiran gilamu itu! Jangan bicara ngawur lagi. Nanti kalau ada yang mendengar bisa-bisa malah bikin orang salah paham!” lanjutnya.
“Aku hanya mengajakmu untuk mulai memikirkan jalan penyelesaian jika hal itu terjadi, El. Suka atau tidak suka, selama belum seratus persen yakin kamu tidak hamil, aku akan tetap memantau keadaanmu. Karena kalau memang ada anakku di perutmu, aku akan mengambil tanggung jawab itu!” tegas Atha.
Sabar, hanya itu yang bisa Elina lakukan sekarang. Mau menghindar juga jelas tidak mungkin, karena setiap hari mereka selalu bekerja bersama. Keluar meeting, makan saja bosnya minta ditemani dan bahkan selama hampir dua minggu ini selalu mengantar jemputnya untuk ke kantor bareng. Atha juga seperti sudah kebal meski selalu dia bentak dan suguhi muka masam saat dirinya kelewat jengkel.
“Ok, setelah sudah pasti aku tidak hamil kamu harus janji akan berhenti menerorku.” ucap Elina, tapi bosnya justru tersenyum aneh.
“Kalau kali ini kamu tidak hamil, nanti kita ulangi lagi khilafnya.” sahutnya enteng.
“Tha!”
Saking gemesnya tangan Elina sampai melayang hendak memukul lengan Athaya, tapi sudah disambar duluan. Wajah tampannya tampak semakin menawan dengan lesung di pipinya saat tertawa.
“Aku bosmu, tapi setiap hari malah kenyang kamu bentak-bentak El.”
“Makanya punya mulut dijaga! Ngeselin tahu nggak!” dengus Elina masih meronta berusaha lepas dari cekalan bosnya.
Sampai kemudian seseorang tiba-tiba datang dan membuat Elina terkesiap kaget. Muka marah wanita paruh baya itu membuatnya diam tidak bergeming. Sepertinya drama keributan di pengadilan tadi akan berlanjut dengan pemeran antagonis yang berbeda.
“Apa-apaan kamu,Tha?!”
Athaya sontak menoleh, sedikit terkejut saat mendapati mamanya sudah berdiri di samping meja mereka. Elina buru-buru menepis cekalan tangan bosnya. Bisa kiamat kalau sampai kepergok Nyonya Nayaka, yang dia tahu mulut dan kelakuannya sama jahat dengan mantan ibu mertuanya itu.
“Mama kok bisa disini?” tanya Atha, kemudian celingukan mencari tahu dengan siapa ibunya datang kesana.
“Kamu tidak dengar ya pertanyaan Mama? Apa-apaan kamu sampai bertingkah kelewatan begitu dengan sekretarismu!” bentaknya setelah menarik kursi kosong di meja mereka dan duduk dengan tatapan menusuknya.
“Apa kabar, Tante?” sapa Elina masih mencoba bersikap ramah, tapi tetap sopan.
“Sejak kapan aku jadi tantemu? Tidak sopan! Begitu caramu menyapa ibu dari bosmu!” tegurnya ketus sampai Elina gelapan canggung. Tidak menyangka sapaan ramahnya justru dibalas seperti itu.
“Ma!” tegur Atha kesal.
“Diam kamu, Tha! Mama lihat kok apa yang dia lakukan tadi ke kamu. Dulu Rena, sekarang dia juga tidak tahu diri mau menggoda atasannya.” bentak Ayu Nayaka ke anaknya, lalu mata nanarnya beralih menatap Elina sinis.
“Mama yang harusnya diam. Jangan mulai membuat ulah dengan asal menuduh dan memaki orang kalau tidak tahu apa-apa! Mama benar-benar membuatku malu!” balas Atha dengan marahnya.
Kepala Elina berdenyut sakit. Sial sekali nasibnya hari ini. Belum cukup tadi dimaki-maki mantan suami dan mertuanya, sekarang malah bertemu dengan ibu bosnya yang tidak kalah galaknya.
“Pak Bos makan saja dulu, saya menunggu di luar.” pamit El tanpa sudi melongok ke ibu Atha.
Stok sabarnya sudah habis. Berlama-lama disana dan meladeni mulut pedas wanita arogan itu membuat El khawatir akan kebablasan ribut beneran.
“El …” panggil Atha, tapi sekretarisnya sudah beranjak pergi.
“Dasar tidak sopan! Ganti saja sekretaris lain yang lebih tahu diri!” omel Wanita itu menatap sengit punggung Elina yang makin menjauh.
Atha mengusap wajahnya kasar. Selalu saja begini setiap kali bertemu mamanya. Perangainya yang congkak, egois dan selalu memandang rendah orang lain benar-benar membuatnya muak. Pernah dipermalukan oleh Ibra dan Jonathan Lin nyatanya tidak membuatnya kapok.
“Salahnya El apa? Dia sudah sopan menyapa Mama, tapi malah begitu balasannya! Aku juga cuma pegawai di LinZone, Ma. Biarpun Elina adalah sekretarisku, tapi bukan aku yang menggajinya. Om Nathan dan Bang Ibra saja yang bosnya tidak gila hormat seperti Mama, sampai-sampai El juga harus memanggil Mama nyonya.” ucap Atha jengkel setengah mati.
“Dia hanya sekretarismu, jaga jarak biar dia tidak ngelunjak. Dikasih hati, sebentar lagi pasti merayu minta mampir ke tempat tidurmu! Kelakuan wanita seperti mereka itu sama saja, murahan.”
Tangan Atha terkepal kuat. Kalau saja tidak sedang di tempat umum, pasti dia sudah berteriak sekeras mungkin.
“Pantas saja Mama ditinggal papa selingkuh. Siapa yang betah hidup bersama orang sepicik dan seegois Mama,” ujar Atha saking kesalnya.
“Apa kamu bilang?!” serunya keras sampai beberapa orang mulai menoleh.
“Terserah Mama, aku sudah muak!”
Lalu Atha beranjak pergi tanpa peduli teriakan mamanya. Di meja tak jauh dari sana tampak dua orang wanita paruh baya yang Atha tahu adalah teman mamanya. Setelah memberi uang ke kasir dia beranjak keluar. Biarpun tidak makan karena belum sempat memesan, tapi mereka sudah duduk selama beberapa lama di sana.
Sampai di luar dia celingukan mencari keberadaan Elina. Mondar-mandir di parkiran, tapi tidak juga terlihat batang hidungnya. Atha hanya khawatir El tersinggung oleh mulut pedas mamanya, lalu pergi dari sana tanpa menunggunya. Baru saja dia hendak merogoh ponselnya, matanya menangkap sosok El yang sedang duduk menikmati makanan di bangku bawah pohon rindang.
“Katanya tidak lapar, tapi makan seperti orang sudah dua hari tidak bertemu makanan.” cibirnya sambil menyusul duduk di samping El. Dia menatap senang Elina yang terlihat lahap menyantap makanannya.
“Lihat ada orang jualan gado-gado kayaknya enak, jadi kepengen.” jelasnya setelah menelan makanan di mulutnya.
“Kok cepat keluar?”
Bukannya menjawab, Atha justru menyeringai dengan tatapan gelinya. El mengernyit, bingung menerka apa yang di otak bosnya.
“Pertanyaan kamu kok ambigu? Untung pas tidak di tempat tidur kamu tanya begitu.”
Seketika Elina berhenti mengunyah. Mukanya panas mendengar mulut kurang ajar bosnya, apalagi melihatnya tertawa terbahak seperti itu. Benar-benar otak mesumnya tidak ketulungan.
“Dasar otak Bapak saja yang nggak beres. Maksud saya tanya kok cepat banget keluar dari restoran, bukan cepat keluar yang itu.” dengus Elina kemudian beranjak menuju mobil.
Masih dengan menahan tawanya Atha menyusul Elina. Waktu mereka tidak tersisa banyak untuk datang ke kantor Wahana.
“Bapak sudah makan?”
“Belum,” jawab Atha memasang sabuk pengamannya, lalu melajukan mobilnya.
“Nanti berhenti sebentar, saya belikan roti dan jus. Mau?” tawar Elina, tapi Atha menggeleng.
“Aku mau makan punya kamu yang itu saja, kayaknya enak. Sini suapin!”
“Haa?!” Elina melongo menatap gado-gadonya di tangannya yang tinggal separuh dan melirik bosnya bingung.
“Tapi ini kan sisa saya, Pak.”
“Memangnya kenapa kalau sisamu? Kamu saja sudah pernah saya makan, apalagi cuma gado-gado sisamu!"
Sudahlah, Elina sudah terlalu pusing untuk berdebat dengan bos sintingnya itu. Dia beringsut mendekatkan kotak makanan bersisi sisa gado-gado, lalu menyuapi Atha yang sedang menyetir.
“Enak?” tanya El melihat bosnya mulai mengunyah.
“Makan apapun kalau sisamu pasti enak, El. Apalagi disuapin sama kamu. Terasa punya istri,” jawabnya ngelantur.
“Terserah, asal Bapak senang.” sahut Elina kembali menyuapi bosnya saat mobil berhenti di lampu merah.
“El …”
“Iya …”
“Maaf untuk omongan dan sikap mamaku tadi.”
Tidak marah, El justru tersenyum lebar. Tanpa sadar jemarinya mengusap saus kacang di ujung bibir pria di depannya itu, hingga Atha kemudian meraihnya dan digenggam erat. Elina tidak berontak, karena tahu pasti akan percuma saja.
“Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Sebenarnya aku kasihan sama mamaku, karena nasibnya juga sama seperti kamu yang diselingkuhi. Bahkan papaku sampai punya dua anak di luar sana. Tapi kalian juga lihat sendiri seperti apa sifat dan kelakuannya. Meski itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran perselingkuhan papa, tapi kadang aku paham kenapa dia sampai mencari pelarian di luar sana.” ujar Atha, tatapannya tertuju pada tangan lembut Elina di genggamannya.
“Jadi mereka bercerai juga?” tanya El hati-hati takut bosnya akan tersinggung.
“Mamaku sudah ditalak, cuma aku tidak tahu kapan mereka akan mengurus gugatan cerainya ke pengadilan. Sejak kejadian di pesta jamuan makan Om Nathan itu, papaku juga sudah angkat kaki dari rumah dan memilih tinggal bersama anak dan istri mudanya.”
Lampu menyala hijau, dan mobil mereka kembali melaju. Namun, tangan Elina belum juga Atha lepaskan. Kadang El bingung, hubungan seperti apa yang sedang mereka jalani sekarang. Bos dan sekretaris, tapi juga berbagi ranjang. Lucunya, setelah kejadian itu sikap Atha jadi manis dan perhatian layaknya kekasih. Bos rasa pacar, mungkin itu sedikit lebih tepat buat El.
Entahlah, kesannya mereka seperti menjalani hubungan yang tidak jelas. Keduanya juga tidak ingin ambil pusing menamainya, karena merasa sama-sama nyaman tanpa harus terikat status. Setidaknya begitu untuk sekarang.
“Mau makan lagi tidak?”
Barulah Atha melepas genggaman tangannya. Elina kembali menyuapinya makan. Seperti ini kalau sampai terlihat oleh nyonya yang tadi, El yakin pasti akan langsung kena jambak karena dianggap menggoda anaknya.
“El ...”
“Hm …”
“Kalau nanti kamu hamil, beri aku kesempatan bertanggung jawab menjadi ayah seutuhnya untuk anakku. Aku janji akan melakukan apapun maumu.”
“Kenapa membahas itu lagi?” protes El.
“Karena aku takut kamu akan sengaja menghindar, apalagi setelah kejadian tadi.” sahut Atha melirik cemas.
“Sudah aku bilang, aku tidak hamil. Jadi jangan mengajakku berandai-andai, apalagi membahas hal memusingkan seperti ini.” sungut El kesal sambil membereskan kotak kotor bekas makan mereka.
Tatapan El terlempar ke arah luar, mencoba menyudahi pembahasan tentang hal itu. Kalau tanggung jawab yang bosnya maksud adalah sebuah pernikahan, maka sudah pasti dia akan menolak itu. Bukan semata karena kehidupan bebas seorang Athaya yang biasa bergonta-ganti teman tidur, tapi dia juga tidak ingin berurusan dengan Ayu Nayaka.
Entah hal mengerikan apa yang akan wanita itu lakukan padanya jika dia benar-benar hamil dan Atha ngotot ingin menikahinya. Tidak, dia tidak sebodoh itu merasakan sakit hati seperti yang pernah Sasha, Freya dan Rena alami.
“El …”
Suara itu terdengar begitu dekat. Saat Elina menoleh, wajah Atha sudah tidak lagi menyisakan jarak. Dia bahkan tidak lagi punya kesempatan untuk menghindar dari kecupan pria itu.
“Jangan gila! Kita sedang di …”
Dan Atha menghentikan protesnya dengan ciuman. Tengkuknya ditarik mendekat hingga El tidak bisa menolak. Seperti ini yang membuat Elina selalu merasa takut. Takut terhanyut dan benar-benar dibuat jatuh cinta ke pria yang hatinya masih menggenggam rasa untuk mantan terindahnya itu. Tapi bagaimanapun dia berusaha lari, Atha selalu bisa meraihnya untuk kembali bersamanya dalam hubungan tanpa status itu.