Pelukan di Malam Pertama

1078 Words
Radit langsung meraih wajah Shabira dengan kedua tangannya, lalu menciumnya tepat di bibir wanita itu. Saat itu juga tubuh Shabira langsung mematung seketika dengan kedua bola mata membesar tanpa debaran jantung yang melonjak. Hanya beberapa detik saja bibir mereka saling bersentuhan, Shabira segera melepaskannya duluan. Dia menjauhkan wajahnya dari Radit yang tampak merasa bersalah karena telah menciumnya tanpa izin. Tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya, Shabira langsung menginjak kaki Radit sekencang-kencangnya, kemudian dia pergi untuk masuk ke dalam kamarnya. Injakkan kaki Shabira yang sangat kencang membuat kaki Radit kesakitan bukan main. Tapi dia langung mendekap mulutnya agar suaranya tidak sampai terdengar oleh Kanaya. “Kurang ajar tuh bocah!” Decaknya, sambil bertolak pinggang dan berjalan ke sana ke mari tak tentu arah di dalam kamarnya. “Tidak sopan sekali dia main mencium bibirku! Apa dia pikir aku ini wanita yang mudah disentuh olehnya! Padahal sudah jelas kalau usiaku jauh lebih tua darinya. Tapi, bukannya merasa sungkan, tuh bocah malah bersikap seenaknya saja padaku!” Shabira sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Dia terus mendengus kesal selama dia belum bicara empat mata dengan serius pada Radit. Gara-gara tragedi ciuman tadi, Shabira jadi tidak bisa tidur semalaman. Dia merasa gelisah dan tidak tenang sepanjang malam sampai-sampai membuat tubuhnya jadi bergerak serba salah. Ternyata, yang dialami oleh Shabira juga dialami oleh Radit. Anak muda itu semakin kebingungan kalau dia sampai benar-benar diusir oleh Shabira dari rumah tantenya itu. Hingga bertemu fajar, Shabira dan Radit malah keluar dari kamar mereka secara bersamaan tanpa sengaja. Kamar mereka yang saling berhadapan membuat pertemuan mereka langsung mempertemukan netra di antara mereka terasa canggung satu sama lain. Di satu sisi Shabira menunjukkan kekesalannya pada Radit. Sedangkan, Radit menunjukkan rasa bersalahnya. Demi mencegah pertengkaran dengan Radit, Shabira memilih untuk masuk ke dalam kamarnya kembali. Tapi, dengan cepat Radit langsung menghalanginya dengan kakinya sehingga Shabira tidak bisa menutup pintu kamarnya. “Apa yang sedang kamu lakukan?” Shabira bertanya dengan penuh curiga. “Apa kamu berniat untuk berbuat m***m padaku?” Shabira lebih mempertegas kecurigaannya terhadap Radit. “Astaghfirullahalazim, mbak Shabira. Teganya mbak Shabira mencurigai saya sampai sejauh itu.” Radit langsung mengelus dadanya. “Kalau bukan itu tujuan kamu, lalu, apa?” Shabira menunjukkan sikap menantang, seolah tidak takut pada Radit. Padahal, dibalik sikap tegasnya saat ini Shabira begitu ketakutan. Tubuhnya bergidik dalam umpatan keberaniannya. “Saya hanya ingin minta maaf saja sama mbak Shabira soal—“ “STOP!!” Shabira menahan cepat. Dia merasa tidak sanggup jika harus mendengar kata ‘ciuman’ yang akan diucapkan oleh pemuda itu di hadapannya saat ini. Mulut Radit pun langsung merapat rapi begitu Shabira melarangnya untuk melanjutkan kalimatnya. “Saya tidak mau mendengar apapun lagi alasan kamu mengenai keinginan saya untuk meminta kamu segera keluar dari rumah ini sekarang juga!” “Ta-tapi, mbak?” “Kalau memang kamu tidak mau keluar dari rumah ini, maka biar saya saja yang keluar dari rumah ini!” “Loh? Kok begitu sih, mbak? Rumah ini kan sudah disewa secara sah sama mbak Shabira. Kalau mbak sampai membatalkan sewa rumah ini, maka semua uang mbak akan hangus.” “Saya akan minta uang saya kembali pada Ibu Tantri dan hanya akan membayar uang sewa selama dua hari saja.” “Wah, mbak Shabira ini memang belum mengenal seperti apa Tante Tantri itu. Selain dia manusia yang pelit, dia juga orang yang sangat perhitungan sekali. Begitu mbak Shabira mentransfer sejumlah uang yang telah disepakati diawal kontrak dengan Tante Tantri, maka tidak akan ada pengembalian uang dengan alasan apapun!” Shabira pun terdiam begitu mendengar penjelasan dari Radit tentang Ibu Tantri. Dia cukup mempercayai perkataan Radit kali ini. “Sudahlah, mbak. Kita berdamai saja. Toh saya sudah sangat menyesal telah melakukan tindakan yang tidak sepatutnya saya lakukan pada mbak semalam. Tapi, saya berjanji kalau saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi dan saya juga berjanji kalau saya tidak akan berantakin rumah ini lagi. Janji!” Mau seperti apapun alasan atau pun janji yang Radit berikan pada Shabira, dia tetap mengusir Radit dari rumah tersebut. Setelah menyelesaikan permasalahannya dengan Radit, hidup Shabira bisa merasa lebih tenang sekarang. Dia juga bisa berangkat dan beraktivitas dengan baik untuk pekerjaannya hari ini. Shabira pikir demikian, tapi ternyata pemuda itu tidak jera. Karena sepulangnya Shabira dari bekerja, dia malah mendapati Radit sedang menunggunya di depan rumah sambil menidurkan kepalanya di atas tangannya yang melipat kedua lutut kakinya. “Apa lagi maunya tuh anak?” Shabira benar-benar dibuat pusing setengah mati oleh Radit, manusia berkepala batu yang malah semakin menyulitkan hidupnya yang sedang sulit saat ini. Shabira pun tidak mau tahu dengan apa yang akan dilakukan Radit di depan rumah kontrakannya. Dia memilih untuk pura-pura tidak melihat Radit dan berjalan melewati pemuda itu begitu saja. Akan tetapi, saat Shabira hendak menutup pintu pagar rumahnya, tubuh Radit malah terjatuh di atas aspal. Tentu saja Shabira berpikir kalau pemuda itu hanya sedang mencari perhatian darinya saja. Shabira pun mengacuhkannya dan segera masuk ke dalam rumahnya. Hingga waktu semakin malam, ketika jam menunjukkan pukul 11 malam. Shabira merasa penasaran dengan Radit. Dia mencoba melihat pemuda itu melalui jendela rumah dan ternyata Radit masih ada di sana dengan posisi yang sama pula, seperti terakhir dia meninggalkannya tadi. Kelakuan Radit membuat Shabira pusing tujuh keliling. Ingin membantu tapi dia merasa akan direpotkan sekali, tapi kalau tidak membantu dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Radit nantinya. Dengan terpaksa, akhirnya Shabira keluar dari rumah untuk membawa Radit masuk ke dalam rumah dengan memapahnya di bahunya. Shabira menidurkan Radit di atas sofa dan memberikannya segelas air putih. “Saya sudah berbuat baik sama kamu, jadi berhentilah berakting pura-pura sakit. Sekarang, lebih baik kamu pergi dari sini dan cari tempat tinggal yang jauh lebih baik dari rumah ini, karena penghuni rumah ini saat ini, sebenarnya bukanlah orang yang baik!” Shabira mencoba mengajak Radit bicara meski kedua mata Radit masih tertutup rapat dalam setengah kesadarannya. Merasa semua ucapannya diabaikan oleh Radit, Shabira pun menarik paksa tangan pemuda itu. Tetapi, dia malah mendapati suhu tubuh Radit yang panas tinggi. Tanpa bisa menolak keberadaan Radit kembali, Shabira malah harus terjaga untuk merawat Radit yang sedang sakit hingga dia tertidur di samping Radit, saking lelah tubuhnya setelah seharian beraktivitas. Malam itu menjadi malam yang penuh kehangatan dalam perasaan mereka yang selama ini berantakan karena bertubi-tubi masalah yang hadir di dalam hidup mereka masing-masing. Pelukan yang tanpa mereka sadari di saat mereka terlelap justru membuat mereka merasakan kenyamanan tanpa kesadaran yang hanya bisa mereka rasakan dalam mata tertutup. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD