Ternyata Aku Merindukan Kamu

1196 Words
“Mbak Shabira. Bangun, mbak.” Radit mencoba membangunkan Shabira yang masih tertidur dalam pelukannya. Shabira membuka satu persatu matanya yang terasa sangat berat. Dia melihat Radit tampak sangat dekat sekali dengan wajahnya. Kesadarannya memang masih belum penuh, tapi setelah dia mempertegas tatapan matanya dengan dua bola mata terbuka normal, barulah Shabira sadar sepenuhnya kalau yang ada di hadapannya memanglah Radit. Detik itu juga Shabira langsung mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga membuatnya terjatuh dan tersungkur di atas lantai. “Aww!!” Radit mengeluh kesakitan, lantaran dorongan tangan Shabira cukup kuat di saat tubuhnya masih sangat lemas. “Mbak Shabira apa-apaan sih pakai dorong tubuh saya segala? Saya kan jadi jatuh. Mana badan saya masih lemas sekali.” Radit berucap manja sambil menunjukkan tubuhnya yang masih belum sehat. Mendengar dan melihat itu membuat Shabira kesal sekali. Dia hanya bisa merapatkan kedua matanya demi bisa menahan kesabarannya menghadapi bocah itu. “Kamu memang manusia yang tidak tahu berterima kasih. Sudah saya kasih hati, tapi kamu malah minta jantung!” Decak Shabira. “Sebenarnya, mau kamu apa sih? Apa mengganggu hidup orang yang baru kamu kenal adalah bagian dari hobi kamu?” Radit terdiam melihat kemarahan Shabira. Dia menunjukkan rasa bersalahnya karena sudah membuat sulit wanita itu. “Begini ya, Radit. Sejujurnya, alasan saya datang ke ibu kota karena selain saya butuh sekali uang untuk membiayai keluarga saya yang ada di kampung, tapi juga saya ingin hidup dengan tenang karena permasalahan yang menimpa saya selama ini. Jadi, saya minta tolong sekali sama kamu. Kita ini yang tidak saling mengenal akan berakhir dengan tidak saling mengenal lagi. Saya mohon.” “Baiklah, kalau memang itu yang mbak Shabira inginkan.” “Setelah hari ini, saya benar-benar tidak mau melihat kamu lagi.” Kata Shabira mengatakan dengan suara pelan namun penuh keseriusan. Radit pun segera bangkit dari atas lantai. Tubuhnya yang masih terasa sangat lemas tidak bisa dia tutupi dari Shabira meskipun Shabira mengira kalau dia sedang berbohong. Setelah kepergian Radit, hari-hari Shabira malah terasa sunyi dan kelabu. Entah apa alasannya sampai dia merasa seperti itu, tapi dia jadi sering memikirkan Radit. Suatu hari, Shabira kembali dipertemukan dengan Radit. Saat itu Radit sedang bersama dengan seorang perempuan muda ketika Shabira sedang bekerja. Pertemuan itu membuat keduanya saling menatap dengan canggung. Hanya senyuman tipis yang terlukis di wajah mereka. Shabira pikir kalau Radit sudah menemukan tempat tinggal baru, karena perempuan yang bersama dengan Radit terlihat sangat menyayanginya. Ternyata, pertemuan itu tidak hanya sekali saja, melainkan setiap hari. Shabira sendiri tidak pernah tahu ke mana tujuan Radit setiap kali berkunjung ke gedung perkantoran itu. Dia tidak memiliki keberanian untuk bertanya, tetapi setiap kali Radit datang ke gedung itu, dia selalu ditemani dengan perempuan yang sama. Hari ini hujan turun cukup deras, Shabira tidak membawa payung sama sekali. Sedangkan, hari semakin larut dan tidak ada seorang pun yang menunggu hujan bersamanya. Saat Shabira ingin menerobos hujan lantaran hujan tidak kunjung berhenti, tiba-tiba saja Radit datang dan menawarkan payung padanya. Payung itu tidak hanya ditawarkan untuk Shabira tapi juga payung itu telah dibuka dan Radit bersedia untuk memayunginya. “Ayo, mbak. Kita payungan bersama!” Radit menawarkan dengan penuh senyuman hangat. Shabira dibuat terkelu dengan sikap manis Radit yang sulit untuk dia tolak. “Saya tidak akan mengganggu mbak. Saya hanya ingin membantu mbak saja, karena sejak tadi saya lihat mbak hanya diam saja menunggu hujan berhenti. Sedangkan, hujan bukannya reda malah semakin deras.” Shabira benar-benar merasa canggung dan bingung harus mengatakan apa. Sampai akhirnya yang keluar dari mulutnya malah kalimat tidak terduga yang Radit dengar. “Saya lapar. Saya kelaparan dari tadi.” Shabira menurunkan wajahnya dengan rasa malu yang tidak tertahankan. Mendengar Shabira mengakui itu padanya malah membuat Radit langsung tertawa kecil. Tanpa berpikir dua kali, dia langsung melepaskan jaket yang dikenakannya untuk dipakaikan di punggung Shabira, lalu tangan kanannya menggengam hangat tangan Shabira untuk mengajak makan malam di tempat yang nyaman. Deg! Shabira merasa semakin sulit untuk menghindari genggaman tangan Radit. Seolah dirinya menerima perlakuan manis Radit padanya begitu saja, tanpa dia mau mengakuinya kalau sebenarnya... “Aku merindukanmu, mbak.” Ucap Radit. Yang justru mengatakannya lebih dulu sebelum hati Shabira mengatakannya secara tersembunyi. Deg! Untuk yang kedua kalinya pemuda itu berhasil membuat jantung di d**a Shabira berdegup kembali dalam waktu yang bersamaan. ** Shabira makan cukup lahap. Radit yang duduk di depannya terus memandanginya tanpa berhenti tersenyum. “Mbak Shabira makan selahap itu, apa mbak kelaparan sekali atau memang karena makanannya enak?” “Dua-duanya. Aku baru tahu kalau ada ramen seenak ini dekat tempat kerjaku.” “Kenapa mbak mau saja bekerja seperti itu? Harus berdiri seharian hanya akan membuat kaki mbak kesakitan.” Radit malah bertanya di luar pembahasan soal makanan. “Apa yang kamu tahu soal cari uang? Kamu masih terlalu muda dan mungkin belum pernah merasakan punya hutang banyak dan harus makan nasi kecap, saking tidak punya uang.” “Apa mbak Shabira sudah lupa, kalau aku pernah mengatakan pada mbak di awal pertemuan kita, aku ini benar-benar tidak punya cukup uang untuk menyewa tempat kos apalagi untuk makan sehari-hari?!” “Iya, aku sengaja lupa. Karena jelas aku tidak bisa mempercayai semua alasan kamu itu. Aku yakin, kalau sebenarnya hidup kamu tidak sesulit itu.” Shabira mengangkat wajahnya lalu menatap tegas Radit yang tampak kikuk setelah Shabira mengatakan itu padanya. “Mbak Shabira sok tahu.” “Radit, saya ini pernah ke rumah Ibu Tantri dan rumah beliau bak istana. Sampai-sampai saya tersasar saat masuk ke dalam rumahnya. Jadi, mustahil kalau keponakannya semiskin saya. Sedangkan, barang-barang kamu bermerk semua. Ponsel, laptop, tas, sepatu, dan barang-barang lainnya yang kamu pakai dari ujung rambut sampai ujung kaki kamu.” “Wah, ternyata selama ini mbak Shabira perhatian sama aku.” “Aku?” “Iya, aku. Apa mbak Shabira tidak sadar kalau sejak tadi mbak juga menyebut diri mbak dengan sebutan aku? Hanya kalimat yang barusan saja yang sedikit berubah jadi saya lagi. Itu artinya...” Radit mendekatkan wajahnya dengan wajah Shabira. “Mbak Shabira mulai merasa nyaman saat berada di dekat aku.” Lanjutnya, mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar. Shabira tidak bisa percaya kalau diusianya yang sudah 35 tahun malah harus mengalami hal sekonyol ini. Bertemu dengan seorang pemuda seperti Radit. Bagaikan ketiban duren, antara sakit tapi enak. Itulah istilah yang tengah Shabira rasakan saat ini untuk perkenalannya dengan Radit. Bahkan, senyuman Radit mampu melemahkan Shabira. Rasa lelah yang dia rasakan belakangan ini punah seketika setelah bicara banyak dengan Radit seperti ini. “Aku mau ke toilet dulu.” Shabira segera bangkit dari kursi dan meninggalkan ponselnya di atas meja begitu saja. “Aku lagi kan sebut diri mbak ke aku.” Radit kembali meledek, dan membuat Shabira merasa malu setengah mati. Tidak lama Shabira pergi, sebuah pesan masuk ke ponsel Shabira dan tanpa sengaja Radit membaca pesan tersebut melalui notifikasi. Pesan yang berisi, “[Bira, tolong secepatnya kamu transfer uang ke nomer rekening ini. Bapak sama ibu tidak punya uang untuk biaya berobat Nala, karena kalau Nala tidak segera dibawa ke dokter, sakitnya akan semakin parah.]” Setelah membaca pesan itu, Radit jadi berpikir banyak soal kehidupan Shabira. Siapa Shabira? Pertanyaan itu mulai Radit pertanyakan. Dia mulai penasaran dengan sosok Shabira yang sebenarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD