Pekerjaan semuanya sudah selesai, bosnya juga sudah masuk ke dalam ruangan. Untuk meeting kali ini Sella tidak ikut, tapi nanti saat meeting di luar, barulah dia mendampingi. Baru separuh waktu di sini, alhasil Sella belum mempunyai teman atau kenalan. Yang baru Sella kenal hanya Shania, tapi Sella tidak tahu wanita itu di mana.
Berhubung tidak tahu mau apa, Sella memilih merebahkan kepalanya. Semalaman Sella tidak tidur, itu semua karena dia harus bekerja di club. Kerja semalaman, Sella baru pulang jam dua pagi. Boleh saja sekarang dia sangat mengantuk.
"Sella!"
"Sel, mau makan siang bareng? Ini jam makan siang, kenapa kamu di dalam terus?"
Kedua mata Sella baru saja mau terpejam, tapi sura Shania sudah terdengar di telinganya. Memang selain Shania siapa lagi yang tahu namanya? Sella melirik ke arah pintu, wanita penuh ceria itu melambaikan tangannya.
"Ayo, Sel, cari makan. Ini jam makan siang, pekerjaan kamu bisa dipending," ujar Shania lagi. Wanita itu masih teramat sabar dengan respon lambat yang Sella berikan. Apa dia masih kagok?
Merasa tidak mendapat respon, Shania masuk menghampiri Sella. Ditatapnya Sella dengan seksama, lalu dia duduk di bangku. Walaupun belum tahu secara detail, tapi Shania bisa menebak kalau umur Sella ada di bawahnya. Entah satu atau dua tingkat.
"Apa ada masalah, Sel? Pak William marah?"
"Engga ada, Shan, aku cuma bingung aja mau ngapain. Aku ga kenal siapapun di sini, tadi aku ke toilet sekalian cari kamu, tapi kamu ga ada."
"Oh, iya, tadi aku masih ada kerjaan. Yaudah sekarang kita cari makan ya? Nanti sekalian aku kenalin sama yang lain." Shania tidak membutuhkan jawaban Sella, dengan riang dia menarik pergelangan tangan Sella untuk ke luar dari dalam ruangan.
Kedua wanita itu berjalan beriringan, sesekali Shania menyapa atau membalas sapaan yang dia dapat. Sedangkan Sella? Wanita itu hanya bisa tersenyum kikuk. Wajar saja, masih hari pertama. Ada atau tidaknya teman, Sella tidak terlalu memusingkan. Karena semenjak Ayahnya bangkrut, jatuh sakit, fokus Sella hanya mencari uang agar tetap bisa hidup.
"Sel, tunggu sebentar ya? Aku mau cari Keysa sama Naura. Kamu gapapa tunggu sebentar?" Sella hanya mengangguk mengiyakan ucapan Shania.
Sella mundur dua langkah ke arah tangga. Sambil menunggu Shania Sella menatap keseliling. Banyak sekali karyawan berlalu-lalang dengan wajah riang. Sebetulnya Sella agak insecure, karena penampilannya sangat sederhana, beda dengan mereka semua. Mungkin kalau dulu Sella merasa sepadan, beda dengan sekarang.
"Sella? Sedang apa kau berdiri di sini?"
Lamunan Sella buyar. Layaknya maling tertangkap basah, Sella gelagapan sendiri. Bukan Shania yang menyapa, namun William. Sella mundur, dia berusaha menjaga jarak dengan bosnya itu.
"Lain kali buka mulutmu kalau ada yang bertanya, apa lagi itu atasan." Setelah mengatakan itu William bergegas pergi meninggalkan Sella. William tidak mau terpancing, sebisa mungkin dia bersikap santai. William tidak sendirian, sejak tadi ada pria berpakaian baju formal yang berdiri di sampingnya. Pria itu bukan asistennya, Sella sendiri tidak terlalu kenal.
William memang sudah pergi, tapi tidak dengan pria itu. Pria itu masih setia menatap Sella dengan lekat. "Kau ... kau Sella? Sella an--"
"Paman Edward? Mari ikut aku ke dalam ruangan." Belum sempat Edward meneruskan kata-katanya, namun William sudah lebih dulu memanggil.
Edward tidak mengucapkan kata pamit pada Sella, dia langsung pergi menghampiri William. Berbeda dengan Edward, sedangkan Sella masih terdiam. Yang tadi siapa? Kenapa dia bisa tahu namanya?
"Ada apa, Sel? Tadi Pak William? Apa kamu dikasih tugas?"
Sella dengan cepat menggeleng. Tidak ingin membahas William, Sella mengajak Shania dan kedua temannya untuk ke luar dari kantor. Mereka berempat jalan beriringan, Sella juga sudah berkenalan dengan Keysa dan Naura.
"Tadi Pak William sama Pak Edward bukan sih, Shan?"
"Apa iya? Aku cuma liat Pak William sih," sahut Shania. Sungguh, dia tidak tertarik membahas bosnya itu. Jam istitahat, harusnya mereka melupakan urusan kantor sejenak.
"Pak Edward siapa?" Sella menatap ketiga wanita di dekatnya.
"Yang tadi berdiri di depan kamu, Sella. Pak Edward itu Om sekaligus orang yang menghandle perusahan. Pak William itu ga tinggal di sini, kayaknya dia baru datang," sahut Naura dengan cepat.
Sella membulatkan mulutnya, tetap mengangguk walaupun dia masih kurang paham dengan hubungan para pria itu. Tapi ya sudah, untuk apa difikirkan? Apa pula untungnya? Sella hanya bingung, kenapa pria bernama Edward itu bisa tahu namanya?
"Sel, Nau, kalian mau pesan apa?"
"Aku pesan ayam bakar aja deh, sama lemon tea," jawab Naura tanpa melihat isi menu. Apapun menu yang ada, ayam bakar tetap favoritenya.
"Kalau kamu, Sel?" Shania mengalihkan pandangannya ke arah Sella.
Aduh, mampus, Sella lupa! Sella tidak membawa uang lebih, karena semua uangnya ada di Daniar. Ada sih uang, tapi itu untuk ongkos pulang. Sella menggaruk pelipisnya sekilas.
"Aku pesan lemon tea aja, lagi ga lapar soalnya, hehe." Sella tersenyum kikuk ke arah Shania.
"Sotonya tiga, nasi ayam bakar satu, lemon tea empat, Mbak, udah itu aja." Shania kembali menyebutkan kembali pesanannya, dia pun tidak perduli penolakan Sella. Masa iya mereka bertiga makan, tapi ada satu orang yang diam saja?
***
Beberapa berkas sudah Sella siapkan. Sebelum benar-benar mengantar, Sella lebih dulu menenangkan dirinya. Sesuai permintaan, William meminta dokumen kontrak kerjasama yang belum dia sentuh sama sekali. Walaupun hari ini William menampilkan sisi malaikat, tetap saja Sella panik sendiri.
"Oke, Sella, lo pasti bisa. Semua kerjaan lo benar, ga mungkin kena semprot." Sella menarik napasnya dalam-dalam, perlahan dia menghembuskan.
Selama berjalan ke arah ruang kerja William tidak henti-hentinya Sella berdoa. Banyak pasang mata menatap, namun Sella hanya bisa tersenyum untuk saat ini. Langkah kaki Sella berhenti tepat di depan ruangan William. Sella merasa, ruangan di depannya lebih cocok disebut neraka.
Dua kali Sella mengetuk, langsung terdengar sahutan dari dalam. Dengan penuh awas Sella menatap William, ternyata pria itu sedang menerima telepon. Entah dari siapa, tapi kalau dari nada bicara yang lembut, bisa saja pria itu menerima telepon dari orang tuanya.
Selagi menunggu, Sella menatap keseliling ruangan dengan wajah polosnya. Ruangan ini sangat nyaman, sedikit mirip dengan ruangan Ayahnya dulu walaupun tidak sebesar ini. Sesekali Sella melirik William, lalu dia kembali menatap ke arah jendela.
"Sella?"
"I-iya, Tuan? Maaf, saya ke sini mau antar berkas kontrak kerjasama dari beberapa perusahaan. Mereka menunggu konfirmasi secepatnya, Tuan." Sella menaruh berkas bawaannya ke meja, lalu dia mundur kembali.
William tidak menanggapi berkas pemberian Sella. Sambil menggendurkan dasi William berjalan mendekati Sella. Diangkatnya wajah pucat pasi itu dengan jari telunjuk panjangnya.
"Apa saya semenyeramkan itu di matamu?"
***