Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, tentu saja itu sangat telat dari waktu yang William wanti-wanti kemarin. Telat dua puluh menit saja sudah ngamuk, apa lagi telat sejam? Tapi Sella tidak punya pilihan, untuk saat ini dia hanya bisa pasrah. Semua kemarahan William sebisa mungkin akan Sella terima, tapi tidak dengan tawaran tidur dengannya.
"Lagi-lagi telat? Tuan William sudah menunggu selama satu jam lebih, Nona. Kau itu calon sekretarisnya, kau yang menghandle semua jadwal. Kau tahu? Jadwal tuan Will sudah berantakan."
"Habis riwayatmu, Nona."
Langkah kaki Sella terhenti, telinganya sangat jelas mendengar kata-kata yang terlontar. Tanpa mencari siapa orangnya, tanpa perlu memastikan, Sella tahu itu ditunjukan untuk dirinya. Tidak apa, berhubung dia memang salah, makanya Sella memilih diam. Karena untuk membuat pembelaan akan percuma, baik William atau asistennya mempunyai sifat keras yang sama.
"Andrew, urus perintah tuan Will yang tadi. Dan anda mari ikut saya masuk ke dalam." Tanpa aba-aba, tanpa menunggu jawaban, pergelangan tangan Sella dicekal, lalu dipaksa untuk segera masuk ke dalam.
"Maaf, saya boleh bertanya?" Hati-hati Sella mengeluarkan suara sambil melirik pria dingin di sampingnya.
"Saya bukan customer service, saya pun tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan anda."
Sella mengumpat hebat di dalam hati. Kenapa semua orang di sini sangat menyebalkan? Tidak atasan, tidak asisten, mereka bertiga tidak ada bedanya di mata Sella. Walaupun hatinya sedang ketar-ketir, tetapi Sella berusaha santai tanpa menampilkan raut ketakutannya. Sebelum hari ini, kemarin dia sudah bertemu dengan Ronald, sahabatnya. Pria itu bilang, sekalipun kita takut, lebih baik jangan ditampilkan. Karena kalau ditampilkan lawan kita akan merasa menang.
Hari ini, Sella menerapkan saran Ronald.
Beberapa kali pria di depannya mengetuk pintu, lalu detik berikutnya mereka masuk. Niat hati mau tetap stay cool, tetapi mental Sella seketika ciut saat dia tidak sengaja beradu tatap dengan William. Sella sempat berfikir kalau William itu bukan manusia, tapi iblis pencabut nyawa. Entah sejak kecil makan apa sampai dewasanya arogan seperti ini. Satu lagi, apa dia tidak punya hati nurani?
William yang sedang duduk memberi kode kepada asistennya untuk ke luar. Tanpa suara memang, tetapi Zaffan sangat mengerti. Pria itu mengangguk, lalu pergi tanpa mengeluarkan suara. Menyadari pria di depannya pergi, sontak saja Sella terus menatap bahkan dia sampai membalikan tubuhnya. Walaupun pria itu sama menyebalkannya, tetapi Sella sempat melihat sisi baik seorang Zaffan kemarin.
"Kali ini, penjelasan apa yang ingin kau utarakan, Nona? Silahkan buka suara, buatlah penjelasan sedramatis mungkin, saya akan mendengarkan dengan senang hati." William memutar-mutar tubuhnya di atas kursi kerjanya.
Tidak ada kemarahan, tidak ada bentakan iblis. Sella melirik William di depannya. Saat pandangan keduanya bertemu Sella bisa melihat senyum William. Tentu Sella merasa ini lebih menyeramkan, apa yang sedang pria iblis itu rencanakan?
"Kenapa diam?"
"Maaf, Tuan, maaf atas kesalahan saya. Saya tau terlambat, tapi saya punya alasan."
"Apa macet masih menjadi alasan?"
Sella menggelengkan kepalanya. "Ayah saya ngedrop tadi pagi, mau tidak mau saya harus mengurusnya dahulu. Bagi saya tidak ada yang lebih penting dari keselamatan orang tua."
"Memangnya Ayahmu sakit? Sakit apa?"
"Gagal ginjal, Tuan. Ayah saya sering drop, jadi saya harus membantu."
William mengangguk-anggukan kepalanya. Terlihat tidak ada raut kebohongan di wajah Sella. Akan tetapi, William tidak perduli.
"Saya turut prihatin kalau memang itu alasannya." William berujar dengan nada dramatis. Sebetulnya dia ingin mendoakan agar pria tua itu tidak selamat.
Ini aneh. Sella bergidik ngeri mendengarnya. Walaupun begitu, Sella tetap menghargai kata-kata tulus yang William lontarkan. "Terima kasih, Tuan, kalau anda mau mengerti. Kalau memang saya tidak bisa bekerja di sini, ya tidak masalah. Soal hutang akan tetap saya bayar nanti."
"Kau bisa mulai hari ini, nanti dibantu Zaffan atau Shania. Soal rumah sakit Ayahmu, biar saya yang mencover, anggaplah bantuan kecil. Kau baru mulai bekerja, belum dapat gaji."
"Benarkah? Tapi tidak perlu, Tuan, nanti say--"
"Saya tidak pernah menerima penolakan, Sella."
***
Hari ini masih terasa aneh untuk Sella. Walaupun telat hampir satu jam lebih, bahkan Sella sempat berfikir terkena amukan, tapi semuanya salah. Semua fikiran negatif Sella seperti kena tebas dengan realita yang ada.
Sudah hampir tiga jam lebih Sella bergelut di depan laptop, bantuan demi bantuan pun terus berdatangan dari Shania dan Zaffan. Sesuai perintah William, kedua orang itu benar-benar membantu Sella memulai pekerjaan.
"Apa ada kendala lagi? Bagian mana yang belum kamu mengerti?"
Hening.
"Sella?" Tepukan di pundak membuat Sella gelagapan.
"Iya, kenapa? Ada apa?"
Shania tertawa. Ternyata sejak tadi Sella sedang melamun? Lalu, sejak tadi untuk apa Shania panjang lebar menjelaskan. Ingin rasanya Shania menarik rambut Sella saking gemasnya. Shania menarik kursi ke samping Sella, lalu dia duduk sambil memperhatikan raut wajah Sella yang terlihat gugup. Apa wanita di depannya masih takut?
"Sella, are you okay? Wajah kamu pucat, kamu sakit?"
"Engga, engga! Itu, aku cuma gugup aja. Aku takut semuanya salah atau kurang maksimal. Aku belum pernah kerja di kantor sebelumnya, bahkan jurusan kuliahku bukan bidang ini." Sella menatap takut wanita di sampingnya. Walaupun Shania bersikap lemah lembut, entah kenapa Sella masih saja awas dengan semuanya.
Terdengar suara tawa lagi dari Shania. Sepertinya wanita itu sangat humoris, atau bahkan selera humornya rendah. Tangan Shania terulur menepuk pelan pundak Sella. "Tenang, Sel, aku di sini akan bantu kamu sebisanya. Bukan bidang keahlian, tapi bukan berarti ga bisa. Emang kuliah ambil jurusan apa? Btw, kantor ini ga terima part time loh, apa lagi posisi sekretaris."
"Aku cuti buat kerja. Aku ambil jurusan sastra, soalnya aku suka menulis. Jadi, dihadapkan tumpukan dokumen plus isi layar laptop, langsung pening."
"Ah, anak sastra? Sayang banget harus cuti. Yaudah, kita sambung obrolannya nanti pas istirahat. Hari ini Pak William ada meeting besar sama para pemegang saham, lalu beberapa meeting lainnya. Kamu lebih baik atur jadwal waktu supaya ga bentrok. Setelah itu follow up dokumen kerjasama dari beberapa perusahaan ke Pak William. Kalau begitu aku permisi dulu, Sel."
Mulut Sella mengatup rapat mendengar penuturan Shania. Apa otaknya mencerna? Oh, tentu tidak! Sella mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Diminum, biar santai. Pekerjaan itu jangan dibawa beban, tapi dicerna, dijalankan dengan hati dingin."
Posisi Sella yang masih memukul-mukul kepala sembari menutup mata, perlahan mengangkat wajahnya.
William.
Astaga!
Sella bangkit dari duduknya, sebisa mungkin dia bersikap tenang sambil menunduk. Sella tidak berani menatap, takut kena semprot tiba-tiba.
"Coffe untukmu, supaya tidak tegang. Nanti ikut meeting dengan saya, persiapkan semuanya segera. Satu lagi, biaya rumah sakit Ayahmu sudah saya bayar." Setelah mengatakan itu William kembali ke luar dengan langkah santai.
Sella menerjap. Apa bosnya itu kesurupan?
***