4

1103 Words
Pinka sudah menghabiskan makanan dan minuman yang Ayah Samuel bawakan untuknya. wajahnya terus memandang keluar jendela. Rasanya Pinka ingin berlari keluar dari pekerjaan hina ini. "Sudah selesai makannya? Minumnya habis?" tanya Samuel pada Pinka. "Hemm ... Sudah Ayah," ucap Pinka lirih. "Kita jalan -jalan yuk," ajak Samuel agar pinka mau keluar dari persembunyiannya dan menyerahkan putrinya kepada laki -laki yang mengaku bernama Fatih. Pinka menoleh ke arahnya dan menatap lekat. Tak biasanya sang Ayah mengajak dirinya jalan -jalan malam. Ini sesuatu yang di luar dugaan Pinka. Sekilas , pinka jadi mengingat jaman Pinka kecil dulu yang selalu mengajak kedua orang tuanya pergi hanya sekedar berjalan -jalan saja tanpa mmeinta sesuatu, hingga Pinka ingat sekali, saat itu ia berjalan -jalan di pinggir pantai dan melihat lelaki yang usianya lebih tua sedang melempar batu ke air di pantai. "Kamu sedang apa?" tanya Pinka saat itu. "Pergi kamu. AKu tidak mau di ganggu!!" teriak lelaki itu ketus dan masih melempar batu kerikil yang ada di tangannya ke arah pantai. "Namaku Pina Kartika, biasa di panggil Pina," ucap Pinka sambil mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Lelaki itu hanya melirik ke arah tangan Pinka dan mengabaikannya. "Kata Bunda, gak boleh bersentuhan dengan yang bukan mukhrim," ucap lelaki itu lalu pergi. "Hei ... Tunggu, ini kalung kamu jatuh," ucap Pinka memungut kalung lionton yang bisa di buka. Disana ada foto dua orang dewasa yang kemungkinan adalah kedua orang tua lelaki itu. Sampai kini kalung itu masih tersimpan baik dan d pakai oleh Pinka. Pinka berharap bisa bertemu dengan lelaki yang pernah bertemu dengannya itu. *** Samuel dan Pinka berjalan di trotoar. Pinka masih memakai pakaian seksi dan hanay di tutup jaket jeans milik Ayahnya agar punggung dan dadanya tidak terekspos sempurna membuat para lelaki hidudng belang meneteskan air liurnya saat melihat gundukan gunung kembar yang montok dan berisi serta mulus itu. "Kita mau kemana Ayah?" tanya Pinka lirih. "Ayah mau minta maaf dari hati ke hati. Kalau Ayah punya salah sama kamu, Pinka. Jangan pernah benci Ayah jika kamu merasa kehidupan kamu itu tidak sebaik teman -teman seusia kamu," ucap Samuel lirih dan menunduk menatap langkah kakinya yang memelan. "Ayah bicara apa? Pinka sayang sama Ayah. Pinka ikhlas bekerja seperti ini, asal Ayah jangan menjual kehormatan Pinka dan Pinka tetap bisa menjaga diri Pinka agar tidak melepas kevirginan Pinka bagi lelaki yang tak baik," ucap Pinka menjelaskan. Deg!! Deg!! Deg!! Dada Samuel bergemuruh kencang sekali dengan jantung yang terus berdetak keras. Rsa bersalahnya makin terus mengguncang mmeebuat wajahnya terlihat panik. "Ayah punya voucher menginap di hotel Amarilis. Malam ini, kita menginap disana dan mencicipi makanan enak. Ini kesempatan emas, Pinka," ucap Samuel berbohong. "Ayah dapat voucher dari mana? Lalu, Madam Rose tahu soal ini?" tanya Pinka pada Ayahnya. "Tidaj tahu. Ini dari bos yang sering mengirim martini ke kafe. Dia bialng, ada voucher khusus karena ada peningkatan pembelanjaan martini satu bulan ini," ucap Samule semakin mencari celah untuk berbohong. Pinka mengangguk paham dan percaya. Tiba -tiba tubuh Pinka tersa merinding dan sekujur tubuhnya speerti panas. "Ayah ... Kok badan Pinka rasanya begini. Pinka mau tiduran Ayah, Pinka ... Tidak kuat ini saki kepala," ucap Pinka yang mulai merasakan reaksi obat bubuk untuk menambah gairah tadi. Samuel tahu persis, kalau Pinka sudah menginginkan hasrat itu. Lihat saja, keringat dingin sudah membasahi keningnya. Samuel menelepon pria yang telah membayarnya tadi dan menanyakan ia berada di kamar nomor berapa agar bisa mengantarkan Pinka di nomor kamar hotel tersebut. "Ya ... Baik. Saya di kamar tujuh lima tujuh," ucap Fatih dengan senyum smirknya. Wanita yang ia pilih adalah wanita yang di sukai oleh Ayahnya. Kali ini, Pinka tak akan selamat karena sudah menghancurkan keluarganya, membuat Ibunya sellau bersedih karena suaminya berubah drastis sikap dan sifatnya. Samuel mengangguk dan mematikan teleponnya. Lalu, menagntarkan Pinka ke kamar yaang di maksud. Karena panik dan cemas,melihat Pinka yang sudah terlihat memucat, Samue pun sampai lupa nomor kamar hotel tadi. "Berapa nomor tadi. Kenapa aku lupa," batin Samuel pada dirinya sendiri. Ia merutuki kebodohannya dan menekan angka lima pada tombol di lift. "Sepertinya lima lima tujuh. Ya, ada limanya dan ada tujuhnya, itu pastis nomornya dan aku tidak salah," ucap Samuel pada dirinya sendiri. Samuel mengetuk kamar itu dan tak ada jawaban. lalu mencoba membuka kamar itu. Kamar dengan bau parfum khas laki -laki menyengat di seluruh ruangan. Pinka yang mulai fly dan teler di rebahkan di kasur dan jaket yang di pakainay di lepas oleh Samuel agar terlihat menarik. Samuel pun segera pergi dari sana dan duduk di taman depan hotel. Apa aku harus pergi? Biar ku tinggalkan Pinka sendiri? Atau bagaimana? Pinka tentu marah besar padaku. Samuel menelepon Madam Rose dan bilang ingin melunasi hutang -hutangnya. Tentu saja, Madam Rose bertanya -tanaya, dari mana Samuel mendapatkan uang sebanyak itu. Samuel sendiri tidak banyak bicara, ia hanya mengirimkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah hutangnay dan Samuel pergi ke tempat yang sangat jauh tanpa bisa di cari lagi. Samuel sengaja membuang jaket dan ponselnya yang telah di taman. Samuel sengaja meninggalkan jejak itu dan ia seegra pergi ke kota lain untuk menebus dosa -dosanya. *** Sean keluar dari kamar mandi dan menatap pintu kamarnya yang tidak terkunci. Tadi, Sean memang sempat mendengar ada suara seseoarng masuk, tapi Sean sama seklai tidak menggubrisnya. Ceklek ... Sean mengunci pintu kamarnya dan berbalik berjalan untuk memakai baju. betapa terkejutnya ia melihat sosok gadis cantik yang sudah ada di kasurnya. "Kamu siapa?" tanya Sean dengan ketus dan dingin. Pinka yang masih setengah sadar pun duduk sambil memegang kepalanya yang pusing. Lalu menatap ke arah Sean yang bertelanjang d**a dan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. "Kamu yang siapa? Ini kamarku. Kata Ayah, Ayah dapat voucher menginap gratis," ucap Pinka yang mulai merasakan aneh kembali di tubuhnya saat melihat tubuh Sean yang kekar, atletis dan berotot itu. Tampak seksi sekali, di tambah rambut Sean yang masih basah dan airnya masih menetes di bahu lelaki tampan itu, membuat Pinka semakin menggigit bibirnya. Obat serbuk peningkat gairah itu sudah mebuat Pinka tergila -gila. Pinka melepaskan sepatu hak tingginya yang berwarna pink blik -blink. Lalu menghampiri lelaki itu yang berjalan mundur hingga punggungnya menbrak dinding kamar yang terasa dingin. "Kamu ganteng banget sih ... Hemmmm ... WAngi lagi, ini parfum yang aku suka," ucap Pinka lembut sambil mengecup d**a Sean hingga memebuat lelaki itu terkejut dan merinding di sekujur tubuhnya. Lelaki itu malah tertarik pada kalung yang di pakai Pinka. Liontin berbentuk hati yang hilang belasan tahun. "Apakah kamu gadis itu?" tanya Sean pada Pinka yang tak mendengar ucapan lirihnya itu. Seketika Pinka mulai tak bisa mengendalikan tubuhnya dan kedua kakinya terus terhuyung hingga tubuhnya memeluk erat Sean. "Ya Tuhan, ini anugerah atau malah musibah," ucap Sean lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD