8

1048 Words
Pinka menatap ke arah bawah. Pinka tidak tahu kenapa bisa ada di kamar Sean. Ini semua ulah Ayahnya, pasti Ayahnya tahu sesuatu. Pinka menggelengkan kepalanya pelan lalu melirik ke arah Sean yang menunggu jawaban Pinka. "Aku tidak tahu Kak. Ayahku bilang, dia mendapatkan voucher gratis menginap di hotel Amarilis ini. Tapi ternyata di kamar ini ada orang alin selain Pinka, dan Ayah malah pergi," ucap Pinka polos dan jujur. Sean melempar pandangannya ke arah kafe Lupi yang berada di tempat target Sean. Ya, kawasan itu akan dilakukan penggerebekan karena sudah di kenal sebagai tempat transaksi obat haram sekaligus tranksaksi perdagangan wanita Tok ... Tok ... Tok ... "Pengantar makanan!!" teriak seseorang dari luar pintu kamar Sean. Pinka dan Sean menatap ke arah pintu kamar dansaling menatap. Pinka langsung membuang pandangannya ke arah lain menikmati kota kecilnya yang etrnyata indah bila di lihat dari ats seperti ini. "Kamu tunggu disini. Jangan kesana," tegas Sean pada Pinka. Pinka mengangguk paham. Sean berjalan ke pintu dan membuka pintu kamarnya. Ada seorang pelayan mengantarkan meja sajian berbentuk rak kecil beroda dan ingin masuk ke dalam, namun di halangi oleh Sean. "Biar aku saja yang membawanya ke dalam. Ini tips untukmu," ucap Sean pada pelayan itu yang mengangguk paham dan pergi dari sana. Sean masuk sambil mendorong meja sajian itu lalu memanngil Pinka untuk segera makan. "Pinka, Ayok kita makan. Kamu pasti lapar," ucap Sean pelan. Pinka masuk dan mencium aroma makanan yang super enak dan sepertinya terasa lezat. Sean sudah duduk di atas kasur dan meletakkan meja sajian itu dan Pinka ikut duduk di tepi kasur itu. Sean melirik ke arah Pinka yang nampak masih malu -malu. "Ayo makan. Gak usah malu -malu," titah Sean pada Pinka. Sean sudah mengambil satu piring nasi goreng seafood dan mulai menikmatinya. Pinka juga mengambil satu piring nasi goreng dan mulai menikmatinya. "Ekhemm ... Jadi kamu tinggal dimana?" tanya Sean lagi. "Ehh .. Pinka? Pinka ikut Madam Rose dan tinggal di Kafe Lupi. Ayah sudah menjual rumah untuk membayar hutang -hutangnya bekas pengobatan Ibu," ucap Pinka jujur. "Ohh ... Ibu kamu sakit?" tanya Sean pada Pinka. "Iya. Sakit," jawab Pinka pelan. "Sakit apa? Sekarang dimana?" tanya Sean makin penasaran. "Di Surga. Ibu sudah tidak sakit lagi," jawab Pinka dengan kedua mata berkaca -kaca. Pinka memangku piringnya, dan tak bernafsu lagi untuk melanjutkan makan nasi gorengnya. "Maaf ya. Aku tidak bermaksud untuk membuat kamu sedih. Lanjutkan makannya, nanti kamu sakit," ucap Sean pada Pinka. Pinka mengagguk kecil dan mengaduk -aduk makanannya. Sesekali membuat suapan kecil dan menyuapkan ke dalam mulutnya. "Gak apa -apa Kak. Ekhemm Kak ...," panggil Pinka lirih. "Ya ... Apa? Kalau mau sesuatu kamu bilang saja," ucap Sean dengan senyum manisnya. "Kalau ada kerjaan. Pinka mau kerja di tempat lain saja," ucap Pinka lirih. Rasanya berat meninggaalkan Kafe Lupi, sudah lama Pinka bekerja di tempat itu sebagai Purel. Sudah banyak teman yang senasib dan mengadu nasib bekerja sebagai Purel. Cibiran, dan hinaan tentu sudah kenyang bagi mereka yang tak mau ambil pusing soal itu. Tapi, mau sampai kapan Pinka terjerat dunia malam seperti itu. Malam ini saja, kehormatannya hampir saja lewat. Untung saja Sean masih sadar dan ingat dosa. Sean menatap lekat pada dua bola mata Pinka yang terlihat sedih. "Kerja? Bukankah kamu sudah kerja?" tanya Sean. "Sudah. Tapi mau sampai kapan Pinka menjadi purel seperti ini?" tanya Pinka lirih. "Ekhemm ... Memang kamu lulusan apa?" tanya Sean kembali. Mungkin saja ia bisa menitipkan Pinka pada teman -temannya yang memiliki toko atau usaha kecil -kecilna di rumah. "SMK," ucap Pinka lirih. "Nanti aku carikan. Apa saja kan?" tanya Sean pada Pinka. "Iya apa saja, yang penting halal," ucap Pinka tersenyum. "Pastinya. Ohh ya. Kamu mau istirahat atau mau kembali? Tapi ini sudah jam tiga dini hari," ucap Sean pelan. "Kalau tidur disini dulu gak apa -apa? Gak ngerepotin kan? Besok pagi, Pinka pulang ke kafe," ucap Pinka pelan dengan nada memohon. Sean mengangguk kecil dan tersenyum, "Selesaikan makan kamu dan istirahatlah. Besok pagi temani aku makan di bawah, lalu kamu baru boleh pulang. Gimana? Setuju?" Sean menyipitkan kedua matanay dan menunggu jawaban Pinka. "Setuju Kak," jawab Pinka dengan perasaan bahagia. Malam itu sungguh melelahkan, perut Pinka sudah kenyang dan mulai merebahkan tubuhnya sambil memejamkan kedua matanya yang sama seklai tak bisa tertidur padahal lampu kamar dan lampu tidur sudah di matikan. Sean sendiri duduk di balkon sambil meminum kopi dan menatap kawasan dunia gemerlap yang mulai padam semua lampunya. Sean memang sudah dua hari ini berada di hotel dan memperhatikan aktivitas di kawasan itu. Sesekali wajahnya menoleh ke arah Pinka. rasanya berat melepas Pinka kembali ke dunianya dan pastinya Pinka akan ikut tertangkap lalu di masukkan ke dalam dinas sosial untuk di berikan pemberdayaan. "Apa sebaiknya ku sewa saja gadis itu untuk menemaniku di sini sementara waktu hingga penggerebekan itu di lakukan," batin Sean sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Pinka adalah gadis polos yang jujur. Sepertinya apa yang di kerjakan Pinka saat ini tak sepenuhnya dari hati, mungkin ada paksaan dari pihak tertentu. *** Pinka sudah terlelap. Hordeng di kamrarnya memang tidak di tutup oleh Sean, bahkan pintu balkon masih terbuka lebar dan sayup -sayup terdengar suara seseorang sedang membacakan ayat. Pinka mengerjapkan kedua matanya dan membuka perlahan. Terlihat Sean sedang berdiri dan akan melakukan rukuk. Ternyata Sean sedang melaksanakan sholat. Suara yang begitu lembut dan menenangkan di ahti Pinka. Pinka sengaja tidak terbangun dan tetap berada di kasur menunggu sampai Sean selesai. Tak berselang lama, Sean mengucap salam dan berdoa lalu mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya tanda doa sudah di akhiri. Sean melipat sajadah dan melepas peci hitamnya lalu meletakkan di atas meja rias lalu menatap liontin danemmbukanya. Rindu Sean pada Ayahnya. "Selamat pagi Ayah. Terima kasih sudah mengajarkan segala yang baik untuk Sean," ucap Sean lirih. "Kak ...," panggil Pinka yang sudah terduduk di kasur. Sean terkejut dan menoleh ke arah Pinka. "Ya ... Kamu sudah bangun?" tanya Sean lalu berjalan dan duduk di tepi ranjang dekat Pinka. "Bisa ajarin Pinka sholat?" tanya Pinka dengan wajah memerah malu. Pinka sudah siap di tertawakan, jika memang Sean ingin mentertawakan dirinya yang tidak bisa sholat apalagi baca al Qur'an. Semenjak ibunya sakit, Pinka sudah sibuk mengurus ibunya dan berjualan dagangan tetangganya untuk menyambung hidup. waktunya habis. "Ajarin sholat?" tanya Sean mengulang. "Iya. Bisa kan?" tanya Pinka lagi. "Bisa. Sangat bisa," jawab Sean senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD