Sean sudah selesai lebih dulu. Mengguyur semua tubuh dan kepalanya dengan air dingin. Sean harus bisa menahan hasrat ini dan tidak mengulang aktivitas m***m ini agar tidak melakukan lebih jauh lagi
Sean sudah memakai baju lengkap dan menelepon bagian resepsionis untuk memesankan beberapa makanan dan minuman. Sean mengambil handuk lain dan menyiapkan baju untuk Pinka pakai.
"Sudah selesai mandinya?" tanya Sean lembut yang masuk kembali ke dalam kamar mandi untuk melihat keadaan Pinka.
Pinka termenung di dalam bathup, merasakan aromaterapi mint yang membuat tubuhnya semakin rileks.
"Sudah. Ini mau bilas. Bisa kamu keluar dulu?" ucap Pinka meminta. Kepala Pinka sudah mendingin dan bisa berpikir jernih. tubuhnya juga sudah lebih enak dan tidak terasa panas.
"Oke baiklah. Ini handuknya bisa kamu pakai. Lalu aku hanya ada kemeja ini. biar baju kamu di cuci dulu oleh OB di ruang laundry. Sementara pakai ini tidak apa -apa?" tanya Sean lirih.
"Iya gak apa -apa," jawab Pinka dengan suara ramah.
Sean menggantungkan handuk dan kemeja untuk Pinka lalu keluar lagi dari kamar mandi dan menutup kembali pintu kamar mandi. Pinka keluar dari bathup dan mengguyur tubuhnya dengan air bersih di bawah sshower yang sudah di atur untk mengeluarkan ar hangat. Kedua mata Pinka terpejam. Bisa -bisanya ia melakukan perbuatan gila seperti tadi. Itu semua di luar nalar dan di luar kendali Pinka. Tentu saja Pinka akan malu bila bertemu Sean. Sean akan menganggap Pinka seperti w************n yang haus akan seks, padahal sama sekali tidak begitu.
Pinka mengelap tubuhnya dengan handuk kering dan menggulung rambut panjangnya dengan handuk tersebut yang di satukan hingga ke bagian atas. Kemeja Sean yang besar cukup panjang di pakai Pinka hingga setengah paha. Lengannya juga harus di gulung hingga sikut agar tidak mengganggu aktivitasnya. Pinka melihat dirinya memakia kemeja besar itu di tubuhnya. Kancing kemeja paling atas berada tepat di atas dadanya. Mana bahannya tipis sekali, tentu tubuh bagian dalamnya yang tak menggunakan apapun bisa di lihat oleh Sean.
Pinka berusaha tetap tenang dan bersikap masa bodoh, lalu keluar dari kamar mandi berjalan menuju ranjang yang sudah tertata rapi. Pinka ingat betul, ranjang itu tadi begitu berantakan dan jelas di ingatannya betapa hina dirinya minta di sentuh oleh Sean. Pinka duduk di tepi ranjang dan menunduk lalu mengambil bantal untuk ia peluk.
Sean masih berada di balkon dan sepertinya sedang menelepon seseorang sambil mengawasi sesuatu di bawah sana. Pinka tidak mau tahu soal itu. Pinka hanay berpikir, kenapa Ayahnya tega melakukan ini padanya. Lalu, kemana Ayahnya pergi? Meninggalkan Pinka di kamar dengan pria lain.
Sean berbalik dan begitu kaget melihat Pinka sudah berada di ranjang.
"Kamu sudah dari tadi duduk dis itu?" tanay Sean gugup. Sean takut identitasnya terbongkar sebagai polisi sekaligus intelegen.
Pinka menggeleng, "Baru saja. Tadi aku lihat kamu sibuk menelepon. Makanya aku duduk disini." Suara Pinka bergetar dan terlihat gugup. Ingin rasanya keluar dari kamar ini dan kembali ke Kafe Lupi.
Sean meletakkan ponselnya di atas meja rias dan ikut duduk di tepi ranjang di sebelah Pinka.
"Aku sudah pesan makanan. Kita tunggu makanann itu datang, lalu kamu makan. Wajah kamu terlihat pucat, pasti kamu sudah lapar," ucap Sean pelan.
Pinka mengangguk kecil. Pinka bingung harus bicara apa. Ia malu pada dirinya sendiri, menyodorkan tubuhnya untuk di sentuh dan di cicipi oleh Sean. Hina betul perbuatannya itu.
"Ma -maafkan aku soal tadi. aku tidak tahu, kenapa bisa begitu," ucap Pinka terbata.
"Iya gak apa -apa. Aku juga minta maaf kalau aku tidak bisa mengendalikan diriku dan sudah menyentuhmu," ucap Sean yang terus mearsa bersalah.
"Ini semua salahku. Namaku Pina Kartika, panggil saja Pinka," ucap Pinka memperkenalkan dirinya kembali dan mengulurkan tangannya pada Sean. Sean menerima uluran tangan itu sekarang. Berbeda dengan belasan tahun yang lalu dimana Sean malah pergi meninggalkan Pinka saat Pinka mengajaknya berkenalan.
"Aku Sean," jawab Sean singkat.
Pinka melepaskan liontin yang selama ini ia pakai dan mengembalikannya pada Sean.
"Ini milikmu kan? Maaf kalau aku pakai selama ini. Karena aku berharap ada yang bilang, itu milikku, tolong kembalikan, dan ternyata aku bisa bertemu pada pemilik liontin ini," ucap Pinka sambil memberikan liontin itu pada Sean.
"Foto itu pasti Ibumu? Ibumu cantik seklai. Maaf kalau aku lancang melihat foto itu," ucap Pinka lirih. Pinka hanya sedih karena sudah tak memiliki Ibu. Ibunya telah bahagia di surga dan tak merasakan sakit.
Sean menerima liontin itu dan membuka kembali liontin itu untuk melihat wajah Ayahnya yang telah gugur di medan perang.
"Ya ... Dia Ibuku, wanita paling hebat yang selalu mencintai aku. Makanya aku meminta maaf soal tadi. aku teringat ibuku, untung saja hal itu tidak terjadi, aku pasti berdosa besar telah melecehkan harga diri dan masa depan seorang gadis," ucap Sean jujur.
Deg ...
Deg ...
Deg ...
Dada Pinka bergemuruh keras. Tangannya meremas kemeja di bagian dadanya. Masih terasa hisapan bibir tebal Sean yang terus menodai kulit mulusnya tadi. Kuncup dadanya masih terasa berdenyut merasakan kenikmatan itu. Pinka terus menatap Sean tanpa berkedip dan menutup tubuhnya yang terbungkus kemeja dengan bantal.
Sean menagngkat wajahnya. Sean sadar dirinya sedang di tatap oleh Pinka.
"Kamu kenapa? Dadamu sakit?" tanya Sean masih merasa bersalah. Tangan Sean reflek ingin menyentuh d**a Pinka.
Pinka mengeglengkan kepalanya dengan cepat. "Jangan sentuh aku!!" teriak Pinka keras.
Sean tersentak dan mencoba menenangkan Pinka, bahwa tidak terjadi apa -apa tadi. Sean juga ketakutan, takut jika Pinka bicara yang tidak -tidak nanti.
"Ma -maaf jika sudah melukaimu," ucap Sean lirih.
Sean bangkit dari duudknya dan meletakkan liontin itu dii meja rias lalu keluar dari kamarnya menuju balkon. Penat sekali otaknya sekarang. Masalah kerjaannya belum juga selesai di jalani, ini malah di tambah masalah baru.
"Maafkan aku, Kak Sean. AKu yang salah. Tidak sepatutnya aku membencimu, seharusnya kau berterima kasih, karena kamu sudah menjaga kehormatan Pinka. Aku bekerja di sana. Kafe Lupi, aku bekerja sebagai Purel, bukan wanita penghibur seperti yang kau ucapkan tadi. Aku bukan perempuan sehina itu, bahkan tadi yang kita lakukan itu paling jauh yang pernah aku rasakan," ucap Pinka lirih. Tubuh polosnya sudah di lihat oleh Sean. Apakah dirinya masih suci? Atau memang dirinya bisas di samakan dengan wanita penghibur lainnya jika sudah begini?
Sean melirik ke arah Pinka. "Kamu purel? Lalu kenapa bisa masuk ke kamarku?" tanya Sean bingung.