Bab 15. Ambigu

1077 Words
“Jangan pernah kepo dengan alam ini dan jangan pernah menunda kepulanganmu, jika kamu tak ingin menyesal,” sahut Vanueza. “Memangnya kenapa? Apa ada yang salah?” tanya Yozico tampak penasaran. Adnan dan Vanueza hanya bisa saling bertatapan mata. Mereka tak dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Satu kata membocorkan di mana mereka sekarang, maka konsekuensinya kematian untuk mereka sendiri. “Nggak apa-apa, kok. Bulatkan niatanmu untuk pulang saja, maka nanti kamu akan tahu jawabannya,” jawab Eza. Yozico yang keras kepala, justru merasa penasaran dengan perkataan mereka. Ada apa di sini, sehingga sudah menemui tiga orang aneh yang memintanya untuk pergi. “Nggak, aku ingin di sini dulu. Banyak hal yang tidak aku temui di luar sana dan menjadi keindahan di sini.” Yozico tetapo kekeh dengan keinginannya. “Terserah, kami hanya bisa mengingatkan,” jawab Vanueza dengan ketus. Kret!! Pintu rumah kayu ini perlahan terbuka. Tampak seorang cowok masuk ke dalam rumah ini. “Hufft, tadi aku lihat anak baru masuk rumah ini. Aku pinta untuk pergi, tapi dia malah pergi. Aku tak bisa menemukannya kembali,” ujar Arka. Dia cowok pertama yang di temui Yozico tadi. Dia yang menjaga di air terjun itu, guna mengingatkan untuk anak yang baru masuk di dunia ini. Arka mendudukan tubuhnya ke kursi bersama Adnan dan Yozico. Arka masih beum menyadari jika anak cowok yang ia temui saat ini bersama mereka. “Dia bukan?” tanya Vanueza seraya menunjuk ke arah Yozico. Arka menatap ke arah Yozico. “Apa tadi kamu yang ada di air terjun?” Mereka saling melihat dari ke jauhan jadi hal wajar jika wajah mereka kurang jelas dalam penglihatan. “Iya,” jawab Yozico.                                                                        Diluar badai bak tak mengizinkan untuk Arka mengantarkan Yozico untuk pergi dari dunia ini. “Di luar sedang badai. Besok, aku antarkan di mana kita bertemu tadi. Lebih baik, kamu pergi dari sini secepatnya dari pada kamu menyesal,” ujar Arka. “Kenapa, sih? Sepertinya kamu dari awal selalu memintaku untuk pergi dari sini. Iya, aku bagaikan tamu di sini, tapi alasannya apa untuk memintaku pergi. Toh, ini bukan dunia kalian sendiri, jadi nggak ada masalahkan jika aku ingin tahu?” Yozico malah mengejek Arka. Arka yang mencoba mengingatkan justru merasa kesal. Dia berdiri dan menarim tubuh Yozico mendekat ke arahnya. Kepalan tangan Arka siap-siap menghantam ke perut Yozico saat ini. “Hei, untuk apa sih kalian bertengkar? Kita sampai kapan pun tak bisa mengatakan apa alasan kami mengusirmu, tapi hal itu justru yang mendasari kami untuk mengantarkan kamu pulang. Kamu, semakin jauh di sini bukan kesenangan yang kau dapatkan, justru penyesalan. Ini dei kebaikan kamu.” Vanueza mencoba menengahi. “Sudahlah, buat apa kita bertengkar? Nggak ada gunanya. Toh, jika nanti dia di sini selamanya, hal itu pasti muncul penyesalan. Nah, di saat itu, tak ada lagi yang bisa ia salahkan selain dirinya sendiri. Kita lihat, sampai kapan dia bertahan. Pada akhirnya hanya dua pilihan yang ada. Pergi dan lupakan semua atau, menyesal untuk tinggal selamanya? Simple, kan?” Adnan dengan mudah mengatakannya. Arka menghempaskan tubuh Yozico. Dia dengan kesal kembali duduk di sini. “Kalian megusirku tanpa ada alasan yang jelas. Jadi, bagaimana aku percaya jika suatu penyesalan bakal menghampiriku?” Yozico seakan-akan menantang mereka. “Terserah! Yang terpenting kita sudah mengingatkan. Jika kami bisa pulang, kami pun tak akan tinggal di sini. Untuk alasannya, kita sampai kapan pun tak akan pernah bisa mengatakannya. Kami hanya terikat dua hal yaitu, diam menikmati penyesalan atau berbicara untuk kematian.” Arka mengatakan itu dengan ketus. “Sudahlah, kalian para cowok memang selalu ribet. Istirahat sana, bertengkar bukan malah menyelesaikan masalah tapi malah bikin rumit semua ini. Aku istirahat dulu,” ujar Vanueza. Dia melangkahkan kaki menjauh dari ketiga cowok yang memiliki ego dan karakter masing-masing. Yozico masih dengan keegoisannya sedangkan Arka yang tahu tentang semua ini, ingin menolong tapi tak mampu untuk mengatakan alasannya. Dalam hati Arka berkata, ‘Memang terdengar bohong, jika dunia sebagus ini tak ada seorang pun yang tertatik. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, namun terhalang konsekuensinya. Aku diam, sama sama menyeburkan orang itu dalam naungan iblis ini.’ *** Keesokan harinya, terdengar suara riuh di luar sana. Suara cicitan burung terdengar jelas. Yozico perlahan membuka matanya. Dia tak melihat siapa pun di dekatnya, padahal semalam dia tidur terbaring di lantai beralaskan karpet bersama Adnan dan Arka. Dia dengan wajah malas, memutuskan untuk keluar melihat apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat satu pria yang usianya tak begitu jauh dengannya. Dia duduk di pohon yang sudah di tebang dan dengan di kelilingi hewan di dekatnya. Seekor raja hutan pun terlihat begitu jinak dengannya. “Hei!” teriak Yozico ingin menyapanya, tetapi dia tak tahu siapa namanya. Pria itu menatap ke arah Yozico saat ini. Senyum manis terlihat di raut wajahnya saat ini. Pria itu bernama Gio, dia berusia dua tahun lebih tua dari Yozico, Arka dan Vanueza. Usia tepatnya dua puluh tahun saat ini. Dia beranjak dari tempat duduknya, lalu melambaikan tangan ke Yozico. “Kemarilah,” ajak Gio. Yozico yang takut akan Singa itu, dia hanya bisa menjawab dengan menggelengkan kepalanya. “Kamu takut?” tanya Gio. “Iya, aku takut,” jawab Yozico apa adanya. Gio malah mendekat ke telinga singa itu seakan-akan sedang berbisik padanya. Singa itu pun berdiri dan berjalan menjauh dari mereka berdua. “Nggak apa-apa sini.” Gio melambaikan tangan  lagi ke arah Yozico. Yozico yang masih khawatir jika singa itu akan kembali, dia berjalan dengan sangat lamban. “Kenapa? Kamu takut? Tenang, dia nggak akan kembali kaalau tak panggil.” Gio mencoba meyakinkan Yozico. “Gio.” Gio menyodorkan tangan untuk memperkenalkan dirinya. “Aku Yozico.” Dia membalas jabatan tangan Gio. “Kamu baru di sini?” tanya Gio. Dia kembali menganggukkan kepalanya. “Kalau ingin pulang, bilang saja, ya. Biar aku antarkan ke jalan masuk dengan segera. Jangan sampai kau sudah terikat di sini baru ingin pulang. Aku tak ingin basa-basi, semakin lama kamu di sini, semakin tubuhmu akan melekat di dunia. Kamu ....” Gio mengatakan itu, namun bagi Yozico ucapannya tetap sama ambigu dengan yang lain. Duaar!! Langit sekan-akan tak mengizinkan Gio untuk berbicara, sehingga terdengar guntur yang keras menghentikan ucapannya. “Kenapa? Ucapanmu sama dengan mereka,” jawab Yozico. “Sudahlah, memang kami tak jauh berbeda. Hanya ingin mengingatkan, tak perlu kamu tahu banyak akan hal ini, cukup kamu bulatkan tekad untuk pergi dari sini,” tegur Gio. Yozico hanya menghela napas. Dia tetap merasa aneh dengan ucapan mereka yang tak di sertai dengan alasan yang jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD