Player in the game
“Bangun, Nak. Mama di sini.” Mama Yozico masih kekeh memanggil-manggil nama anaknya. Mereka yang panik, hanya bisa menguatkan satu sama lain.
___
Sedangkan Yozico, dia berjalan semakin jauh hingga bertemu dengan air terjun yang memiliki beberapa warna. Dia kagum akan keindahan alam yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Burung-burung berterbangan di sana, namun saat ia lihat semakin jauh tampak ada seseorang yang duduk di tengah bebatuan di air terjun itu.
“Hei!” teriak Yozico ke anak itu.
Anak laki-laki itu pun menoleh ke arah Yozico. Dia tampak kecil, sebab dia berada di atas air terjun itu. Anak itu bernama Arka, dia laki-laki berusia delapan belas tahun. Dia seusia dengan Yozico.
“Pergi!” teriak Arka.
“Kenapa?” teriak Yozico lagi.
“Pergi! Lebih baik kamu pulang, cari di mana kamu masuk ke dalam alam ini.” Arka meminta Yozico pergi, memang bertujuan baik. Arka tak ingin Yozico menyesal karena tak bergegas lari dari sini. Namun, pikiran Yozico justru berbanding terbalik dengan Arka. Dia menganggap, jika Arka tak mengizinkan Yozico untuk menikmati keindahan alam ini.
“Ih, belagu banget jadi anak. Mentang-mentang penduduk sini, nggak ngizini orang lain untuk menikmati keindahan alam ini. Dia memutuskan untuk pergi, sebab tak ingin berurusan dengan orang yang tak menginginkan kehadirannya. Sedangkan Arka, dia bergegas mencari jalan untuk turun dari puncak air terjun itu. Dia panik, seba tak menginginkan Yozico berjalan semakin jauh dan menyesatkannya.
Jalan yang mereka tuju berbeda. Yozico berjalan semakin jauh di alam ini, sedangkan Arka berjalan menuju temoat di mana Yozico tadi berdiri.
“Ih, baru tahu orang sesongong itu. Memang air terjun milik dia sendiri apa bagaimana?” Yozico masih kesal dengan perlakuan yang di tunjukan Arka tadi. Dia hanya berpikir buruk tentang Arka, tanpa tahu maksud dan tujuan dia mengusirnya.
Dia melangkah semakin jauh menyusuri di dalam alam ini. Hutan yang lebat, diisi dengan sejumlah makanan dan miuman yang diinginkan.
“Wow, seandainya di sini banyak semua hal yang aku inginkan, sepertinya aku tak akan pernah kelaparan dan kekurangan apapun,” gumam Yozico.
___
Mama Yozico tak mau meninggalkan anaknya sendirian. Beliau tak mau, ketinggalan perkembangan anaknya.
“Zico,” gumam Mama Yozico mengigau.
“Mama, bangun.” Papa Yozico mencoba membangunkan istrinya. Beliau mengguncang tubuh istrinya.
Mama Yozico terperanjat kaget. “Zico!”
“Ma, kenapa?” Papa Yozico merengkuh tubuh istrinya.
“Zico, Pa. Aku melihat dia meminta tolong ke Mama. Dia masuk ke jurang yang sangat dalam.” Mama Yozico kembali menangis, sembari merengkuh tubuh anaknya.
“Sudah, Ma. Kita doakan yang terbaik untuk Zico, ya. Mama yang kuat.” Mama Zico tak berhenti untuk menangis. Kondisi yang cukup aneh bagi dunia medis. Tak ada sakit yang di derita, namun tak sadarkan diri. Bak orang tertidur namun tak kunjung bangun.
Yozico saat ini hanya hidup bergantung dengan selang infus, selang minum yang dihubungkan melalu hidung. Tak ada pilihan lain selain itu demi kesehatan anaknya.
***
Yozico berjalan semakin jauh, kilat menyambar menandakan akan turun hujan. Angin yang semula tenang, saat ini berhembus kasar. Badai akan datang, namun tak ada tempat untuk ia berteduh. Dia berpikir, jika berjalan untuk kembali ke rumah tadijauh, maka dia memilih untuk mencari tempat berteduh yang lainnya. Dia kelelahan, rintik hujan pun membasahi tubuhnya, tetapi satu rumah pun tak kunjung ia temukan. Dia memilih untuk di bawah pohon besar. Dia menggigil kedinginan, langit mulai gelap.
“Dingin banget,” gumamnya.
Tiba-tiba ada cewek membawa payung datang mengahmpirinya.
“Hei, kamu apa? Tahu hujan nggak?” tanya cewek itu.
Dia bernama Vanueza, cewek berusia delapan belas tahun. Rias wajahnya cantik alamai, tetapi dia sedikit tomboi.
“Iya, tahu. Habisnya dari tadi aku nggak nemu tempat buat berteduh,” jawab Yozico.
Vanueza tipikal orang yang cuek. Dia malas banyak bertanya ke orang lain.
“Ya sudah, mari ikut aku. Kami bisa berteduh di rumah pohonku.” Vanueza berjalan terlebih dahulu. Dia menuntun Yozico untuk menuju rumahnya.
Rumah pohon kecil, tampak di depan matanya.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Yozico.
“Yups, masuklah. Nanti aku ambilkan baju ganti untuk kamu,” ujar Vanueza.
Yozico hanya menganggukkan kepala. d**a orang lain yang ikhlas membantu, dia segan untuk bertanya jauh alasan kenapa cewek secantk dia tinggal di sini. Bahkan, saat ini hanya terlihat cewek itu saja.
Yozico masuk ke dalam rumah pohon itu. Awalnya dari luar tampak kecil, tapi saat masuk berukuran sedang seperti biasanya. Dia duduk di kursi yang terbiuat dari kayu.
“Ini, baju buat kamu. Pakai saja nggak apa-apa dan aku mau buatkan minum untuk kamu,” ujar Vanueza.
“Iya.” Yozico menatap wajah cewek itu. Vanueza perlahan berjalan menkauh dari Yozico. “Hei, nama kamu siapa?”
Vanueza berhenti dan kembali menoleh.
“Vanueza, tapi panggil saja Eza nggak apa-apa,” jawab Vanueza kala itu.
Yozico hanya tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya.
“Baru kali ini melihat cewek cantik, tinggal di tempat seperti ini dan bahkan sendirian. Kabur kali, ya?” gumam Yozico mulai merasakan keanehan, tetapi dia yang tidak peka hanya bertanya sewajarnya saja. Dia memutuskan untuk meraih baju yang diambilkan oleh Vanueza untuknya.
“Eza, aku ganti baju di mana ini?” tanya Yozico.
“Masuk saja ke dalam, nanti ketemu satu ruangan. Ganti baju di kamarku saja nggak apa-pa, kok,” jawab Vanueza yang sedang sibuk membuatkan kinuman hangat untuk Yozico.
Yozico hanya menuruti kemuan Vanueza saat ini, agar badannya tak lagi menggigil kedinginan. Perpaduan kaos berwarna hitam dan celana jeans warna hita juga yang saat ini digunakan Yozico. Pakaian itu pas ia gunakan dan bahkan seakan-akan ada cowok yang berukuran sama dengannya.
Saat dia berjalan kembali, terlihat satu cowok sedang duduk di kursi yang tadi ia gunakan.
“Eza ....” Yozico tampak bingung.
Cowok itu segera menoleh ke arah Yozico.
“Hei, aku adnan. Duduklah, Kak Eza sedang keluar mencari makanan. Ini minuman untuk kamu,” ujar cowok itu.
Dia adnan, berusia tujuh belas tahun. Usianya berjarak satu tahun tepat di bawah Vanueza dan Yozico saat ini.
“Hujan begini mencari makanan?” tanya Yozico.
“Iya, untuk makan kita malam ini. Minum saja dulu,” pinta Adnan.
Dalam hati Yozico mendapatkan satu jawaban untuk pakaian yang ia gunakan saat ini. Yozico menenggak minuman yang disediakan Vanueza tadi.
“Kamu ngapain, kok bisa sampai di sini?” tanya Adnan.
“Tadi itu hujan, tapi aku berjalan jauh hingga siang menjadi malam tapi tak kunjung menemukan rumah satu pun. Aku memutuskan untuk di bawah pohon, tak berselang lama Eza datang menghampiriku.” Yozico menceritakan pertemuannya dengan Vanueza.
“Oh, kamu nggak ingin pulang?” tanya Adnan.
“Nanti sajalah, aku ingin tahu sama alam sekitar sini. Bagus banget, bahkan tadi aku melihat air terjun berwarna-warni,” jawab Yozico.
“Ehm, Kakak namanya siapa?” tanya Adnan seraya menyodorkan tangan untuk Yozico.
“Yozico,” jawab Yozico membalas jabatan tangan Adnan.