5. Ketakutan Tersembunyi Dhara

1143 Words
Dhara mengurungkan niatnya untuk mengisi perut yang sudah lumayan keroncongan. Salahnya sendiri yang tadi menunda jam makan siangnya. Dhara memutuskan kembali masuk kedalam kamarnya, menunggu sepasang kekasih itu menyelesaikan pertemuannya. Ia kemudian mengambil laptopnya, satu-satunya barang yang masih setia menemaninya selain ponsel. Bukan untuk bekerja, hanya ia gunakan untuk menonton drama dan acara lainnya sebagai pembunuh rasa bosan. Setelah semua yang terjadi di hidunya, Dhara menjadi malas keluar rumah. Ia takut jika akan bertemu orang yang ia kenal di luar sana. Dan orang yang ia maksud adalah dokter Arkan mantan suaminya. Ia memang belum terlalu lama menjalankan pernikahan siri dengan lelaki itu. Tapi apa yang mereka lakukan dalam keseharian, cukup membekas di hati Dhara. Tak bisa ia pungkiri jika sudah tumbuh rasa cinta di hatinya untuk lelaki pertamanya itu. Satu-satunya cara untuk membunuh rasa itu perlahan adalah, dengan tidak lagi bertemu laki-laki itu. Dhara sudah mengirimkan pesan berisi permohoban maaf sebelum memutus akses komunikasi dengan dokter Arkan mantan suami sirinya. Bagi Dhara hidupnya yang dulu sudah berakhir, saat ini dirinya harus realistis. Ia sudah tak punya siapa-siapa di dunia ini, satu-satunya orang yang masih berhubungan darah dengannya yaitu Ibu kandungnya, sudah tak bisa ia harapkan menjadi sandarannya lagi. Entah karena terlalu cinta dengan suaminya, atau justru beliau di ancam untuk tak meninggalkan sang Ayah. Dhara meraba perutnya yang ia rasa sudah tak serata dulu. Mungkin hanya dia yang Dhara punya saat ini. Tiba-tiba ia jadi memikirkan sesuatu, Arya mempunyai wanita lain, hal itu membuat Dhara menduga jika dirinya dan Arya akan berpisah suatu hari nanti meski Arya belum mengatakannya. Meski Dhara tahu jika calon bayi dalam perutnya juga anak dari Arya, tapi setelah lahir nanti dia akan memohon dengan sangat agar anak dalam perutnya ini harus tetap bersamanya setelah lahir dan mereka berpisah. Ia butuh teman dan alasan untuk tetap bertahan hidup. Dhara mengusap sudut matanya yang sedikit basah, ia terharu, sebelumnya tak pernah ia se-siap ini untuk mempunyai anak. *** Adiva adalah perempuan yang dewasa, dan Arya bersyukur akan hal itu. Kekasihnya termasuk wanita yang mudah surut emosinya asal ia tak ikut terpancing. Mengajaknya berbincang santai sambil membahas hal yang di sukainya cukup membuat Diva melupakan sedikit masalahnya. Setelah semuanya mereda, Arya mengantarkan Adiva kerumah wanita itu. Sang kekasih masih tinggal satu rumah dengan orangtuanya apalagi dia anak bungsu. Orangtua Diva sama sekali tidak mengetahui tentang pernikahannya. Ia dan Diva sepakat untuk merahasiakan ini karena jika tidak, orangtua Adiva pasti akan memutuskan pertunangannya dengan sang puteri tanpa berpikir dua kali. Setelah mengantar sang kekasih kerumahnya, Arya juga tidak langsung pulang. Ia berbincang lebih dulu dengan Ayah Diva, selain berstatus sebagai calon mertuanya, beliau juga mantan dosen di kampusnya dulu. Terkadang ada rasa tak enak di hati Arya ketika mengingat jika dirinya sudah mengkianati lelaki berumur di depannya ini. Beliau sudah begitu percaya jika ia adalah orang yang pantas untuk menjadi pendamping puterinya. Beberapa bulan lalu Arya masih begitu percaya diri dengan hal itu, tapi tidak untuk saat ini. Setelah ia rasa cukup waktu bersama keluarga Adiva, Arya memutuskan pamit pulang ke rumahnya. Ia membawa mobilnya dengan cukup pelan, ada rasa sesak di d**a yang ingin ia coba keluarkan. *** Sesampainya di rumah ia melihat Dhara yang sedang duduk di sofa menghadap televisi yang menyala dan memegang sebuah mangkuk di tangannya. Arya lupa tidak memberitahu jika ada makanan di meja untuk makan malam Dhara. "Kamu makan apa?" tanya Arya dengan nada yang tidak ramah setelah ia sudah lebih dekat pada di mana Dhara sedang duduk. Ia mencium aroma yang familiar masuk kedalam indera penciumannya. Dan ia yakin itu adalah aroma mie instan yang ada di mangkuk Dhara. "Aku makan mie," jawab Dhara menatap wajah Arya sejenak. "Itu nggak bagus buat wanita hamil." Dhara mengigit bibir dalamnya. Iya dia juga tahu, tapi mulutnya benar-benar menginginkan makanan itu. Jika tidak, mana mau ia berjalan kaki ke sebuah minimarket di luar kompleks perumahan Arya untuk membelinya. "Iya, aku tahu, tapi pengin banget. Selama hamil, baru kali ini kok aku makan begini." Arya mendesah lelah, jika tidak ingat kalau wanita hamil tidak bisa menunda keinginannya sudah pasti ia akan mengambil mangkuk itu dan membuang isinya. "Jangan sering-sering, kalau kamu masih lapar, di meja ada makanan buat kamu." Dhara mengurungkan suapan kemulutnya. Entah mengapa ada keinginan untuk mendengar sendiri siapa wanita tadi, meski ia sudah bisa menduganya. "Siapa yang masak?" tanya Dhara pura-pura tidak tahu. "Diva." "Maksudku, siapanya kamu?" Arya tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak. Mengapa tiba-tiba ia ragu untuk menjawab jujur siapa Diva baginya. Seharusnya tidak bukan? Mereka menikah bukan karena cinta, jadi Dhara tidak akan merasa cemburu pada Diva, dan dirinya juga tak perlu merasa tak enak hati untuk mengakuinya dirinya punya alasan yang kuat mengapa ia bisa sampai menikahi Dhara. Biar bagaimanapun juga, Adiva adalah masa depannya. "Maaf Dhara sebelumnya saya belum mengatakan hal ini padamu, Adiva tunangan saya." Dhara terkejut mengetahui hubungan Arya dengan wanita tadi sudah sejauh itu. Lalu kenapa dia membawa dirinya kedalam sebuah pernikahan? Mengapa Arya tak mengabaikan saja perintah Ayahnya jika nyatanya ada wanita lain yang sudah menunggu untuk menjadi istrinya? "Kalau begitu, sampaikan perminta maafan saya ke dia ya. Saya tidak berniat merebut." Ucap Dhara kikuk, ia trauma di cap sebagai pelakor. "Kenapa nggak bilang sendiri, tadi sempat ketemu 'kan?" Dhara mengangguk. "Dia ada bicara sesuatu ke kamu?" "Tidak." "Nggak berbuat kasar ke kamu kan?" "Tidak, dia lihat aku, tapi kita tidak berinteraksi sama sekali. Lagian tunangan kamu bukan orang yang suka main kasar 'kan?" tanya Dhara. Arya menggeleng, Diva adalah wanita yang lembut kecuali ketika sedang cemburu seperti tadi. "Dia tidak pernah berbuat kasar, hanya saja wanita yang sedang cemburu biasanya akan lepas kontrol," jawab Arya. "Sekali lagi maaf." "Tidak perlu meminta maaf berkali-kali, tidak hanya saya yang rugi di sini. Kamu juga Dhara, saya sudah melecehkanmu. Meminta maaf juga rasanya tidak cukup. Tapi saya punya alasan kenapa sampai bisa melakukannya." Dhara hanya bisa tersenyum miris, semua sudah terjadi, mau dia marah dan berlarut-larut berada dalam kesedihan juga tidak mungkin bisa mengembalikan semuanya. "Dhara, kalau bisa mie-nya tidak perlu kamu habiskan. Ada makanan yang lebih sehat di meja makan, kamu ganti makan itu aja. Sama sayur tadi siang sudah kamu makan dan habiskan semua "kan?" Dhara mengangguk ragu, makanan tadi siang belum sempat ia makan, tapi di meja makan tidak ada karena ternyata sudah mendarat di tong sampah. Mungkin tunangan Arya yang membuangnya karena makanan itu sudah dingin dan terlihat tidak lagi layak untuk di makan. "Ya sudah, saya mau tidur. Lain kali jangan keluar rumah sendirian apalagi cuma buat beli mie instan, kamu bisa bilang ke saya kalau menginginkan sesuatu." Dhara menggeleng. "Tidak perlu." "Tapi itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya." Dhara tahu, tapi ia tidak suka dengan perhatian kecil yang Arya berikan. Sekecil apapun itu, apalagi Arya adalah calon suami dari wanita lain. Ingin rasanya ia berteriak, jangan beri dirinya perhatian berlebih. Dhara takut, ia takut sesuatu yang tak seharusnya terjadi pada hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD