Bab 7. Kesunyian Di Dalam Vila

1052 Words
"Nyonya Walt?" Di dalam vila tepi pantai yang sunyi, suara debur ombak mengalun lembut, menjadi lagu pengantar tidur bagi alam sekitarnya. Namun di dalamnya, diamnya Jillian di atas kursi rodanya seakan mengisi ruang hampa dengan lara. Ia, terus menatap keluar jendela, memperhatikan air yang berkilau dan kelamnya langit malam, sekelam hatinya saat ini. Dari pesisir pantai, Jillian seolah melihat Mike sedang duduk di atas kursi roda. Berteriak memanggil namanya dan mengulurkan tangan padanya. "Jill ...!" "Mike?" kelopak mata Jillian sontak melebar, matanya berkabut, dan rasa haru menyelimuti hatinya. "Mike, aku akan ke sana, Mike. Tunggu aku." "Nyonya Walt?" Suara lembut seorang pria menyapa indera pendengaran Jillian. "Sudah saatnya Anda untuk beristirahat." Kursi roda yang ia duduki tiba-tiba bergerak perlahan, merasakan gerakan itu— dengan raut protes Jillian mendongak. Menatap tajam pada pria yang sedang mendorong kursi rodanya. "Tidak, jangan!" Jillian menggeleng keras, "Aku ingin ke sana!" tunjuknya ke luar jendela, pada pesisir pantai yang sepi. "Mike ... dia sedang menungguku di sana!" Pria itu yang tak lain adalah Psikiater yang telah disewa untuk merawat Jillian—seketika mengerutkan keningnya. Kemudian mengikuti arah telunjuk Jillian. Setelahnya ia kembali menatap wanita itu. "Tidak ada seorangpun di sana, Nyonya Walt," ujarnya. "Kau salah! Lihatlah baik-baik!" Jillian masih bersikeras, "Itu Mike! Dia sedang mengulurkan tangannya padaku," tukasnya lirih, masih terus menunjuk pesisir pantai. "Nyonya Walt." Mengerti apa yang tengah Jillian rasakan, Psikiater itu pun memutari kursi roda Jillian dan berhenti tepat di hadapannya. Menatap Jillian dengan tatapan teduh. "Jangan biarkan ilusi membutakan akal sehat Anda, yang Anda lihat itu hanya fatamorgana. Bukalah mata Anda lebar-lebar." "Tidak!" Jillian lagi-lagi menggeleng. "Aku tidak berilusi, dia memang ada di sana!" tekannya sambil melemparkan pandangannya ke pesisir pantai. Perlahan, bayangan Mike terlihat seolah menguap terkena hembusan angin. Hanya menyisakan pesisir yang kosong dengan kesunyiannya yang terasa menyesakkan. "Mike," bisik Jillian sendu. "Apakah Mr. Mike masih berada di sana?" Jillian menggeleng lemas, "Tidak, dia telah pergi. Tapi aku merasa dia masih hidup. Di suatu tempat,” lirihnya, suara Jillian terdengar bergetar. Mengiringi kesedihan yang ia rasakan di dalam hatinya. "Anggap saja Anda benar, lalu ... jika suatu hari nanti dia kembali, apakah Anda ingin Mr. Mike melihat apa yang terjadi pada Anda sekarang?" Jillian bergeming, kembali membisu seperti yang telah ia lakukan sejak ia terbangun di rumah sakit. "Nyonya Walt?" Psikiater itu geleng-geleng kepala melihat apa yang Jillian lakukan. "Antarkan Nyonya Walt ke kamarnya!" titahnya pada perawat wanita yang sejak tadi terus mengikuti dirinya. "Baik." Perawat wanita itu mengangguk dan terburu-buru menghampiri Jillian, kemudian membawa Jillian pergi bersamanya. Sementara sang Psikiater, hanya mengiringi kepergian Jillian dengan tatapan matanya. "Rasanya akan sulit untuk membuatnya kembali seperti sedia kala," gumamnya. *** Waktu kini telah menunjukkan pukul 3 pagi dini hari, entah setan apa yang membawanya ke vila Mike— namun Nick yang tengah mabuk berat menghentikan mobilnya secara mendadak di halaman vila. Ban mobil berdecit, dan hempasan pintu yang sangat keras terdengar beberapa saat kemudian. Disusul oleh derap langkah Nick yang tidak teratur, tubuhnya yang kokoh terhuyung-huyung. Tetapi Nick tetap berusaha melangkahkan kakinya hingga mencapai pintu vila yang tengah tertutup rapat. "Buka pintunya, Jillian! Kita harus bicara ...!" teriaknya. Pintu terbuka setelah Nick cukup lama melakukan aksinya itu. Perawat wanita yang membukakan pintu menatap Nick dengan tatapan heran. "Anda siapa?" tanyanya, tatapannya lurus memperhatikan wajah Nick yang sangat memerah akibat pengaruh alkohol. Tanpa mengacuhkan pertanyaan perawat itu, Nick menerobos masuk. "Di mana dia? Di mana si gila itu?" tanyanya bak orang kesetanan. "Tuan, Anda tidak boleh masuk ke rumah orang seperti ini!" perawat wanita itu mencoba meraih lengan Nick, dan Nick langsung menepis tangan perawat itu. Membuat wanita itu terhuyung dan hampir terjatuh. "Jangan menyentuhku!" ancam Nick sambil menunjuk wajah sang perawat, mengabaikan rasa takut yang tergambar di wajah itu. Setelah melakukan hal itu, ia kembali berteriak dan melangkah masuk semakin dalam. "Jillian ...! Aku tahu kau ada di sini, keluarlah b******k! Jangan terus bersembunyi setelah kau berhasil mempengaruhi kedua orang tuaku." Psikiater pria yang diminta untuk merawat Jillian keluar dari salah satu kamar yang ada di vila setelah mendengar keributan yang ditimbulkan oleh Nick. Menemukan Nick dengan kondisinya yang setengah mabuk, sang Psikiater langsung bergegas menghampiri pria itu. "Tuan, Anda siapa? Mengapa membuat keributan di rumah orang lain?" tegurnya sambil menangkap pergelangan tangan Nick. Dengan matanya yang merah Nick melotot pada pria itu. "Kau ... siapa kau?" lontarnya penuh amarah. Bahkan Nick mencoba menarik tangannya yang sedang ditahan oleh pria yang saat ini sedang berdiri menghadang jalannya. "Lepaskan!" gertaknya. Psikiater itu menggelengkan kepalanya, "Tidak, kecuali Anda berjanji akan segera pergi meninggalkan tempat ini. Ada seseorang yang sedang dirawat di sini dan sangat membutuhkan ketenangan," cetusnya. "Dirawat? Ketenangan?" Nick terbahak, "Apa maksudmu wanita gila itu?" "Jaga mulut Anda, Tuan. Tidak ada wanita gila di sini," hardik Psikiater itu tanpa merasa takut sama sekali. "Hmm." Nick menghentikan tawanya dan menatap sang Psikiater dengan tajam. "Apa kau tahu siapa aku?" lontarnya dengan nada dingin. Jika ia berhadapan dengan Nick yang dalam keadaan normal, ucapan Nick itu mungkin saja akan membuat Psikiater itu merasa takut. Tapi tidak saat ini, karena yang ada di hadapannya sekarang adalah seorang pria yang sedang mabuk berat. Dan ia berkewajiban untuk melindungi Jillian dari pria ini. "Aku tidak perlu mengetahui siapa Anda," ujarnya. "Anda juga sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini sebelum aku menghubungi pihak yang berwajib," ancamnya. Dari dalam kamar, Jillian yang masih belum juga bisa memejamkan matanya— samar-samar mendengarkan percakapan yang terjadi antara Nick dan Psikiater yang ditugaskan untuk merawatnya. Tidak ada yang ia pikirkan saat ini, tidak ada rasa takut terhadap Nick atau apapun yang akan dilakukan oleh pria itu nantinya padanya. Ia, hanya mendengarkan percakapan itu dalam kebisuannya. Lamat-lamat, Jillian mendengar Nick terus berteriak dan memintanya untuk keluar dari kamarnya. Tapi Jillian hanya mematung di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar di dalam kegelapan. Kegelapan itu seakan menelannya, mengurungnya dalam sangkar dan tidak membiarkan dirinya untuk melangkah keluar. Tidak, sebenarnya Jillianlah yang tidak ingin meninggalkan sangkar tersebut. Karena di dalam sangkar itu, ada Mike di sana. "Kau tidak berani keluar, hah?! Dasar wanita gila, lihat saja apa yang akan kulakukan padamu kalau kau masih bersikeras untuk menyetujui pernikahan kita!" Teriakan Nick kembali terdengar, namun Jillian tetap bergeming. "Jill?" Bayangan Mike yang sedang tersenyum tiba-tiba muncul di langit-langit kamar. "Mike?" Jillian mengulurkan tangannya ke atas, mencoba untuk menggapai wajah Mike. "Mike, aku ingin ikut bersamamu. Bawalah aku, Mike."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD