7

2012 Words
Lalu mereka tertawa bersamaan. Nyebelin. Nyebeliin! Aku menoleh ke belakang dengan kesal sebelum melanjutkan langkah menuju rumah, memasukkan anak kunci pada tempatnya kemudian mendorong pintu membuka. Aku terperangah mendapati rumah dalam keadaan bersih dan penuh dengan barang-barang dengan harum masih baru. Ada sofa, lemari, juga fotoku dan Om Redi pas ijab kabul ukuran besar. Saat aku menuju kamar, ranjang juga tampak baru. Aku sering ke sini dan tak pernah melihat barang-barang ini sebelumnya. Ayah sepertinya mempersiapkan semuanya sebelum kami menikah. "Zain benar-benar!" Terdengar kesal suara Om Redi. Aku keluar kamar dan bersikap masa bodoh padanya karena kejadian barusan. "Kau ngambek padaku?" Ia mendongakkan daguku, memaksa menatapnya saat aku berpaling. Kutepis tangannya sambil terus pura-pura ngambek. "Om gak boleh begitu lagi padaku. Itu keterlaluan, tau!" Ia nyengir kecil. "Baiklaaah," katanya sambil menjatuhkan diri di sofa. Aku duduk di sampingnya dengan wajah cemberut. "Dia benar-benar sahabat sekaligus mertua yang selalu buat hidupku tak tenang. Iiin, Zain." Ia mendesah. "Itu karena ayah menyayangiku, Om." Ia mengusap-usap kepalaku dengan gemas. Menghadap ke arahku. "Tentulah aku tau, laah. Dia memperlakukanmu seperti gelas kaca." "Gak begitu juga. Ayah banyak aturan." Aku meralat. "Itu karena ayah kau belajar dari pengalaman." Aku menunduk sedih saat teringat Ibu. Perempuan yang telah tega mencampakkan anaknya ini karena perbuatan ayah. "Kenapa jadi muram wajah kau? Janganlah sedih. Kasihan anak kita ini." Terasa lembut tangan Om Redi di perutku. Aku memeluk lengannya lalu menyandarkan kepala di bahunya. Rasanya nyaman. Aku memejamkan mata sejenak. "Aku sedih tiap mikirin aku anak yang gak diharapkan, Om. Harusnya aku benci ayah yang membuat ibu menderita, kenyataannya aku gak bisa membenci ayah karena ayah mengurusku dari kecil. Sementara ibu pergi jauh karena aku aib baginya." "Kau, ini. Ibu kau itu sebenarnya sayang kau. Seharusnya kau memaafkannya." Aku hanya menarik napas. "Besok kutemani ke rumah ibu." Aku menggeleng tegas. "Gak mau, Om." "Kita harus ke sana. Dia mertuaku sekarang. Janganlah sedih." Diusap-usapnya kepalaku. Tangannya lalu menjawil pipiku. "Kau cantik kalau senyum." Dadaku berdebar saat ia mendekatkan diri seperti hendak menciumku. Membuatku perlahan memejamkan mata karena malu. "Ehemp!" Aku dan Om Redi sontak menoleh bersamaan. Ada ayah juga mama yang menggendong dedek berdiri di ambang pintu. Ganggu aja, siih. Aku merutuk dalam hati. Nggak tau apaa, kami ini pengantin baru? "Bagaimana? Kalian suka tidak pada isinya?" Ayah menatap sekeliling. Sementara mama masuk ke kamar. "Tidak suka, ayah bisa membawanya pulang." Om Redi menyahut sambil tersenyum. Mungkin masih merasa aneh memanggil temannya sendiri dengan sebutan ayah. "Sayang sekali aku tidak bisa membawanya, Red. Semua sudah dibayar kontan oleh mamanya Putri." Ayah duduk di sofa, lalu menepuk ruang kosong di sebelahnya menyuruh mama mendekat. Mama duduk di samping ayah dan memandangku. "Put, mama titip adek, ya?" Ia menatap ke arah kamar. "Emang babysitternya ke mana, Ma?" Niat hati mau sayang-sayangan, malah disuruh jagain adek. Pa-yah mamaku ini. "Sedang libur, sakit." Ayah yang menyahut. Ia memandang Om Redi yang menatap keduanya curiga. Ayah mengulurkan tangan ke Om Redi. "Kunci perahu motormu. Aku mau ajak Cinta mutar-mutar." Mama tersenyum malu-malu saat Om Redi merogoh sakunya sambil menggelengkan kepala. "Kalian ini seperti pengantin baru saja. Sudah kadaluarsa lah kalian ini. Tak boleh lama-lama kalian." "Tenang aja, Mas. Gak lama, kok. Eh, Redi." Mama tersenyum geli. "Putri, ASI Mama ada di dot dalam tas, ya?" "Siap, Ma." Mama dan ayah pun segera melangkah keluar. Terlihat dari sini ayah mengulurkan tangan pada mama membantu naik ke perahu. "Harusnya tadi aku ikut." "Kau ingin berputar-putar juga di Muara?" Tatapan Om Redi lekat ke wajahku. Aku mengangguk malu-malu. "Besoklah aku ajak. Aku kembali ke rumah dulu untuk ambil baju juga perabot." "Kado-kado dari temanku, tolong bawakan juga ya, Om?" "Tentu, laah." Ia beranjak bangkit. Aku menarik tangannya untuk kembali duduk di sampingku. "Cium dulu kalau mau pergi. Om harus biasakan itu karena sekarang kita suami istri." Aku memperingatkannya dengan malu-malu. "Hahaha. Aku sepertinya memang harus terbiasa dengan ini. Aku ini masih merasa aneh kau jadi biniku. Kau ini pantasnya jadi anakku," katanya spontan. Ia menabok mulutnya saat aku mendelik sebal. Cup. Satu kecupan mendarat di pipiku. "Baiklah, aku pergi dulu. Jaga adek kau itu dengan baik." Aku mengantarkannya sampai di depan pintu, setelah itu melihat-lihat sekitar, mengernyit saat melihat bilik kayu di sungai depan rumah. Apa ini untuk pipis? Aku bergidik sendiri membayangkan harus buang air besar dan kecil di sungai. Begitu pun dengan warga lainnya juga. Aku bergidik geli walau tahu air sungainya mengalir. Sekitar dua jam kemudian, perahu yang dinaiki ayah dan mama terlihat. Mereka saling melempar air dan tertawa bersama. Ya, ampun, seperti ABG kasmaran saja. Dan lihat tangan mamaku itu, menggenggam bunga segar warna-warni, membuatku cemburu saja. "Kalian ini udah punya anak juga, kok pacaran terus, sih?" Sambutku saat keduanya mendekat dengan baju basah kuyup. Ayah melepas kemejanya lantas menjemurnya di rerumputan. Sementara mama masuk ke dalam, tak lama kemudian kembali ke sini sudah berganti baju. "Mama pinjam ya, Put, bajumu?" Aku mengamatinya dari ujung kaki sampai ke jilbab mini yang dikenakannya. "Itu bukan bajuku kenapa ijin?" Mama menggaruk kepala. "Kamu belum buka lemari? Ayahmu membelikanmu banyak baju." "Kamu juga kubelikan banyak baju, Cinta." Ayah merangkul bahunya. Lihatlah wajah mama yang merona malu. Benar-benar memuakkan aku melihat kelakuan mereka berdua. "Yah, apa itu tempat untuk pipis?" Aku menunjuk ke arah bilik. "Ya, untuk mandi juga." Ayah menyahut santai yang membuatku semakin bergidik. "Bagaimana bisa mandi di situ?" "Semua yang tinggal di sini juga mandi dan pipis di situ, Put. Buang air besar ada WC sendiri di belakang rumah." Iiih. "Tenang sajalah, itu bersih lebih bersih dari kau." Timpal Om Redi, aku langsung melotot. Suamiku itu membawa dua kardus besar dan meletakkannya di depan rumah. Lalu ia kembali ke mobil dan membawa 8 ekor angsa masing-masing 4 ekor angsa di tangannya. Kepala angsa itu bergerak-gerak ke bawah dan sayapnya mengepak-ngepak seolah meminta Om Redi melepaskan kakinya yang terikat dan digenggam erat. "Potong satu, In. Aku akan buat kayu bakar." "Sip, lah." "Kalau begitu aku mau buat bumbunya." Mama menawarkan diri. "Kau jaga adek kau saja," kata Om Redi saat aku mengikutinya ke belakang rumah yang banyak ditumbuhi pepohonan besar. Semilir angin sejuk menerpa dari berbagai arah, membuat tempat ini begitu mendamaikan dan nyaman. Cericit burung di dahan-dahan menambah suasana kian menyenangkan saja. Lalu, kubayangkan suasana ini pas malam hari. Iiih. Ngeri. "Kenapa kau? Tak kesambet setan kan, kau?" Ia memicingkan mata mengawasiku. Ia ini selalu ceplas-ceplos dari dulu. "Ya gak, laah. Mana ada orang kesambet setan bisa diajak ngobrol. Om, apa gak bisa buat kamar mandi di dalam?" Om Redi mengikat masing-masing angsa dengan tali rapiah di kayu besar. Mungkin agar si angsa bisa mengenali tempat tinggal barunya. "Kenapa? Tak berani kau malam-malam keluar?" "Yaaa, berani. Tapi, kan, yaa masa kamar mandi di luar. Tolong buatin di dalam ya, Om?" Aku memelas. "Gampang, laaah." Aku mengikuti Om Redi masuk ke dalam rumah. Lelakiku itu mengambil pisau di dalam kardus lantas keluar. Aku memilih menata barang-barang milikku ke dalam kamar, sesekali memperhatikan dedek yang terlihat pulas. Apa jika aku dan Om Redi punya bayi, hubungan kami akan manis seperti ayah dan Mama? Aku masih ingat jelas dulu Mama takut banget sama ayah, sering kulihat wajah mama memucat dan tubuhnya sedikit gemetar saat di dekat ayah, tapi sekarang lihatlah, mereka lengket seperti perangko. Mungkin karena ayah suka menggoda dan Om Redi gak. Aku menghela napas teringat perkataan ayah yang melarang kami tidur bersama dan Om Redi menyanggupinya. Bagaimana bisa punya anak kalau tak melakukannya? Aku terus membereskan semuanya sambil berpikir, saat tanganku menyentuh gaun berkilau-kilau hadiah dari temanku, aku tersenyum sendiri. Masa Om Redi nggak tergoda kalau aku pakai ini? Haha. Dia itu lelaki, ya kan? Pasti tergoda, laah. Aku tersenyum sendiri. Tepat setelah azan ashar, angsa bakar telah matang dipotong ukuran sedang. Harumnya menguar ke mana-mana. Aku ke halaman samping dengan menggendong dedek. Mama tengah menata piring ke meja yang sudah penuh oleh nampan-nampan berisi ayam bakar. "Banyak banget, memang habis segini banyak, Ma?" "Ayahmu sedang memanggil para tetangga." Mama menyahut sambil mengulurkan tangan ke arah dedek. "Potong dua ekor tadi. Nenek dan bibimu sebentar lagi datang," ucap Mama lagi sambil memperhatikan wajahku. Aku mencoba bersikap biasa saja walau merasa tak nyaman. Tak lama, ayah kembali bersama 3 orang perempuan paruh baya dan tiga laki-laki. Yang dua aku tak asing. Tentu saja, mereka yang menggojlokiku di warung tadi. Aku memilih berkenalan dengan tetangga, mengatakan bahwa aku akan tinggal di sini. Deruman motor terdengar di halaman. Aku menuju keluar, menyambut nenek dengan tangan terentang dan senyum lebar. Sementara pada bibi, aku bertingkah cuek. "Bagaimana, kamu senang tinggal di sini?" "Senang, lah, kan tinggalnya sama lelaki tercin, taa." Di samping nenek, bibi tersenyum tak nyaman. Ia menggelengkan kepala lalu mengikutiku dan nenek menuju halaman samping tempat para tetangga juga ayah tengah mengobrol. Aku duduk di samping suamiku yang terus curi-curi pandang ke arah bibi. Sebegitu cintanya? Rasa panas merayap ke dadaku. Aku meraih piring. Setelah mengisinya dengan nasi dan angsa bakar, kuberikan pada Om Redi yang terus curi-curi pandang ke arah bibi. Bibi terlihat tak nyaman. "Makan, Om." Om Redi tersentak, buru-buru ia mengangguk. Ayah memperhatikan Om Redi dan menggeleng pelan. Tatapannya kini tertuju pada dedek yang tengah m******t-jilat paha angsa berlumur kecap karena ia belum memiliki gigi. "Pada suaminya kok panggil Om. Panggil Mas. Atau, Kak," kata si lelaki bertubuh kurus. Apaan, sih. Sepertinya ia mau membuatku malu lagi, deh. Kami pun kompak makan. Sikap Om Redi yang sebentar-sebentar menatap bibi sungguh membuatku kesal bukan main. Aku ingin ini segera berakhir dan bibi pulang ke rumah. Tetapi selesai makan, bibi malah mengobrol dengan salah seorang ibu. Bibi memang mudah akrab. Aku memutuskan mandi di muara. Menoleh kanan kiri untuk memastikan tak ada orang sebelum menutup pintunya yang hanya dari karung dengan ujung diberi lubang lalu di masukkan ke paku yang terpacak di kayu sebagai dindingnya. "Put," kata bibi begitu aku keluar dari bilik. "Kamu kesal pada bibi?" "Gak, kok. Aku gerah jadi mandi." "Baguslah. Jaga suamimu jangan sampai digondol orang." Bibi menepuk-nepuk bahuku dengan senyum geli. Ia membalikkan badan dan menghampiri ibu. Aku mengikuti langkahnya. "Nenek pulang dulu," katanya sambil merogoh saku. Ia menggenggamkan beberapa lembar uang seratusan ribu padaku. Aku menoleh kanan-kiri lalu menerimanya. "Makasih, Nek." Bibi tertawa kecil. Ayah menghampiriku lalu ikut menggenggamkan uang ke tanganku. Aku dengan cepat memasukkannya ke saku celana. "Ehem!" Om Redi berdeham di belakangku. Aku menoleh, menatapnya malu saat tatapannya tertuju ke tanganku yang masih berada dalam saku. "Kau ini, In. Aku pun punya uang, lah." Ayah menanggapi perkataan suamiku dengan kibasan tangan. "Dia anakku sampai kapanpun. Kalau butuh apa-apa, bilang saja sama ayah." Ayah mengusap kepalaku, lalu mencium keningku penuh sayang. Om Redi bersungut-sungut. Lelaki itu mengulurkan tangan pada ayah dan ayah menjabatnya. Lalu ayah dan mama menuju mobilnya sementara bibi mengendarai motornya. Aku melambai-lambaikan tangan, dan tersenyum kecil saat bersitatap dengan suamiku. Tatapannya tertuju ke dadaku. "Kenapa, Om?" "Kau ini jangan pakai kaus lope-lope macam begitulah. Geli aku tu lihatnya. Macam anak temanku yang baru puber itu." "Iiih, apaan sih, Om!" "Haha." Aku mendelik sebal. Ia kembali tertawa. "Lepaslah." "Siap aku lepas!" Aku melangkah cepat meninggalkannya. Dan lihatlah Om. Kamu akan terkagum-kagum nanti. Aku pun menuju kamar dan mengganti baju dengan gaun malam pas di tubuh ini, yang tampak berkilau-kilau tiap aku bergerak. Rambut sebahu sedikit bergelombang kusisir rapi dan membiarkannya terurai. Aku berdiri di depan cermin terus mengagumi diri sendiri. Cantik dan tampak menggoda, masa Om gak suka. Lelaki sejati pasti bakal kesemsem, laah. Aku menunggu dengan d**a berdebar saat melihat handel pintu bergerak. Om Redi masuk, menatapku cukup lama dan akhirnya menjatuhkan tubuh ke ranjang. Aku tersentak kaget melihat tubuhnya kejang maka aku pun berlari mendekat, mengguncang tubuhnya dengan panik. "Om, kenapa, Om? Kenapa, Om?! Om!" Om Redi membuka matanya sedikit lalu kembali menutupnya. Satu telapak tangannya menutupi matanya dan menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan. "Silau aku ini Put. Siii-lau." Aku mencubit kuat perutnya. "Iiih apaan sih, Om!" "Silau aku ini. Si-lau. Ganti, laah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah. *Kisah ayahnya Putri dan mama tirinya, juga masa lalu Putri dan Om Redi dulu bisa dibaca di cerbung Nafkah Batin. Lanjut kapan niih? Satu menit lagi UP cerbung Tuan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD