8

1833 Words
Silau aku ini. Si-lau. Gantilaah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah. "Om, apaan siiih!" Aku mencubit perutnya kuat. Ia akhirnya berhenti bertingkah konyol, tapi masih tetap menatap dengan jari-jari tangan yang direnggangkan. Ya percuma, kan? Tetap aja kelihatan. Dia kira lucu, apa? Aku mendengkus sebal. "Janganlah berpakaian seperti itu, Put. Silau aku in-nii." Aku mengerutkan kening, heran sekali padanya. Hei, lelaki normal pasti harusnya seneng kan yaa lihat yang segar-segar? Pasti ada yang tak beres dengannya. Tapi tentu saja dia normal karena kami waktu itu melakukannya. "Emang apa salahnya? Om kan udah jadi suami a-kuuu." Aku beringsut mendekat padanya, ia langsung menutup mata, membuatku mencubit perutnya berkali-kali. "Salah, laah. Aku ini normal, laah. Kau memancingku itu namanyaa." Aku yang mulanya kesal kini tersenyum penuh kemenangan. "Ya gak papa, dong. Kan udah sah, Om. Nggak dosa dapet pahala, i-yaa." Aku mengerling menggodanya saat ia membuka mata. Kurasakan wajahku menghangat merasa malu dan aku menutupinya dengan terus memelintir ujung rambut dengan jari telunjuk. Ini gak salah aku yang menggodanya? Kebalik, Puut. Tapi yaa apa boleh buat. Sepertinya ia benar-benar tak ingin melakukannya karena khawatir dengan anak khayalanku. Tapi masa sih dia akan bertahan jika aku terus menggodanya? Aku kembali mengikis jarak, membuang tangan lelakiku dari wajahnya lalu mencubit perutnya kuat sehingga ia mengaduh tapi tetap memejamkan mata sedikit membukanya. "Nggak usah lebai dong, Om." Ia akhirnya membuka mata. "Aku ini benar-benar silau Put." "Lebai, deh." Ia beranjak duduk dan tertawa kecil, membuat dagunya seakan terbelah. Sungguh tampannya. "Baiklah, kau tidurlah. Aku mau nonton tivi." Ia setengah berdiri saat aku menariknya kuat sehingga tubuhnya terjatuh di sampingku. "Apaan sih, Om. Kan aku pengen dipeluk." "Baik, kupeluk. Tidurlah kau." Ia meraih selimut untuk menutupi tubuhku lalu tangannya mengusap-usap rambutku. Heran, tahan banget dia. Aku memandangnya tanpa kedip, merasakan jantungku berdenyut-denyut dan d**a berdebar saat ia balas memandang. "Om gak, pengen, apa?" Ini memalukan aku membicarakan ini. Tapi kalau tak melakukannya, yaa bagaimana aku bisa hamil? Iya, kan? Ia memicingkan mata memandangku, membuatku merona malu. Aku yakin dia tahu maksudku, hanya berlagak blok on saja. "Beneran gak pengen?" tanyaku lagi, menanti dengan deg-deg kan. "Makan? Aku sudah makanlah tadi. Kau tau sendiri tadi." Iiih, dia beneran pura-pura. Dan sama sekali gak terlihat tergoda. "Bukan makan, Om. Em el," aku berkata lirih, mengindahkan terjangan rasa malu yang merayap ke d**a saat ia sedikit tersentak. Mungkin kaget aku seagresif ini. Andai kamu tahu aku malu banget. Huhu. Ingin kuambil bantal untuk menutup wajah tapi itu jelas akan terlihat lebih memalukan lagi. Om Redi menggaruk rambut cepaknya, sedikit nyengir kecil. "Kau ini genit, ya?" Ia menarik hidungku. Aku langsung menepis tangannya dan pura-pura cemberut. "Kau kan tau kita tak boleh lakukan itu demi si dia ini." Tangan Om Redi mengusap pelan perutku. "Itu kan ayah yang bilang, Om. Mama bilang gak, papa, kan?" Aku menggaruk rambut saat ia menahan senyum. "Kau kecanduan melakukannya?" Ia mengerlingkan sebelah matanya, membuatku deg-deg kan sekaligus salah tingkah. "Bukan begitu, Om. Tapi kaan ...." "Tapi kan?" Ia membeo ucapanku, menatap dengan sebelah mata terpicing. Aku gedek sekali saat melihatnya tersenyum m***m seperti itu. Aku mengalihkan pandang dan mendengkus sebal. Ia mendongakkan daguku, memaksa menatapnya. "Kau jangan ngambek beginilaah." Aku menyentak napas, berharap rasa berat di d**a juga rasa ingin menangis minggat jauh-jauh. Aku mendadak jadi sedih karena merasa tak diharapkan. Walau kenyataannya aku tahu aku memang gak diharapkan. Yang dicintai Om Redi hanya bibi. Tapi kan aku memancingnya dengan berpakaian seperti ini, masa dia gak gerah? Seharusnya, gak perlu ada cinta untuk melakukanya. Karena lelaki itu kan habitatnya seperti pemburu. Gak dapat kijang yang lainpun jadi. "Om seperti gak menginginkan aku sama sekali." Ah, malu aku mengatakan ini. Tapi kalau gak dikatakan bikin sakit hati. Ia mengibaskan tangan di udara. "Kata siapa, lah? Inginlah aku melakukannya, apalagi kau sengaja memancingku seperti itu. Tapi kita tak boleh melakukannya sampai dia dilahirkan." Ia kembali mengusap perutku. "Menurut kau, dia cewek apa cowok?" "Auk, ah. Emangnya aku peramal, a-pa!" Aku menarik selimut hingga sebatas d**a lalu memejamkan mata. Ini gara-gara ayah. "Hey, kau ngambek?" Aku diam saja, hanya menyentak napas kasar sebagai balasannya. Ia menoel pinggangku yang segera kutepis kuat. Tapi ia kembali menoelnya. Sumpah kelakuannya ini bikin gedek banget. "Daripada iseng, mending nyanyi aja deh biar aku cepet bobok!" Aku melotot padanya saat ia kembali menoel pinggangku. Mungkin besok saja lanjut menggodanya. Suasana hatiku sudah buruk hari ini. Mungkin lagu romantis akan segera mengantarkanku ke alam mimpi. "Kau ingin aku nyanyi apa?" "Terserah!" "Siap!" Ia merebah di sampingku, mengusap-usap punggungku lalu mulai bersenandung keras, Balonku a-da li-maa Rupa-rupa warnanyaa Merah kuning kee-- Aku menutup telinga dengan kedua tangan. Lalu membalikkan badan dan melotot galak. "Jangan lagu kayak gitu, dong, Om!" Ia mengangguk-angguk. "Siii-ap! Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, a-da seekor nya--" Kutimpuk ia dengan bantal. Aku kini beneran ngambek. *** Aku membuka mata saat mencium aroma gurih bawang goreng, dan sontak bangun saat mendengar kicau burung-burung di dahan pohon tinggi menjulang. Sinar matahari jatuh di bawah jendela menandakan hari sudah siang. Jam berapa ini? Ya ampun aku belum salat subuh. Aku lekas mengambil handuk lalu tergesa keluar kamar. Om Redi merentangkan tangan menghalangi langkahku saat istrinya ini hendak keluar rumah. "Ada apa sih, Om?!" Aku mendorong tubuhnya agar menyingkir. Namun ia bergeming. Aku masih sebal padanya karena tindakannya semalam jadi langsung melengos saat bertemu pandang dengannya dan ia mesam-mesem. Gak tahu, apa, senyumnya itu bikin aku klepek-klepek? Sayang aku ini lagi ngambek. "Putri, yang benar saja kau berpakaian seperti ini mau keluar rumah. Ada banyak lelaki sedang makan di warung." Tangannya menunjuk keluar, pada warung dari kayu beratap daun nipah kering. Tampak beberapa lelaki tengah makan sambil ngobrol. Aku menatap ke tubuhku dan baru menyadari masih memakai gaun cantik mengikuti lekuk tubuh yang menjadi bukti penolakan Om Redi semalam. Aku pun dengan cepat kembali ke kamar untuk berganti baju. "Seharusnya Om bangunkan aku tadi!" kataku setelah mandi dan mengqada salat subuh. Ia meletakkan piring ke meja lalu tangannya terangkat dan mengusap-usap rambutku cukup keras sampai berantakan. Aku menepis kuat tangannya, dan ia tertawa kecil. "Kau ini dibangunkan seperti batu. Sampai lelah aku bangunkan kau." "Ya tetap aja harusnya dibangunkan, Om! Aku kan harus salat, jadi harusnya dibangunkan, dong!" ucapku galak. Ini karena aku kesal dengan penolakannya. Om Redi mengangguk-angguk sambil cengengesan. "Siaap!" Ia meletakkan tangan di dahi, menggeser kursi lantas mendudukinya. Aku langsung membuang pandang saat secara tak sengaja bertemu tatap dengannya. "Kenapa lah kau ini?" tanyanya sambil menyuap dengan sebelah mata terpicing. Ih, nyebelin! Benar-benar lelaki gak peka. "Gak papa, hanya sebel aja sama Om!" Senyum lebar langsung terbit di bibirnya, membuat dagunya seakan terbelah membentuk lekuk indah. Tangannya menggaruk-garuk rambutnya yang basah, aroma sabun mandi menguar samar dari tubuhnya. Ia terlihat atletis mengenakan kaus merah tanpa lengan dan dengan bawahan boxer yang membuatnya semakin seksi. Sungguh aku ingin bermanja dengannya, pengantin baru, lhoo. Tapi kan aku lagi ngambek jadi menahan keinginan itu. "Kau marah karena semalam?" Tatapannya menyelidik. "Auk ah, gelap!" Aku menjejalkan nasi ke mulut dengan cepat. Merasakan wajah menghangat karena tatapannya terus terpacak ke wajahku. Ia menyuap sambil terus memperhatikanku. "Ngambek, Karena aku tak mau em el?" Ia mengerling menggoda. Tangannya menoel pinggangku yang membuatku langsung melotot. Gak perasaan banget membahas itu. "Aku kesel karena Om kusuruh nyanyi, malah nyanyi kayak gitu!" Aku menyentak napas dengan berlebihan. Untunglah itu bisa dijadikan alasan. Kalau gak, aku pasti bakalan malu banget. "Itu kan lagu kesukaan kau saat kecil dulu. Ingat lah aku, lagu favorit kau itu." Aku yang tadinya begitu kesal, kini menatapnya terharu. Oh, jadi itu alasannya? Tapi kan sekarang aku udah gede, iih. Aku lagi-lagi menyentak napas masih pura-pura ngambek. Lalu menghabiskan nasi goreng tanpa banyak cakap lagi. Om Redi berdiri. "Karena kau sedang ngambek, tak jadilah aku ajak kau ke menara hari ini. Padahal sedang senggang aku ini." Aku langsung menatapnya penuh minat, tersenyum kecil dan beranjak berdiri. "Siapa juga yang ngambek. Yuk, ke muara sekarang." Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil jilbab, lantas menemuinya yang telah menunggu di depan rumah. Kami berjalan bergandengan tangan menuju perahu, tentu saja aku yang menggandeng tangannya. Beberapa lelaki bersiul-siul saat kami lewat di samping warung. Om Redi melangkah sambil sesekali menggaruk rambut. Malu sepertinya. Tapi terserahlah. Aku terus bertingkah cuek, mengulurkan tangan padanya saat naik perahu dan menatap sekeliling memperhatikan barisan pepohonan nipah yang melambai-lambai tertiup angin. Langit biru cerah dan awan putih bergumpal-gumpal, sungguh elok dipandang mata. Aku terus menatap sekeliling dengan kagum, memandang suamiku dan melingkarkan tangan ke pinggangnya. Ia langsung mengusap kepalaku. "Sudah tak ngambek lagi kau padaku?" "Apaan, sih! Siapa juga yang ngambek!" Aku mengalihkan pandang darinya karena malu. Tatapanku terus tertuju ke barisan pohon nipah, pada tandan-tandan yang ujungnya dipenuhi buah bulat ukuran sedang berwarna coklat kemerahan. Tampak menggiurkan. "Kau mau itu?" "Boleh." Aku mengangguk senang. Om Redi mengemudikan perahunya mendekat. Ia berdiri untuk memetik beberapa lalu mengupasnya dengan pisau lipat yang ia ambil dari saku celananya. Apa dia sengaja membawa pisau itu karena berniat mengambilkanku buah ini? Oh, so sweet. Ada sisi romantis juga ia ternyata. Aku tak bisa menahan senyum bahagia. Om Redi membelah buah di tangannya lalu mengernyit memandangku. "Kenapa kau?" Ia mengeluarkan buah putih seperti kolang kaling lalu memberikannya padaku. Aku membuka mulut. "Aaaak," kataku. Ia tertawa. Lalu memasukkan buah tampak kenyal itu ke mulut istrinya ini. Aku mengunyahnya dengan elegan, memperhatikannya yang menatap lurus ke depan. Perahu kembali membelah sungai menciptakan riak-riak putih di air, aku mengulurkan tangan ke air yang bergolak-golak, indah dipandang mata. "Kau tak pernah ke sini?" Aku menggeleng. "Nggak. Di sini kan banyak orang jahat. Aku takut dibegal." Ia tertawa. "Kau malah jadi bini pembegal." Itu karena aku cinta, tentu itu alasannya. Ya, Om Redi tak seperti ayah yang sudah sepenuhnya bertaubat. Terkadang, ia masih suka membegal saat sedang jenuh. Katanya, melakukan itu membuatnya merasa tertantang. Bukan karena tak ada uang, tapi rasanya menyenangkan. "Om gak boleh lakukan itu lagi. Apalagi Om udah mau jadi ayah. Nanti kalau anak kita nurun seperti ayahnya dan jadi pembegal juga, gimana?" Ia memperhatikanku lama lalu tangannya terulur dan merangkul bahuku, menarik tubuhku mendekat padanya dan aku langsung melingkarkan tangan memeluk tubuhnya. Kamu tahu rasanya, Teman? Sungguh menyenangkan sekali. Kami di tengah sungai dengan pepohonan nipah melambai-lambai tertiup angin, membuat sejuk hari yang berangsur terang ini. Walau matahari mulai membuat tak nyaman, namun tak kupedulikan. "Kau tenang sajalah. Aku sedang dalam masa mengendalikan diri. Tau akulah maksud si Zain memberiku uang itu." "Om harus janji gak boleh mbegal lagi. Janji, ya? Demi dia." Aku merasa geli sendiri saat mengusap perut. Om Redi ikut mengusap perutku, tatapannya berlama-lama ke perutku terlihat heran. "Kenapa, Om?" "Tiba-tiba merasa aneh aku ini. Sudah tiga bulan tapi kenapa masih rata saja, ya? Waktu mama kau hamil, tiga bulan sudah terlihat." Oh, iya juga, yaa? Kenapa aku tak memikirkannya, ya? A-duuh, kenapa ruwet sekali bohong ituu. Lanjut hari sabtu mau gak? Jangan lupa follow akun innovelku Soh lalu subscribe cerita ini biar selalu dapet notif tayang. Yang mengikuti cerbung Tuan dan Pernikahan Haram lanjutan cerbung Nafkah Batin, udah UP yaa barusan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD