Siang itu seluruh karyawan wanita sibuk bergumam dan berbisik satu sama lain. Aku dan Sir Boris yang baru saja tiba merasa heran dengan kondisi ini. Beberapa langsung senyap begitu aku memasuki Lobby. Recepsionist yang tadi sibuk bergosip langsung menunduk hormat padaku. Namun prilaku tersebut justru sangat aneh. Jangan lupakan deretan paparazzi yang sudah berjejer apik seolah menunggu kedatanganku. Beberapa dari mereka mendekatkan microphone nya ke bibirku dan mulai memberiku pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri tak mengerti.
"Sir Boris, apa kamu tahu apa yang terjadi selama aku pergi ?"
Pria itu terlihat meneguk ludahnya dengan susah payah. Sepertinya dia tahu sesuatu namun enggan memberitahuku. Sebelumnya aku mampir ke pabrik tekstile untuk mengecek kualitas bahan, dan tentu saja aku melakukannya sendiri. Sir Boris tak menemaniku seperti biasa. Dia hanya datang menjemputku ketika aku memintanya. Dan disinilah aku bersamanya dengan gumaman tak jelas yang menggema sepanjang perjalananku menuju ruang kerjaku. Setelah dengan susah payah menerobos para reporter gosip diluar sana.
"Katakan saja."
Pria itu melirik sebentar ke segala penjuru. Aku yang mengerti gesture tubuhnya mempersilahkan dia masuk keruanganku. Pria itu tak bicara meski aku sudah duduk nyaman di meja tamu. Aku mempersilahkannya duduk. Dan dia mematuhi itu.
"Jadi apa yang kau tau ?"
Lagi-lagi sorot matanya menyiratkan simpati. Aku sangat penasaran dengan apa yang akan diucapkannya. Karena itulah aku dengan sabar menanti dirinya buka suara.
"Mengenai Tuan Grigorii.."
Oh.. rupanya tentang suamiku. Namun ada hubungan apa denganku ?
"Ya ?"
"Saat kemarin Nona Aghta lembur dan menyuruh saya pulang. Sebetulnya saya tak langsung pulang."
"Lalu ?"
"Tuan Grigorii memerintahkan saya membawa seorang wanita dan dia kerumah pribadi beliau. Perempuan itu pingsan dan berlumuran darah. Makanya saya kemarin membawa mobil nona bersama saya."
Jadi itu sebabnya mobilku kemarin tidak ada ditempatnya.
"Baiklah."
"Dan wanita itu menginap dirumah suami anda."
Apa ? Aku terkesiap. Sir Boris yang mengetahui adanya perubahan ekspresi itu mendadak merasa bersalah.
"Maafkan saya. Seharusnya saya menolak permintaan beliau dan terlebih dahulu meminta izin dari anda."
"Tidak apa-apa Sir. Perintah suamiku lebih mutlak dari milikku."
Namun sekritis apapun kondisinya bukankah seharusnya Grigorii membawanya kerumah sakit ? Mengapa harus ke kediaman pribadinya ? Sejauh ini sudah tidak masuk akal. Dan tiba-tiba adalah rasa aneh yang menjalar dalam diriku. Rasanya begitu asing sampai aku tak mengerti ada apa dengan diriku.
Kami memiliki tiga rumah. Masing-masing rumah milik pribadi dan satu lagi rumah tinggal bersama. Kemarin malam aku pulang kerumah tinggal kami. Dan memang benar Grigorii tidak ada disana. Jika benar apa yang dikatakan Sir Boris, alasan mengapa dia tak ada dirumah tinggal kami mungkin karena dia pulang kerumah pribadinya. Dan kebersamaannya bersama wanita itu membuat kepalaku tiba-tiba pusing. Apa mungkin aku kurang tidur ya ?
Sir Boris menatapku dengan simpati. Buru-buru dia pergi dan bilang akan memanggilkan Rosèlind. Sepertinya dia benar. Aku butuh Rosèlind sekarang.
"Anda tidak apa-apa Bu direktur ?"
Rosèlind mendekatiku, dia nampak khawatir karena wajahku pucat katanya. Dia bergegas hendak memanggil ambulan namun aku menghentikannya. Ini bukan karena penyakit.
"Jadi maksudmu wanita itu menginap dirumah suamimu ?"
Rosèlind mendecakan lidahnya. Tepat setelah aku bercerita dia seolah menggantikanku marah dengan ekspresinya yang meledak ledak.
"Bagaimana mungkin perempuan tak tahu diri itu menginap sedang dia tahu Pak CEO itu sudah memiliki istri. Apa dia secara terang-terangan menggoda suamimu. Ini gila ! Tidak masuk akal !"
Aku tak merespon banyak, sebetulnya aku ingin menyuarakan hal yang sama. Namun shock yang kuterima sangat dalam hingga aku lemas. Berpura-pura tegar ada batasnya ya.
"Haruskah aku melabraknya untukmu Aghta ? Aku gregetan kalau saja aku tau mukanya."
Aku bersyukur karena Rosèlind ada disampingku. Namun aku menggeleng. Mengikuti emosi hati hanya akan memperburuk keadaan. Dan jelas itu bukan ide yang bagus. Aku menggeleng sebagai jawaban dan Rosèlind memandangku lemas. Dia hanya berusaha membuatku lebih baik. Aku tahu itu.
"Aku akan menanyakannya nanti. Sekarang lebih baik kita urus soal issue gosip tak menyenangkan ini. Baru kemudian kembali fokus pada pekerjaan"
Rosèlind mengangguk kecil kemudian kembali mengubah dirinya menjadi mode kerja. Entahlah segalanya berputar dan membuatku mual. Mengapa Grigorii bisa seceroboh ini ?
***
Malam itu aku bersama Grigorii duduk berdampingan. Satu hari dalam seminggu kami berdua menyempatkan untuk bersama disela kesibukan kami. Biasanya dia akan berceloteh panjang lebar, tapi kali ini suasana hatinya nampak sedang kurang baik. Aku mencoba mencari timming untuk mempertanyakan soal dia dan wanita yang dia bawa. Perbincangan kami terus berputar hanya soal bisnis. Sesekali aku menanggapinya juga. Namun rasa ingin tahu membuatku tak bisa untuk diam saja.
"Aku dengar kau membawa wanita lain ke rumah pribadimu."
Aku sengaja memakai kata wanita lain. Selain karena mencoba menguji kejujurannya aku ingin tahu respon seperti apa yang akan dia tunjukan padaku. Dan dugaanku, wajahnya berubah tegang. Dia bahkan berhenti mengunyah sesaat. Alisnya bertaut. Itu ekspresi yang jujur saja baru pertama kali kulihat.
"Darimana kau mendengar itu ?"
Kali ini dia seolah mencoba mengancamku. Namun aku mengedikan bahu. Besikap santai seperti biasanya.
"Seluruh karyawan membicarakannya. Aku tak bisa tak mendengarnya."
Setidaknya tidak jadi seluruh dunia karena aku sudah mengurusnya.
"Maksudmu kau lebih mempercayai mereka ketimbang suamimu ?"
Apa dia sendiri tak tahu kebodohan apa yang sudah diperbuatnya ?
"Aku hanya sedang mencoba menggali kebenaran dengan caraku. Mempercayai mereka atau tidak itu hak ku. Bukankah begitu ?"
"Tapi kau seolah menuduhku melakukan sesuatu. Apa aku salah ?"
"Aku hanya bertanya apa benar kau membawa wanita ke rumah pribadimu ? Aku tidak menuduhmu."
Tidak menuduh karena aku punya bukti otentik.
"Kita bertemu satu hari dalam satu minggu. Tak bisakah kita membicarakan hal lain ?"
"Baiklah. Kurasa aku tahu jawabanku."
"Apa yang kau tahu ?"
"Kau tidak ingin mengatakannya. Itu saja."
"Kau bahkan tidak menanyakan keadaanku."
Aku masih bisa mendengar suaranya yang kecil. Namun aku memilih pergi dan melindungi harga diriku.
***
Rosèlind Gremorrya adalah kandidat yang aku pilih sebagai asisten pribadiku sejak awal. Pribadinya yang blak blakan namun cekatan dalam bekerja adalah satu dari sekian point aku mempekerjakan dirinya dalam lingkaran terdalam hidupku. Perempuan itu kerap bersikap layaknya kami adalah sahabat dekat, dan anehnya dia tahu bagaimana cara menempatkan waktu. Saat dia harus bicara layaknya bawahan pada atasan. Atau saat dia ngobrol layaknya kawan. Terus terang dia adalah sahabat kecilku yang dulu menemani ketika aku disibukan dengan berbagai buku tebal. Jika tanpanya aku mungkin tidak akan bisa tumbuh dengan baik. Aku tak menyangka namanya bisa secara kebetulan berada dalam daftar pencari kerja. Layaknya sahabat lama dia juga terkejut mengetahui posisiku sebagai bosnya. Aku senang sebab dia ada disisiku seperti dulu, mungkin dengan kehadirannya aku bisa lebih santai.
"Jadwal anda selanjutnya adalah menerima kunjungan dari Rusia. Kharald adalah nama perwakilan perusahaan mereka."
Rosèlind memberikanku sedikit penjelasan saat kami sedang berjalan menuju ruang tamu. Perempuan itu berusaha mengikuti langkah kakiku yang lebar, sembari menyesuaikan diri dengan beberapa dokumen yang dipeluknya.
"Ada informasi lainnya ?"
"Dia memiliki tempramen kurang bagus, maksud saya dia orang yang moody. Anda sebisa mungkin harus menjaga moodnya dalam kondisi stabil agar negosiasi dapat berjalan lancar."
Kali ini Rosèlind membuka kan pintu untukku. Sebelah matanya mengedip terakhir kali sebelum dia meninggalkanku dengan pria berkulit eksotis di sebrang sana.
"Semoga berhasil."
Dia kini berlaku layaknya sahabat, kemudian maju terlebih dahulu untuk memberikan salam ramah tamah pada pria berwajah jutek. Meski parasnya bisa dibilang tampan, namun karena pembawaannya yang tegas dia nampaknya bukan tipikal orang yang dapat dengan mudah ditaklukan.
"Selamat siang Sir Kharald. Sesuai dengan jadwal kali ini, ini adalah pertemuan anda dengan direktur kami. Miss Aghta. Beliau yang akan menemani anda. Dan Miss Aghta, ini Sir Kharald. Beliau adalah investor perusahaan kita."
Rosèlind memperkenalkan kami. Sangat natural seakan aku dan dia bukanlah sahabat. Dia lalu melemparkan senyum penuh arti sebelum undur diri dan menutup pintu. Udara disekitarku mulai terasa tipis. Pria itu juga nampaknya tak menunjukan gelagat memulai pembicaraan, karena itulah aku memulainya dengan sebuah senyum tipis. Senyum pembuka untuk mengawali bisnis. Dia terkesiap sedikit, namun ekspresinya kembali kaku.
"Selamat siang Sir Kharald. Saya secara pribadi sangat senang dengan pertemuan pertama kita. Jika ada hal-hal yang ingin anda tanyakan saya akan menjawabnya untuk anda."
Laki-laki itu diam sebentar, kemudian meraih cangkir berisi kopi sebelum akhirnya menyesapnya. Pria ini mungkin sedang mencoba membangun rasa nyaman. Karenanya meski ujarku tak langsung dibalas aku bersabar untuk menanti respon darinya.
"Berlaku seolah tidak ada yang terjadi, anda sungguh tangguh Miss."
Aku tidak langsung mengerti arah pembicaraan Sir Kharald. Namun melihatnya memandang figur Gregorii diruang tamu. Aku tahu maksud pria itu. Gosip affair suamiku mungkin telah sampai ketelinganya.
"Saat ini saya sedang membicarakan soal bisnis dengan anda. Tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi saya."
Aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku ucapkan. Aku memang sudah sangat terlatih untuk memisahkan segala hal pribadi dengan pekerjaan. Bagiku kedua dunia itu sudah terpisah bagai minyak dan air dalam satu wadah. Tidak ada alasan bagiku melibatkan soal pribadi dalam urusan bisnis. Namun rupanya pria dihadapanku nampak tak suka. Wajahnya mengerut tak suka.
"Di negaraku, pria yang tak bisa menjaga kesetiaan terhadap istrinya adalah seorang yang tak bisa konsisten terhadap hal lainnya juga. Akan sedikit meragukan bagiku untuk berbisnis dengan seorang CEO yang memiliki karakter seperti itu."
Dahiku mengkerut tipis, sengaja kusamarkan agar Sir Kharald tak bisa menyadari perubahan ekspresi wajahku.
"Setiap negara memiliki aturannya sendiri Sir, bagi saya karakter dengan caranya mengelola perasaan pribadi adalah hal yang berbeda."
Pria itu kini tersenyum, bukan jenis senyum puas namun senyum kecil merendahkan.
"Bagaimana anda bisa meyakinkan saya Miss ? Posisi anda saat ini tidak bisa begitu saja membuat saya tenang menyerahkan investasi."
Dia berseringai, berusaha memojokanku. Mengintimidasi mentalku dengan cara merendahkan CEO. Sebagai seorang istri sudah seharusnya aku membela kehormatan suamiku. Namun karena ini berkaitan dengan perusahaan aku sebagai koleganya harus bisa serta merta membuat klien nyaman dan membuat dia bisa percaya meskipun pada kenyataannya Gregorii memang sudah berubah.
"Kami akan mengembalikan dana yang anda simpan. Berikut juga kompensasi apabila terjadi hal yang tidak diinginkan."
Pada akhirnya aku membuat sebuah keputusan. Pertaruhan yang mungkin akan membuat bangkrut perusahaan. Namun resiko diperlukan. Apalagi jika lawannya adalah Sir Kharald pria dengan tempramen tegas tersebut pasti tak akan bisa mengatakan tidak pada keuntungan berlipat ganda yang akan dia dapatkan.
"Berapa banyak kau bisa meyakinkanku ?"
Sesuai dengan dugaanku dia tertarik. Arogansinya naik, tapi justru itu bagus. Dia memakan umpanku dengan sempurna.
"Dua kali lipat dari keseluruhan dana yang anda investasikan."
Kali ini dia terkejut. Bahkan mengembalikan ekspresinya yang kaku dibutuhkan waktu. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai hiburan jika aku bisa mengubah ekspresi pria dengan muka batunya itu.
"Sama saja kau mengadaikan perusahaan suamimu Miss. Kau tidak sedang bermain-main denganku kan ?"
"Saya tidak akan bertaruh jika saya tak memiliki keyakinan untuk memenangkannya. Jika diperlukan saya akan membuat kontraknya."
***
"Apa yang suamimu katakan ?"
Rosèlind kini mengintrogasiku saat jam makan siang. Dia dengan sangat antusias memaksaku bercerita. Aku hanya menghela napas. Membicarakan soal perempuan yang aku sendiri bahkan tak tahu batang hidungnya membuatku panas. Entahlah, mungkin karena kini aku merasa harga diriku tercoreng.
"Dia tak berbicara apapun soal wanita itu"
Aku menyelesaikan ceritaku dalam sekali tarikan napas. Tidak mendetail, namun aku memberitahunya point penting yang aku dan Grigorii bicarakan. Intinya memang seperti itu. Meski aku mendesaknya dia tak mau buka mulut. Dengan sekali anggukan, urat kemarahan muncul didahinya.
"Kau tahu itu adalah awal dari sebuah perselingkuhan. Tidak mengakui kesalahan, namun bertindak justru kau yang seolah halu dan menuduhnya."
Rosèlind menenggak minuman nya dalam sekali teguk. Sebagai teman masa kecilku aku tahu hal pribadi yang menggagunya. Trauma masa kecil yang dia rasakan tak bisa terobati. Dan dia menyayangkan jika apa yang menimpa ibunya rupanya dirasakan olehku juga. Rosèlind menderita cukup lama karena sang ayah memilih bersama gundiknya daripada bersama dengan ibunya istri sah beliau. Hal itulah yang menjadi dasar mengapa Rosèlind hingga kini betah dengan statusnya sebagai single woman. Tak peduli pada perkataan sekitar.
"Aku tak begitu pandai soal hati Rosè."
Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku memang terluka, namun bukan hatiku melainkan harga diriku. Aku merasa disepelekan meskipun aku telah berupaya sesempurna mungkin membantu Grigorii mengelola perusahaan ini.
"Oh Dear, kita harus mencari tahu dan mencegah hubungannya dengan suamimu berlanjut. Aku tidak ingin kau terluka."
Dia membelai pergelangan tanganku. Bentuk perhatiannya sebagai kawan lagi-lagi dia perlihatkan dengan jelas.
"Seandainya aku tahu cara yang tepat mengatasi ini."
Aku bingung, bingung bagaimana solusi terbaik untuk menghadapi kenyataan. Bagaimana laku dan tindakanku seandainya aku bertemu dengan perempuan itu. Meski aku percaya pada Grigorii. Namun aku merasa terancam. Entah mengapa. Aku hanya berdoa kami tidak bertemu. Maka aku bisa menganggap suamiku hanya berbuat kesalahan kecil dalam hidupnya.