Menggantungkan Harap

2205 Words
"Bagaimana tubuhmu ?" Grigorii bertanya dengan lembut, sang wanita yang hampir sepekan berbaring diranjangnya tersebut tersenyum lemah. Dia kini tengah sibuk berkutat didepan kompor, sedangkan dirinya duduk memandang figur wanita itu dari belakang.   "Sudah baik. Terimakasih sudah merawatku." Kali ini wanita itu tersenyum layaknya bulan sabit. Caranya bertutur sangat lembut dan manis. Grigorii tak bisa begitu saja mengabaikannya. Rasa simpati dan ingin melindungi selalu kerap hadir tanpa dia sadari.   "Karena aku kamu jadi terluka." "Tidak apa-apa aku sudah membaik. Justru aku sangat berterimakasih atas segala kebaikanmu mau menampungku dirumah ini- ah.. kurang garam" Sesekali dia berbalik untuk menyahuti perkataan Grigorii. Tangannya sendiri sibuk dia gunakan membolak balik pan. Grigorii tersenyum melihat tingkah perempuan itu. Seperti ada angin segar yang hinggap dihatinya. Lama memperhatikan perempuan itu kini mulai sibuk menata makanan diatas meja, agak sedikit kesulitan rupanya karena kakinya masih dalam perawatan. Tanpa disengaja, dia kehilangan keseimbangan. Menjatuhkan beberapa piring yang dipegangnya kelantai. Tak terkecuali tubuhnya juga ikut ambruk bersama pecahan beling. Betisnya berdarah, terkena pecahan kaca. Grigorii beringsut kaget. Matanya melotot.   "Hati-hati. Sudah kubilang untuk diam saja kan ? Jangan memaksakan diri !!" Kali ini Grigorii berujar sedikit naik. Khawatir mendominasi, namun karena terbiasa bersikap acuh tak acuh Grigorii tak bisa mengontrol nada bicaranya seolah dia terdengar membentak.   "Ah.. ma-maaf." Grigorii terkejut melihat perempuan itu kepayahan. Ada air mata menggenang di pelupuk netranya. Rasa bersalah menjalar, membuat Grigorii merasa serba salah sekarang.   "Meisei.." Rasa marah kini ikut meletup, bukan pada si pemilik nama melainkan pada dirinya sendiri yang tega membuat perempuan didepannya berderai air mata. Tanpa dikomando, kedua tangannya merengkuh tubuh mungil si wanita. Mengungkungnya dalam kehangatan. Menyalurkan permintaan maaf dengan tindakan. Grigorii juga tak mengerti darimana inisiatif seperti ini berasal. Yang pasti kontak fisik secara intim dengan wanita baru kali ini dia lakukan. Jantungnya berdegup dengan kencang.   "Hikss.. aku merusak barangmu." "Tidak bukan itu Meisei. Lihat kakimu terluka. Mulai sekarang jangan melakukan apapun okay ?" Grigorii sedikit menjauhkan tubuhnya, memandang penuh si pemilik wajah cantik ini kemudian menghapus air matanya. Meisei mengangguk kemudian kembali menenggelamkan dirinya ditubuh Grigorii. Jujur saja, pelukan itu membuat Grigorii melupakan segalanya. Termasuk statusnya yang sudah beristri. Dia lupa pada istrinya. Tidak. Bahkan sejak awal dia menampung Meisei dirumahnya dia tak pernah memikirkan Aghta. Entah meski dirinya bisa jujur terhadap segala hal pada Aghta tanpa takut apapun. Kehadiran Meisei justru dia tutup rapat-rapat. Dorongan untuk menyembunyikan keberadaan Meisei dikediamannya tak pernah dia rencanakan. Namun untuk mengakuinya dia enggan.   "Maaf Meisei. Aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya khawatir." Kali ini Grigorii membelai surai panjang si wanita. Mengelusnya perlahan, membuat Meisei larut dalam kenyamanan.   "Kau tidak perlu merasa bersalah sedikitpun. Justru aku merasa hidupku tertolong dengan adanya kamu. Terimakasih" Lagi-lagi, kata-kata yang keluar dari mulut Meisei seolah mengandung daya magis. Grigorii selalu berdebar pada segala hal tentang Meisei. Sejak awal mereka bertemu. Keinginan memonopoli jadi membesar. Rasa simpati dan keinginan melindungi perlahan bergeser bukan pada tempatnya.   ***   Selepas makan siang aku berpapasan dengan Ustin. Pria berkacamata itu sedikit menganggukan kepalanya kearahku. Memberi isyarat penghormatan jarak jauh. Yang aku herankan, hari ini aku belum melihat keberadaan Grigorii di kantor. Biasanya Ustin kerap berada disamping Grigorii tapi kali ini hanya Ustin ? Bukankah sedikit aneh. Melihat ekspresiku yang sedikit terganggu. Pria itu berhenti melangkah saat kami sudah berpapasan.   "Selamat siang Miss Aghta." Oh.. rupanya hanya basa basi biasa. Aku menutup rasa ingin tahuku. Seperti diawal, aku tak berhak ikut campur masalah pribadi Grigorii. Karenanya aku memberi senyum tipisku pada Ustin dan kembali melangkah lagi. Pria itu tak merespon apa-apa hanya saja aku merasa ujung matanya seperti tengah melahap diriku bulat-bulat. Seperti seseorang yang sedang menilai penampilan. Kemudian seringai tipis terlihat diujung senyumnya yang biasa. Agak terganggu sebenarnya, namun aku mengabaikan itu. Tidak penting memikirkan penilaian oranglain. Sebab sejak dulu aku memang selalu mencuri perhatian siapapun. Perhatian Ustin tidak berarti sedikitpun bagiku.   Tiba di ruangan kerjaku, aku segera kembali berkutat dengan laporan-laporan yang dibuat para karyawan. Soal ide pemasaran, Kualitas barang, respon konsumen, serta laporan penjualan yang meningkat cukup pesat. Aku tersenyum dengan hasil yang kudapatkan. Sampai terdengar bunyi ketukan pintu.   "Masuk." Aku mengontrol ekspresi muka milikku menjadi sedatar mungkin. Menghilangkan senyum yang barusaja terukir di pipi.   "Maaf mengganggu anda Bu direktur. Ini mengenai calon asisten baru anda. Saya sudah membawanya." Rosèlind memberikanku satu buah map berisi informasi yang mendetail soal calon asistenku. Seperti sebelumnya, karena pekerjaan kian bertambah aku memutuskan untuk menambah tenaga baru untuk mengisi posisi didekatku. Posisi krusial yang tak mungkin hanya diisi oleh Rosèlind mengingat dia memiliki batasnya sendiri. Karena jadwal yang awalnya ingin aku kosongkan benar-benar padat. Aku kemudian menyerahkannya pada Rosèlind yang sudah tahu betul t***k bengek mengenai aku. Jadi kupikir pilihan Rosèlind akan cukup mendekati keinginan dan kebutuhanku.   "Dia sudah disini ?" Aku memandang Rosèlind yang berdiri tegak didepanku. Dia tersenyum, mungkin tak menyangka dengan responku yang cukup cepat tanpa pertimbangan seperti biasanya.   "Ada dibalik pintu."   "Bawa dia masuk." Aku melewatkan membaca dokumen yang Rosèlind bawa padaku. Kurasa dengan melihatnya langsung aku akan bisa menilai apakah dia cocok bersanding denganku atau tidak. Rosèlind mengangguk kemudian berbalik untuk menyuruh si pegawai baru masuk. Namun seperti adegan film. Aku tidak menduganya sama sekali. Didepanku berdiri pria angkuh dengan senyum arogansinya. Meski rambutnya disisir rapi, aku masih mengingat netra kelamnya yang memandangku dengan cara menggoda. Hanya satu orang yang berani berbuat begitu padaku. Dan jujur saja itu bukan ingatan yang menyenangkan. Rosèlind berdiri membelakangiku namun posisinya berdiri berada diujung meja, sehingga keberadaanya tidak menganggu arah pandangku.   "Ah, senang bertemu kembali dengan anda Bu direktur." Pria itu sengaja menekan kata kembali dalam kalimatnya. Membuat Rosèlind langsung mendelik kearahku. Sedang responku biasa saja. Meski dalam hati aku amat sangat mengutuk kecerobohanku yang main panggil tanpa melihat profilnya terlebih dahulu.   "Saya Lievh Alexei, saya rasa anda sudah tidak asing lagi dengan nama itu." Lagi-lagi dia membawa ingatan malam itu dalam situasi ini. Aku memandangnya dengan tajam, sedang Rosèlind sedikit berdehem untuk mengurangi adanya perang tatap menatap diruangan ini.   "Apa ada yang tidak saya ketahui sebelumnya Bu direktur ?" Nada bicaranya memang biasa, namun bagiku yang sudah hafal kebiasaan Rosèlind dia sedang menagih cerita dibalik layar. Aku menghela napas. Situasi ini benar-benar sangat lucu. Tapi aku tak bisa menertawakannya. Luar biasa.   "Baiklah Sir Leivh selamat datang diperusahaan kami. Selamat bergabung." Kataku sebagai isyarat untuk menyeret Si Leivh ini pergi dariku secepatnya. Rosèlind mengangguk, dan memberi isyarat pada Leivh untuk meninggalkan ruangan.   "Terimakasih Bu direktur, saya harap anda tidak melupakan soal membayar saya yang waktu itu." Aku terkesima. Keberanian bocah itu luar biasa perlu diapresiasi. Rosèlind terlonjak, dirinya terlihat sangat ingin mengetahui cerita detail dari mulutku saat ini juga. Namun wanita itu menahan dirinya dan secara perlahan menuntun Leivh meninggalkan ruanganku. Demi Tuhan hari ini sangat melelahkan. *** Sudah hampir dua pekan, aku tak pernah bertemu muka dengan Grigorii bahkan pertemuan rutin kami pun sudah tak dia hadiri. Berbagai spekulasi mulai menghantui layaknya pisau yang memotong urat nadi. Meski begitu, intuisi tak bisa jadi pokok hal yang kupercayai. Aku menatap layar ponselku. Grigorii bahkan tak pernah memberiku sebuah pesan satupun. Seolah kami terasing akhir-akhir ini. Pertemuanku dengan Ustin sering terjadi, tapi aku menahan diri untuk bertanya meski aku yakin Ustin tahu kabar terkini dari suamiku. Entah kenapa aku takut. Takut bila apa yang kupikirkan adalah realita. Meski aku tak mencintainya, namun dilihat dari sudut pandang manapun. Bukankah akan aneh bila aku tak bereaksi apapun ? Karenanya aku menganggap ini kewajaran.   "Kau sudah dengar kabar pagi ini Bu direktur ?" Rosèlind tak menyapaku dengan sapaan ringan. Gadis itu justru menyeretku untuk masuk ruangan kerjaku secepat mungkin. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi melihat laku tindakannya sepertinya ini cukup penting. Aku mengikuti tanpa bertanya. Biarkan penjelasan berada diakhir saat kami sudah berdua saja.   "Ini gila ! Aghta !! Suamimu sudah tidak waras !!!" Perkataan Rosèlind membuatku mengerutkan kening. Apanya yang gila ? Dia dan Grigorii memang tak bertukar kabar namun melihat kehebohan Rosèlind pagi ini nampaknya ada sesuatu yang tak masuk akal sudah terjadi.   "Dia membawa perempuan disisinya. Ke kantor ! Dengan kau istrinya ada disini." Dia memukul jidatnya sendiri. Aku sendiri kehilangan kata-kata. Rasanya lututku bergetar. Namun aku menguatkan diri dengan perlahan duduk dikursiku.   "Aghta ini sudah kelewatan. Apa kau akan diam saja ?" Aku tidak tahu. Jujur saja. Aku tidak memperhitungkan adanya hal ini sepanjang pernikahanku dan Grigorii terjadi. Aku selalu mengira bahwa kami akan bersama hingga sisa umurku. Namun rupanya aku terlalu naif hingga percaya bualan semacam itu.   "Kau tau siapa dia ?" "Entahlah.. dari yang kudengar dia sekretaris baru Pak CEO. Sudah pasti terjadi sesuatu. Ah- maaf." Rosèlind tiba-tiba terkejut sendiri. Nada suaranya dia turunkan. Aku mengernyitkan dahi. Namun dirinya justru menampilkan raut wajah bersalah. Sekretaris baru tanpa diskusi denganku terlebih dulu ? Ini sangat aneh.   "Seharusnya kau tidak perlu tersakiti. Seharusnya aku tidak memberitahumu tentang ini." Rosèlind percaya jika aku dan Grigorii saling mencintai. Sebab diluar sana kami berperan sebagai suami istri dengan sempurna. Bahkan beberapa tv lokal menjadikan kami sebagai figur couple goal. Ironis, sebab justru tidak ada yang seperti itu dalam kehidupan kami sebenarnya. Aku menghela napas.   "Tidak apa-apa terimakasih sudah memberitahuku." "Kau yakin ? Aku siap melabrak perempuan itu asal kau memberiku izin untuk ikut campur." "Tidak Rosè, ini adalah antara aku dan Grigorii. Dengan mencemaskanku saja aku sudah cukup bersyukur." "Oh, Dear kuharap apa yang ibuku alami tidak menimpamu juga." Sayang sekali Rosè, do'amu mungkin tidak terkabul. Karena sekarang sudah terjadi. Kurasa. "Semoga iya karena aku mempercayai Grigorii."   ***   Dua pekan sejak cuti, akhirnya Grigorii harus kembali pada rutinitas. Namun ada rasa yang menggelayuti dadanya. Dia tak ingin meninggalkan Meisei meskipun hanya sebentar. Pagi itu, Meisei telah menyiapkannya sarapan diatas meja. Kakinya sudah baikan dan dia bisa berjalan normal. Harum aroma masakan dan keceriaannya dipagi hari membuat Grigorii merasa nyaman atas perlakuan perempuan itu. Dia sejenak berharap bila Meisei adalah istrinya. Istri sahnya.   "Aku akan bekerja." Acara sarapan berjalan biasa, terjadi jeda cukup lama dan Meisei tidak menjawab. Barulah ketika hidangan diatas meja kandas. Perempuan itu mengambil inisiatif membereskannya. Dia bergerak menuju wastafel untuk mencuci piring bekas makan mereka. Grigorii sendiri hanya memantau pergerakan wanita itu.   "Benarkah ? Baguslah kalau begitu. Aku sudah terlalu lama menjadi beban bagimu. Kurasa aku akan berkemas." Jawaban itu meluncur santai ketika Meisei mencuci peralatan makan. Dia bersenandung kecil.   "TIDAK !!!" Grigorii setengah kalap mendengar Meisei hendak berkemas. Pikirannya ditinggalkan perempuan itu membuat hatinya sesak. Dia tak bisa membayangkan kembali pada kehidupan tanpa perempuan itu disisinya. Tidak. Meisei sudah menjadi candu, dan tidak ada obatnya. Meisei sendiri kaget dengan teriakan itu. Ketika dia hendak berbalik, tubuhnya telah dikungkung pemuda itu dengan posesif. Grigorii memeluk Meisei dari belakang. Terlalu erat hingga Meisei kesulitan bergerak, bahkan untuk meraup napas. Tak menyianyiakan kesempatan pria itu dengan berani mengecup perpotongan leher Meisei. Memberinya tanda kepemilikan hingga perempuan itu melengguh nikmat. Grigorii menggila mendengar desah menyenangkan keluar dari mulut ranumnya.   "Grigorii..." Lembut setengah desah dan berbisik ditengah kenikmatan, malah membuat Grigorii kian bersemangat. Pria itu mulai berani. Tangannya aktif menjalar, meraba tubuh wanita itu dengan hati-hati. Mengelusnya, merapatkan tubuhnya dan menyentuh benda kenyal dibalik kaus oblong yang dikenankannya. Lagi-lagi Meisei melengguh terhadap perlakuan tak senonoh pria itu. Sekali lagi Grigorii melepaskan ciuman pada perpotongan leher wanita itu. Sesekali memainkan lidahnya, menciptakan sensasi panas pada tubuh si wanita. Dia merasa Meisei menikmati perlakuannya. Dan Grigorii bangga akan hal itu. Dia berhenti bermain. Perlahan bibirnya dia dekatkan pada telinga Meisei.   "Jangan pernah sekalipun mengatakan kau ingin pergi dariku. Karena aku tak sanggup jika kau tak ada disisiku. Mengerti ? Hm ?" Tanpa aba-aba Grigorii bergerak nakal lagi. Dia menghembuskan napasnya di telinga Meisei. Kemudian selanjutnya memberi sapuan lembut dengan lidahnya. Lagi-lagi dia mendengar erangan dan gerakan gelisah. Meisei sudah b*******h.   "Grigorii kumohon.. jangan lagi. Kau bisa membuatku gila." Grigorii melepaskan kungkungannya. Memberikan kesempatan pada Meisei untuk mengendalikan tubuhnya yang hampir kehilangan keseimbangan karena tindakannya. Sumpah. Grigorii terpesona padanya sekarang. Meisei begitu cantik. Dan dia sangat penurut dan manis. Dia melihat perempuan itu seperti kepayahan mengendalikan diri, napasnya tersenggal dan wajahnya memerah. Tatapannya sayu membuat Grigorii mengepalkan jarinya untuk menahan diri agar tak berbuat lebih. Namun pada akhirnya dia tak tahan. Grigorii mendekati Meisei lagi, namun kali ini hanya mengecup. Ya, dia mengecup dahi Meisei dan mengelus rambutnya sebelum mundur beberapa langkah.   "Terimakasih karena kau hadir dalam hidupku Meisei."   "Aku juga bersyukur bisa bertemu denganmu. Apa tidak ada yang bisa kulakukan untukmu ?"   "Bisa. Jadilah sekretarisku dan kita pergi ke kantor hari ini." Meisei agak terkejut pada ajakan pria itu. Setelah menolongnya, bahkan dia memberinya pekerjaan ? Apakah dia ini malaikat ? Meisei tersenyum canggung. Dia ingat kekurangan dirinya. Dan akan sangat memalukan baginya untuk bersanding dengan Grigorii dalam kondisi pengetahuannya yang minim.   "Andai saja bisa. Tapi aku tidak cukup pintar. Bersamaku hanya akan membuatmu malu." Meisei menggerakan ujung jarinya memilin rok terusannya. Dia malu. Berkata bahwa dia tak seperti perempuan yang berpikiran cerdas karena pendidikannya rendah. Bisa membaca dan menghitung saja sudah anugrah. Tapi menangani dokumen kantor. Tidak.. hanya akan memalukannya.   "Siapa peduli ? Aku hanya ingin kau berada disisiku sepanjang waktu. Apa itu berlebihan ?" Jadi reaksi seperti apa yang harus dia berikan pada Grigorii.. bersama dengan pria ini membuatnya bisa kembali merasa hidup. Dan dia mengakui jika dirinya telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pria yang menabraknya namun bertanggung jawab hingga akhir. Memberinya kenyamanan dan juga cinta ? Apa terlalu tinggi dia berharap jika Grigorii mencintainya juga ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD