Malea beranjak dari kamarnya dan mencari Darren, ternyata pria itu sedang duduk di meja makan sambil menyantap sarapan roti dan secangkir kopi kesukaannya.
Dengan langkah ragu, Malea menghampiri pria itu dan berusaha menenangkan dirinya yang tampak gelisah, ia pun menarik napas panjang sebelum membuka mulutnya untuk berbicara. Namun, Darren terlebih dulu memulai pembicaraan mereka, “Ada apa? Kau seperti ingin mengatakan sesuatu.”
“Sementara kau bekerja, bolehkah aku pergi keluar sebentar?” Tanya Malea yang membuat alis pria itu mengerut, “ada seorang kerabatku yang baru tiba di Indonesia kemarin setelah tiga tahun ia pergi. Aku ingin menemuinya sebentar.”
Kerabat?, Darren mengangkat bahu, entah apa yang harus ia katakan?. Malea tidak pernah sekalipun menceritakan tentang keluarganya, lagipula Darren tidak pernah bertanya tentang itu.
Darren menatap arlojinya, tampak tengah berpikir, “dua jam cukup?” Ia bertanya.
Malea menganggukkan kepala, walau sebenarnya waktu sebanyak apapun tidak akan cukup baginya melepas kerinduannya.
“Baiklah,” putus Darren yang membuat mata Malea berbinar-binar penuh kegembiraan. “Kau butuh uang?”
“Tidak...!” Malea menjawab tegas, ia tidak membutuhkan apapun lagi, semua yang diberikan Darren untuknya sudah lebih dari cukup. “Aku akan meminta kerabatku menjemputku nanti. Bisakah kau izinkan aku pergi tanpa Danny selama dua jam itu?”
Darren sempat ragu, tapi ia akhirnya memutuskan untuk mencoba mempercayai gadis ini. “Terserah kau saja.” Malea tidak pernah menyangka Darren akan memberikan sedikit keleluasaan untuknya. Sebelumnya, ia sempat berpikir akan berdebat dengan Darren, tapi ternyata pikirannya salah. Darren tidak seburuk yang ia pikirkan.
“Terimakasih.” Saking girangnya Malea memeluk pria itu dan mengecup pipinya lembut sebelum ia berlari ke kamarnya untuk bersiap-siap.
***
Pukul satu siang, sesuai janji Malea menunggu di lobi apartemen dan seorang laki-laki berjas hitam keluar dari mobil mewah lalu menghampirinya. Malea kebingungan ketika pria tersebut menyapanya dengan sopan dan memperkenalkan dirinya sebagai ajudan tante Marlyne yang ditugaskan untuk menjemput Malea.
“Sepertinya Anda salah orang, tuan? Tidak mungkin tante Marlyne menyuruh Anda menjemput saya.” Kata Malea sedikit ketakutan jika ternyata pria ini bukan orang suruhan tante Marlyne, tapi seseorang yang bermaksud untuk menculiknya dengan berpura-pura sebagai suruhan tantenya. Lagipula, tante Marlyne yang tidak kenal, adalah wanita yang sederhana. Dia hanya tinggal di sebuah rumah sederhana bersama suami dan anaknya. Bagaimana bisa, dia tiba-tiba memiliki seorang ajudan yang mengendarai mobil mewah.
Pria itu tersenyum penuh pengertian. Ia sama sekali tidak tersinggung ketika Malea menolak tawarannya. Kemudian, beliau mengambil ponsel dari dalam saku, mencoba menghubungi seseorang. Ia menyerahkan ponselnya, “silakan berbicara sendiri dengan Nyonya...” ujar pria itu mencoba menjelaskan situasi dengan wanita yang dia sebut ‘nyonya’.
Dengan ragu, Malea mengambil ponsel itu dan berbicara dengan seseorang yang berada di ujung panggilan telepon. “Ha..halo,”
“Lea.... ini tante Marlyne, sayang.... bagaimana kabarmu sekarang, hah? Maaf tante tidak mengabarkan ke kamu kalau ajudan tante yang akan menjemputmu. Sekarang kau ada dimana? Tante tunggu ya, sayang...” Malea tak sempat berbicara sepatah kata pun karena wanita itu terus berbicara tanpa memberinya kesempatan. Akhirnya, Malea pun mengakui kalau pria ini benar-benar orang suruhan Tante Marlyne yang dikenalnya. Tapi bagaimana bisa?.
Sepanjang perjalanan Malea memikirkan tentang wanita yang sudah seperti ibunya sendiri selama ini. Tante Marlyne adalah sahabat ibunya sejak kecil, ketika mereka menghabiskan masa kecil mereka di panti dengan Ibu Susi sebagai pengasuh mereka.
Seingatnya tante Marlyne orang yang sederhana, jauh dari kesan glamor seperti yang ditampilkannya saat ini. Seorang ajudan, supir pribadi, mobil mewah, Malea tidak habis pikir ketika mereka berkendara ke sebuah pemukiman elite yang dikelilingi rumah-rumah megah yang bagus.
Mobil mereka berhenti di depan gerbang berwarna hijau yang tertutup rapat. Seorang penjaga gerbang menyapa mereka, lalu secara otomatis gerbang terbuka untuk mereka lewati. Ia menatap kagum rumah yang berdiri bak istana di hadapannya. Seorang pelayan menyambut kedatangan mereka dengan senyum ramah. Malea merasa canggung melihat mereka berusaha melayani Malea dengan baik, “bisa saya bawakan, Nona?” Seorang pelayan menawarkan bantuan membawakan tas Malea yang menurutnya tidak terlalu berat hingga ia membutuhkan bantuan orang lain untuk membawakannya.
“Tidak, Terimakasih!” Malea berusaha menolaknya dengan halus, namun wanita itu hanya tersenyum singkat sebelum pamit undur diri dan menghilang ke ruangan lainnya.
“Lea.....!” Terdengar jerit seseorang memanggil namanya, ia menoleh cepat mencari asal panggilan tersebut, suara yang dikenalnya dengan sangat baik.
“Jason?” Ia mencoba menebak, ketika ada seseorang menutup kedua matanya secara tiba-tiba, dan benar saja ketika matanya terbuka laki-laki yang semakin tampan itu menyeringai nakal kepadanya.
Lalu, Jason memeluknya dengan sangat erat. Seakan-akan, ia tidak akan pernah melepaskannya. Malea merasa sesak oleh pelukan Jason yang begitu erat, dengan postur tubuh Jason yang semakin tinggi, wajah Malea terbenam di dadanya yang bidang. “Ya, ampun kau masih kecil saja.” Ledek Jason lalu mengangkat tubuh Malea tinggi-tinggi—menggendongnya seperti anak kecil.
“Jason, lepaskan aku!” Malea memukul-mukul bahu pria yang tersenyum gembira itu.
“Jason, lepaskan Lea, nanti dia bisa remuk kalau kau peluk sekencang itu.” Seorang wanita berpakaian elegan datang menghentikan Jason. Malea terperangah, bukan hanya Jason yang berubah, tante Marlyne yang tak lain adalah ibu kandung Jason juga berubah.
“Selamat datang di rumah kami, Malea...” Lea melepaskan diri dari pelukan Jason dan berlari menyambut wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Aku merindukanmu, tante. Sangat merindukanmu...!” Malea terisak-isak dalam pelukan Marlyne yang menenangkan.
Marlyne mengusap lembut rambut Malea yang halus, “hush, sudah jangan menangis lagi. Nanti kecantikanmu luntur kalau kau menangis.”
Mendengar itu, Malea segera menghapus airmatanya dan melepaskan pelukannya, tapi kemudian ia memeluk wanita itu lagi, kali ini dengan sangat erat. “Aku kangen Tante...” bisiknya lirih.
“Kau tidak kangen aku juga?” Jason mendengus membuat Malea terkekeh hingga tangisnya segera berhenti.
“Buat apa aku kangen sama orang kayak kamu?” Sergah Malea sambil menjulurkan lidah yang langsung disambutkan oleh kekehan tawa Jason.
“Awas ya...” Jason hendak memukul Malea, namun Malea segera berlindung di belakang tubuh Marlyne yang semungil dirinya.
“Tante, tolong aku. Jason mau memukulku...!” Tukas Malea meminta perlindungan.
Tentu saja, Marlyne segera mengomeli anaknya “sudah, Jason. Hentikan!”
“Ah, ibu memang menyebalkan. Ibu selalu saja membela Malea dibanding aku anak kandung ibu.” Keluh Jason sambil melangkah pergi meninggalkan mereka berdua yang saling bertatapan, heran. Lalu tawa mereka meledak melihat Jason yang bersikap seperti bocah kecil.
***
Acara makan itu terasa menyenangkan. Tidak hanya masakan tante Marlyne saja yang enak, tapi kehangatan kedua orang itu membuat Malea merasa nyaman.
“Bagaimana keadaan ibumu?” Tante Marline bertanya tiba-tiba, hingga Malea tidak tahu darimana ia harus mulai menjawab.
“Ibu... ibu...” Malea meragu sejenak, “ibu sudah meninggal tante, dua tahun lalu.”
Marlyne terhenyak hingga tak sadar ia menjatuhkan sendok yang dipegangnya. “Ya, Tuhan... Malea. Aku turut berduka cita....” tanpa ia sadari, wanita itu meneteskan airmatanya, tubuhnya gemetar menahan kesedihan.
“Sudah... sudah... jangan bersedih lagi.” Jason menghampiri ibunya sambil menyerahkan tisu dan menghapus airmatanya.
“Sekarang, gimana kehidupanmu setelah ibumu meninggal?” Setelah beberapa saat mencoba menghibur ibunya, Jason kembali ceria sambil menyantap kembali makanannya.
Malea tersenyum getir, sebenarnya ia ingin sekali menceritakan kisah hidupnya setelah kedua orang ini memutuskan pindah ke luar negeri tiga tahun lalu, tapi ia urungkan niatnya. Toh, kondisinya saat ini tidak seburuk yang pernah ia alami sebelumnya. “Aku baik-baik saja. Sekarang aku tinggal bersama dengan temanku.” Kata Malea, “terus bagaimana denganmu, Jason?” Malea ingin tahu kehidupan seperti apa yang mereka berdua jalani hingga keduanya bisa tinggal di rumah semewah dan semegah ini.
“Kau tidak tahu? Sejak kami tiba di Inggris, Jason terus berlatih piano setiap hari. Sampai-sampai, ia lupa makan dan minum karena berlatih.”
Jason terbahak-bahak mendengar ibunya menceritakan dirinya selama tiga tahun belakangan.
“Terus, tante?” Tanya Malea semakin penasaran tentang kehidupan mereka selanjutnya.
“Seperti yang kau lihat, aku berhasil menjadi pianis terkenal sekarang.” Jason menjawab pertanyaannya itu sambil tersenyum bangga.
“Oh, ya?” Malea terkejut mendengarnya, ia bahkan tidak mengetahui berita tersebut.
“Iya, Malea. Sekarang Jason menjadi pianis terkenal...” ujar Tante Marlyne mengakui putranya kini menjadi orang yang hebat.
“Wah, aku bangga padamu, Jason...” seru Malea, bertepuk tangan.
“Tentu saja kau harus bangga, karena aku melakukan itu semua hanya untukmu, Malea.”
Deg, jantung Malea berdesir mendengarnya. Ia membisu, tampak canggung di hadapan kedua orang yang kini menatapnya penuh harap.
Tante Marlyne tertawa kecil melihat wajah Malea bersemu kemerahan, “Jason bilang dia ingin menjadi pianis agar bisa mengiringimu bernyanyi. Ia bercita-cita suatu hari nanti, kau akan bernyanyi dan dia yang akan memainkan piano.”
Malea tak mampu berkata apa-apa lagi, impian Jason sangat indah. Ia tak menyangka Jason telah berusaha keras untuk meraih impiannya itu. Sedangkan dia? Malea tak bisa berbuat banyak, karena dia bukanlah siapa-siapa, selain milik Darren. Dia harus melakukan apa yang diperintahkan laki-laki itu padanya.
Suara dering telepon berbunyi di ponselnya, Malea tersentak lalu segera mengambil ponselnya. Ia ketakutan ketika melihat nama Darren tertera di layar. Diliriknya sekilas ke arah jarum jam, sudah hampir pukul empat sore. Ia pergi sudah lebih dari dua jam yang diberikan Darren. “Ha... halo,”
“Kau dimana?” Nada suara Darren yang singing membuat bulu kuduk Malea merinding. Meski ia tidak melihat pria itu, tapi Malea bisa membayangkan ekspresi kemarahan Darren saat ini. Ia bergidik ngeri, membayangkan apa yang akan terjadi padanya setibanya di apartemen.
“Iya, maaf Darren. Aku sedang dalam perjalanan pulang.” Kata Malea terbata-bata.
Tanpa banyak kata, Darren segera menutup panggilannya. Malea menatap keduanya dengan tatapan tak terbaca, melihat perubahan sikap Malea, Jason langsung bertanya. “Ada apa?” Laki-laki yang berusia 3 tahun lebih tua dari Malea itu, tampak khawatir ketika melihat Malea yang seperti ketakutan. Tapi apa yang membuat gadis ini takut? Jason bertanya-tanya.
“Tante, Jason, aku pamit sekarang ya? Aku harus segera pulang.” Meski makanan mereka belum habis disantap, tapi Malea memohon agar diizinkan pulang segera.
“Tapi, kau bahkan belum menghabiskan makananmu.” Ujar tante Marlyne. “Tapi, kupikir kau mau menginap disini malam ini.” Kata wanita itu lagi, menambahkan.
Malea menggeleng, “Terimakasih tante. Sebenarnya aku ingin sekali menginap disini. Tapi aku harus segera pulang. Temanku pasti mengkhawatirkan aku.” Malea bersiap-siap dan berdiri.
“Biar kuantar,” dengan sigap Jason sudah siap dengan jaket dan kunci mobilnya.
“Baiklah, hati-hati di jalan.” Dengan berat hati, Marlyne membiarkan Malea pulang saat ini juga. Ia langsung memeluk gadis itu dan mencium pipinya. “Lain kali jangan lupa datang lagi dan menemui tante, ya?”
Malea menganggukkan kepala penuh keyakinan. Tentu saja, ia akan datang berkunjung lagi jika ada kesempatan.
***