Bukan Darren namanya jika ia mengizinkan Malea pergi begitu saja tanpa pengawasan. Merasa tidak tenang jika Malea hanya ditemani Danny—bodyguard-nya, ia justru justru sibuk mempersiapkan diri ke tempat yang hendak Malea kunjungi.
“Kau mau kemana?” Malea bertanya-tanya penuh rasa ingin tahu ketika Darren memakai outfit yang jarang sekali ini kenakan sehari-hari, kecuali ketika mereka di rumah.
“Tentu saja aku akan menemanimu.”
Kecurigaan Malea terbukti ketika melihat Darren tampak santai pagi itu dengan pakaian casualnya. Berbeda dengan penampilan Darren yang biasanya selalu rapi dan elegan ketika hendak ke kantor. Kali ini Darren hanya memakai kaos dan celana jeans santai, seolah ia akan pergi berkencan. Tapi meski berpenampilan santai, Darren tetap tampak memesona. “Bagaimana penampilanku? Apa cocok dikenakan saat ini?”
“Apa?” Malea tersedak minumannya, ia tak menyangka pria itu akan ikut serta bersamanya. “Apa kau yakin?” Ia menatap Darren, skeptis.
“Kupikir... kau akan mengizinkanku pergi sendirian.” Pemikiran Malea 100% salah. Tentu saja pria itu tidak akan membiarkannya berkeliaran sesuka hati. Tapi, Malea tak yakin Darren ada menyukai tempat itu.
“Kau pikir kau akan pergi sendirian?” Darren berusaha membaca pikirannya, Malea hanya tercekat. “Jangan pernah berpikir kau akan pergi tanpa pengawasanku.” Setelah mengatakan itu, Darren meraih jaket denimnya dan mengambil kunci mobil lalu melemparkannya ke arah Danny, yang segera menangkapnya dengan sigap.
“Ayo kita pergi...!”
Malea segera menghabiskan sarapannya lalu bergegas mengajar pria itu.
***
Malea menatap pria yang duduk bersebelahan di jok belakang, sambil memberi arahan ke Danny yang saat ini sedang menyetir mobil. “Belok kanan, terus kiri. Beberapa meter kemudian belok kiri lagi, di perempatan jalan ambil kanan.” Seru Malea sambil mengarahkan Danny menuju tempat yang dimaksud.
Darren memandang ke luar jendela mobil. Tempat ini cukup terpencil dari pemukiman warga. Mereka bahkan semoat melintasi beberapa kebun mangga, dan ladang jagung sebelum mereka akhirnya tiba di sebuah gedung tua yang tampak sedikit tidak terawat.
Seorang pria paruh baya, tergopoh-gopoh menghampiri mobil mereka. Malea menurunkan kaca mobil dan mengeluarkan kepalanya sambil tersenyum ke arah pria tersebut. “Halo pak Wawan, ini Lea...”
“Oh, nak Malea. Sudah lama tidak ketemu.” Kata pria itu tersenyum ramah ketika melihat kedatangan Malea. Ia lalu membukakan gerbang besi berkarat yang berderit termakan usia, mempersilakan mobil mereka masuk ke pekarangan gedung yang dipenuhi rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar.
Suara mobil yang berdesing membuat para penghuni gedung berlarian menyambut tamu yang datang. Jerit tawa riang mereka terdengar hingga ke telinga Darren yang menyimpan tanya tentang tempat asing yang ia kunjungi saat ini.
Malea turun dari mobil yang langsung disambut antusiasme para anak-anak kecil yang langsung mengerubunginya bak artis terkenal yang sedang diburu wartawan.
Mereka melonjak kegirangan menyambut kedatangan Malea ke tempat yang menjadi rumah bagi anak-anak itu. Darren turun dari mobilnya dengan elegan, membuat anak-anak itu menatapnya penuh pesona.
“Lea...” seorang perempuan tua berkerudung biru berjalan menghampiri mereka dengan langkah tertatih. Dua perempuan paruh baya lainnya berjalan mengikutinya dari belakang.
“Ibu Susi... apa kabar?” Lea langsung memeluk perempuan berkerudung yang diperkirakan usianya sudah menginjak hampir tujuh puluh tahun jika ditilik dari keriput di wajahnya.
“Kau kemana saja, hah?” Wanita yang bernama Susi itu menepuk-nepuk pundak Malea penuh rasa sayang.
“Maaf, ibu. Lea sibuk. Sepeninggal ibu Lea harus bekerja, bu.”
“Jadi, Astrid sudah meninggal?” Tanyanya dengan airmata bergulir di sudut matanya.
“Ya Tuhan, dia wanita yang baik. Mungkin Tuhan lebih sayang padanya dibandingkan dia harus menderita oleh penyakit yang diidapnya.” Malea menyetujui ucapan perempuan yang sudah seperti neneknya sendiri. “Sekarang ayo masuk, jangan lupa ajak pacarmu ke dalam juga, ayo...” Malea tersentak mendengar ibu Susi menyebut Darren sebagai kekasihnya. Ia melirik Darren sekilas, tapi nampaknya pria itu tak ingin menyanggah ucapan ibu Susi. Ia pun berjalan mengikutinya disusul Darren di belakangnya dan anak-anak yang tadi menyambutnya.
***
Darren tak menyangka tempat yang akan dikunjungi Malea adalah sebuah panti asuhan, yang mana di tempat itu terdapat kurang lebih 20 anak yang mayoritas mereka kehilangan orang tua mereka dan beberapa mengidap penyakit mematikan. Darren memandangi Malea dari sudut aula pertemuan di gedung panti yang tampak kumuh di luar maupun di dalam.
Ia menatap Malea yang dengan riang gembira bermain bersama anak-anak malang itu hingga mereka tertawa lepas bersama. Setelahnya, mereka pergi ke dalam ruangan yang mereka sebut sebagai ruang kelas mereka. Darren menatap nanar ruangan yang terlihat tidak layak disebut sebagai ruang kelas, tapi sepertinya anak-anak itu tidak peduli dengan keadaan tempat tinggal mereka yang sangat memprihatinkan.
Terakhir, Malea mengambil sebuah gitar tua dan ia mulai memetiknya lalu bernyanyi. Darren tak menyangka, gadis liar itu pandai bernyanyi dan memainkan alat musik. Terlebih, suara Malea amat merdu, hingga membuat semua anak-anak di dalam ruangan itu terhibur olehnya.
Ia beranjak dari kursi kayu yang didudukinya dan berjalan menyusuri lorong sempit lalu berdiri di depan ruangan yang bertuliskan ‘ruang kepala sekolah’. Darren mengetuknya perlahan, di dalam Ibu Susi sedang menyalin beberapa nama donatur yang sudah menyumbang di panti asuhan mereka.
***
Sesuai janji, Malea sudah berada di dalam mobil menunggu Darren keluar dari dalam gedung. Ia melirik ke arah jam tangannya, waktu sudah menunjukkan lewat tiga puluh menit tapi Darren masih belum muncul. “Kemana dia?” Malea bertanya dengan resah sambil melirik ke arlojinya berkali-kali.
Danny hanya menggelengkan kepala sambil menunggu kedatangan bosnya dengan sabar di balik kemudia.
Berbeda dengan Danny, Malea semakin resah ketika Darren belum muncul juga setelah empat puluh menit berlalu.
Darren akhirnya muncul diiringi Ibu susi dan dua perempuan di belakangnya. Dengan sopan, Darren pamit undur diri yang langsung dibalas dengan lambaian tangan mereka.
“Hati-hati di jalan. Jangan lupa, kalau ada waktu kau bisa datang lagi berkunjung.” Seru mereka yang langsung dibalas lambaian tangan Malea dengan penuh semangat.
“Sampai ketemu lagi, ibu Susi. Bye bye...”
Sepanjang perjalanan baik Darren maupun Danny, keduanya tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. Malea melirik majikannya dengan hati-hati. “Kau marah?” Tanyanya sedikit takut jika Darren benar-benar marah karena kepergiannya melebihi batas waktu dua jam yang diberikan. “Aku minta maaf, seharusnya aku hanya dua jam saja disana, tapi terkadang mereka memang suka membuatku lupa waktu.”
“Ceritakan padaku bagaimana kau mengenal tempat itu?”
Malea menghela napas lega mendapati pria itu tak marah padanya. “Ibuku berasal dari Panti itu. Sebelum beliau mengidap penyakit, ia sering membawaku ke sana. Hingga saat ini, terkadang aku masih sering mengunjungi mereka ketika aku ada waktu.”
“Aku mengerti.” Hanya itu komentar Darren setelah mendengar ceritanya. Ia menyadari bahwa penilaiannya tentang Malea itu 100% salah. Malea bukanlah gadis yang bisa ia tebak dengan mudah seperti para wanita yang pernah berkencan dengannya, yang tidak peduli pada panti asuhan seperti yang Malea lakukan hari ini. Tapi Malea seolah menyadarkannya akan satu hal, bahwa kebaikan hati merupakan kecantikan alami yang sesungguhnya. Darren belajar banyak hari itu.
***