Semua terjadi begitu cepat, Malea tanpa ia sadari menikmati perannya sebagai peliharaan Darren.
Tak ada yang bisa Malea perbuat selain melakukan semua apa yang diperintahkannya selama ini. Semula Darren heran melihat kepatuhan gadis itu, tapi seiring berjalannya waktu ia pun menikmati perannya sebagai majikan.
Di hari yang cerah pada pertengahan bulan Agustus, Darren mengajak gadis itu ke sebuah butik langganannya, menyuruh gadis kucing liarnya membeli semua pakaian yang dibutuhkannya—mengganti semua kaos lusuh dan beberapa celana butut yang membuat penampilan gadis itu semakin tidak menarik.
“Mau kemana kita?” Malea bertanya ketika Darren memarkirkan mobil mewahnya di depan butik wanita. Dari luar butik, Malea tahu tempat ini bukan tempat yang bisa dikunjungi orang sembarangan.
“Aku mau kau beli beberapa pakaian baru dan buang semua pakaian lamamu itu! Pakaianmu membuatku ngeri!” Gumam Darren melirik ke arah kaos putih lusuh yang dipakai Malea serta celana jeans biru yang Darren sendiri tak yakin dengan warnanya.
Malea sedikit tersinggung mendengar pria itu mencemoohnya tapi ia memilih diam sambil melirik pria di depan kemudi itu dengan sebal.
Mereka turun dari mobil menuju butik. Seorang wanita berseragam abu-abu membukakan pintu, menyambut kedatangan mereka dengan senyum ramah. “Selamat datang kembali di butik kami, Tuan Darren.”
Darren hanya menganggukkan kepala sekilas, lalu berjalan menuju counter pakaian wanita. Sepertinya pria itu sudah mengenal seluk-beluk butik ini, pikir Malea.
Beberapa pelayan berjalan mengiringi mereka. Malea memperhatikan mereka dengan serius, bahkan beberapa dari mereka secara gamblang menunjukkan ketertarikan mereka pada pria yang berjalan di depannya ini.
Sepak terjang Darren memang sudah dikenal oleh semua kalangan, termasuk pegawai butik yang mereka datangi siang ini. Mereka sangat mengenal siapa Darren, yang menjadi pelanggan tetap butik mereka. Hal tersebut membuat Darren selalu menjadi pelanggan super VVIP mereka.
Darren sering datang bersama wanita yang dikencaninya. Sudah tak terhitung banyak wanita yang diajaknya ke butik itu, untuk membeli pakaian mewah hasil desainer terkenal sang pemilik butik. Mereka bahkan bisa mendapat bonus empat kali lipat dari gaji mereka ketika Darren berbelanja pakaian di butik mereka. Karena itu mereka tidak akan melewatkan kesempatan ini.
“Aku ingin kalian mengeluarkan semua pakaian desain terkini.” Darren duduk di sofa hitam berbahan kulit.
Beberapa menit kemudian beberapa gaun sudah mereka pamerkan.
Malea tidak menyukai semua gaun yang ditawarkan para pegawai butik itu. Ia tidak suka pakaian yang rumit, kalau boleh memilih ia lebih suka memakai kaus atau kemeja dan celana jeans demi keefisienan.
Gaun yang ada di butik itu bermodel sangat cantik, tapi semua gaun itu bukan selera Malea. Apalagi ketika melihat label harganya. Malea tidak pernah membayangkan akan mengenakan pakaian yang bernilai hampir dua kali lipat harga motor matik yang dijual ayahnya.
“Apa kau sudah memutuskan mau beli yang mana?” Tanya Darren sambil menaruh majalah yang dibacanya beberapa saat lalu ketika menunggu Malea memilih pakaian.
Terus terang Malea tidak ingin membeli pakaian di butik itu, tapi tatapan para penuh harapan para pegawai tertuju padanya. Sebagai mantan sales, Malea tahu benar tatapan dan rayuan yang mereka keluarkan untuk menggaet pembeli. Itu adalah trik kotor yang biasa Malea lakukan untuk menarik banyak pembeli, demi bonus yang ia butuhkan.
“Boleh aku belanja di tempat lain?” Malea berbisik di telinga Darren sehingga membuat alis laki-laki itu mengerut kebingungan.
Darren tak mengerti apa yang membuat gadis itu enggan berbelanja di butik yang terkenal ini. Beberapa wanita yang pernah ia ajak berbelanja pakaian pasti akan senang hati diajak ke butik ini dan mereka pasti akan membeli beberapa pakaian mewah untuk mereka pamerkan ke pesta-pesta. Tapi gadis ini? Darren tak lagi paham apa yang ia inginkan.
“Ayo... ayo...” Malea menarik Darren dari kursi dan mengajak pria itu keluar dari butik. Mereka menuju ke mobil, sesampainya di dalam mobil Malea merasa lega. Setidaknya ia tidak lagi ditatap oleh para pegawai butik.
“Kau baik-baik saja?” Darren kebingungan melihat gadis itu menghela napas.
“Ya, aku baik-baik saja.”
“Kau tidak mau membeli pakaian di butik itu?”
“Tidak! Aku tidak menyukai modelnya.”
“Lalu kau mau beli dimana? aku tidak mau kau memakai pakaian jelekmu itu lagi!” Gumam Darren putus asa. Ia tak tahu dimana tempat membeli pakaian selain butik itu, sedangkan ia tak ingin gadis satu miliarnya ini memakai kaos lusuh.
Malea menuntun Darren ke sebuah toko pakaian kecil yang tidak cukup ramai pengunjung sore itu. Dengan ragu, Darren memasuki toko yang bahkan tidak memiliki pendingin udara, hanya beberapa kipas angin bergantungan di langit-langit toko yang menurut Darren lebih cocok disebut sebagai kios.
“Hai, Lea... sudah lama tidak ketemu.” Ketika memasuki toko, Malea disapa oleh salah seorang karyawan toko yang mengenalnya dengan sangat baik.
“Lisa, susah lama tidak ketemu. Aku kangen!” Malea memeluk gadis itu erat-erat sambil tersenyum lebar.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Lisa sambil memperhatikan penampilan Lea dari ujung rambut hingga ujung kaki. Darren hanya terdiam memandangi kedua gadis itu berjingkrakan seperti dua bocah kecil yang sudah lama tidak saling bertemu.
“Aku sangat baik, kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat, setelah lulus aku masih bekerja di sini.” Ujarnya sambil terbahak-bahak. Tatapan Lisa terpaku pada pria yang balas menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Siapa dia?”
Malea menoleh dan melihat Darren berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Dia Darren.”
“Oh, ya ampun... sejak kapan?” Lisa menjerit kegirangan mengetahui sahabatnya bisa memiliki pacar setampan dan sekeren Darren. Ia berbisik di telinga Malea, “ya Tuhan, dia sangay tampan. Kapan-kapan kenalkan aku sama temannya, ya?” Lisa menggodanya. Wajah Malea memerah, ia pun tampak risih melirik ke arah Darren yang sibuk melihat sekeliling toko.
Darren penasaran apa yang dibisikkan Lisa sehingga membuat gadis satu miliarnya tersipu malu.
“Apa yang kau lakukan disini?” Lisa bertanya, penasaran.
“Seperti biasa aku mau memesan pakaian, tapi kali ini aku akan membayarnya tunai.” Ujar Malea sambil terkekeh mengingat masa lalunya yang selalu mengambil pakaian yang disukainya dengan mencicil.
“Tenang saja, kau bisa memilih semua pakaian yang kau suka!” Gumam Lisa sambil mengeluarkan semua pakaian yang sesuai selera Malea—sahabatnya.
Malea memilih semua pakaian itu dengan gembira. Ia bahkan menyortir beberapa pakaian yang menurutnya kurang menarik. Darren tersenyum kecil melihat tingkah polah gadis itu
***
Darren terpaku menatap struk belanja yang ada di tangannya. Sekilas ia melirik Malea yang berjingkrakan keluar dari toko sambil tersenyum puas. Ia mendengar Malea bersenandung riang, menenteng tas belanjaannya, lalu melambaikan tangan ke arah Lisa yang membalas lambaian tangannya.
“Ada apa?” Tanya Malea melihat Darren terpaku dengan nominal yang tertera di struk.
“Ini tidak salah?” Ia masih tak mempercayainya. Diliriknya sekilas ke arah kantung-kantung belanjaan yang berada di jok belakang mobil mewahnya, lalu tatapannya beralih kembali ke struk tersebut.
“Memangnya ada yang salah?” Malea bertanya-tanya.
“Kau berbelanja sebanyak itu, tapi harganya tidak sampai lima ratus ribu?” Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Darren biasanya mengeluarkan uang lebih dari seratus juta hanya untuk membeli beberapa setel pakaian untuk satu wanita yang dikencaninya. Tapi gadis ini, hanya membutuhkan lima ratus ribu untuk sepuluh setel pakaian yang dibelinya.
“Tenang saja, kalau aku punya uang nanti pasti akan kuganti!” Ujar Malea sambil memasang sabuk pengaman.
Darren menggelengkan kepala, bukan uang yang membuatnya terkejut, melainkan harga untuk sepuluh setel pakaian itu yang membuat Darren tak mempercayainya.
“Mau kemana sekarang?” Darren sudah menyalakan mesin mobil dan siap berangkat.
“Aku lapar, aku mau makan.”
“Baiklah. Aku juga lapar.” Kemudian Darren segera menginjak gas dan berkendara menuju restoran favoritnya.
***
Malea menatap buku menu yang ada di hadapannya. Ia kebingungan membaca menu masakan yang tertera disana. Terlebih tidak ada gambar atau bayangan makanan yang dimaksud. Ia terbiasa memesan di warung makan ‘touch screen’ alias warteg, ia hanya tinggal tunjuk menu yang dipesannya melalui kaca etalase selebihnya sang penjual akan membungkus pesanannya, sesimpel itu. Tapi kali ini, Malea harus berpikir keras mengartikan menu masakan yang tertulis dalam bahasa Prancis yang tentu saja Malea tidak mengerti.
Sang pelayan sedang mengulangi pesanan Darren, kemudian tatapannya beralih ke Malea. “Nona...?” Sapanya ramah, ia menunggu Malea menyebutkan pesanannya.
Akhirnya pilihan Malea tertuju pada menu “Foie Gras” hanya itu menu makanan yang mudah ia sebut, walau sepertinya Malea sendiri tak yakin apakah ia sudah benar melafalkannya. Ah, masa bodoh! Desis Malea dalam hati. Setidaknya ia bisa makan.
Sambil tersenyum sang pelayan mengulangi pesanan Malea. Gadis itu pun mengangguk.
Darren menatap Malea yang terlihat canggung di hadapannya, “ada apa?”
Malea hanya menyeringai, “jujur saja aku tidak tahu makanan yang kupesan.”
Darren tersenyum menanggapi seringai Malea. Gadis ini benar-benar lain dari para wanita yang pernah dikenalnya seumur hidupnya.
Beberapa saat kemudian pesanan mereka tiba. Sang pelayan mendorong troli makanan lalu menyajikannya di meja.
Malea menatap bingung dengan makanan yang ada di hadapannya. Alisnya mengerut melihat porsinya yang minimalis untuk ukuran perutnya yang maksimalis.
“Kenapa cuma dilihat? Ayo dimakan!” Ujar Darren sambil mengambil garpu dan pisau lalu menyantap makanannya dengan elegan.
Kontras dengan Darren, Malea mengambil sendok besar dan berusaha memotong makanan yang tampak seperti potongan daging, tapi bukan! Tekstur makanan itu tampak lembut tak berserat. Malea menatap santapannya sekilas sebelum menelannya.
Ya Tuhan, rasanya membuat Malea mual. Ekspresi aneh Malea membuat Darren menahan senyum. “Bagaimana, enak?”
Malea tersenyum getir menanggapi pertanyaan Darren.
Setelah menyantap makan malam yang sama sekali tidak Malea nikmati, akhirnya mereka meninggalkan restoran. Sesampainya di mobil, Malea tak bisa menahan perutnya yang keroncongan, ia merasa bersalah ketika perutnya berbunyi kencang.
“Maafkan aku Darren, aku lapar...” ujarnya menghiba.
Darren hanya terbahak-bahak mendengar ucapan Malea. Itulah pertama kalinya ia tertawa lepas selama 32 tahun hidupnya.
Malea Zefanya, si kucing liarnya. Darren tak menyangka ia bukan gadis biasa.
***