Pagi ini aku dan Nina pergi menemui Fatir. Nina bahkan rela membolos kuliah untuk menemaniku. Fatir menyuruh kami menunggu di sebuah kedai kopi. Aku gugup, telapak tanganku basah karena keringat. Sementara Fatir masih belum juga muncul. Kubasahi kerongkonganku dengan air kopi yang hangat, kafein mampu memberi sedikit rasa tenang. “Bagaimana ceritanya Abi bisa kasih izin?” tanya Nina. “Ya, Abi akhirnya mengerti setelah aku jelasin secara baik-baik,” jawabku. Aku berbohong dan enggan untuk menceritakan yang sebenarnya terjadi. “Mas Fatir itu orangnya baik! aku yakin kamu bakalan betah kerja bareng dia.” “Entahlah... kita lihat aja nanti.” aku sedikit merasa sangsi. “Itu dia datang!” kata Nina. Aku memperbaiki posisi dudukku. Mengatur napas dan bersikap setenang mungkin. Fatir datang