Chapter 8 - I've told you, my name is...

1610 Words
= Di sebuah club malam eksklusif, kota CA. Jam 02.00 = Dalam sebuah ruangan VVIP, tampak seseorang melemparkan gelas kristalnya ke arah tembok dan membuat benda itu pecah berantakan. Masih tidak puas, ia membalik meja kaca yang ada di sana dan membuat semua barang yang ada di atasnya hancur tidak bersisa. Sama sekali dirinya tidak peduli mengenai nilai benda yang dihancurkannya, meski satu botol minuman yang dipesannya tadi berharga satu tahun gaji manajer di sana. Rambutnya yang tadinya klimis dan tersisir rapih, mulai awut-awutan di saat ia berteriak sangat keras hingga urat-urat lehernya bertonjolan. Wajahnya terlihat memerah ketika ia kembali meluapkan kekesalan dengan menyambar salah satu vas bunga di sana, dan membantingnya kencang ke lantai. Nafasnya tersengal dan salah satu kakinya menginjak geram setangkai bunga mawar segar di bawahnya. Ia benar-benar menginjak bunga malang itu hingga hancur tidak bersisa, barulah setelahnya pria itu menoleh pada beberapa orang yang ada di sana. "Kalian gagal menghabisinya! Apa yang terjadi!?" Sejumlah kepala dan pasang mata saling menatap, tapi semuanya akhirnya menunduk tanpa berani melihat orang yang sedang marah itu. Salah satu dari beberapa pria berjas di sana akhirnya memberanikan diri untuk maju. Kepalanya menunduk ketika ia bicara. "Dia berhasil lolos saat mereka menyergapnya di bandara. Dia bahkan menghabisi Nikolai hanya dengan tangan kosong. Semua yang terjadi benar-benar di luar perkiraan kami." Alasan itu tampak membuat sang pria naik pitam. Mulutnya menipis dan wajahnya semakin merah. Penuh kemarahan, ia melayangkan bogem mentah yang langsung bersarang di pipi pria itu dan membuatnya membentur tembok di sampingnya. Suara gemeretak itu membuat semua yang di ruangan berkerut ngilu, tapi hanya bisa terdiam dan pasrah melihat salah satu rekan mereka menjadi sasaran kemarahan pria itu. "Jangan pernah memberi alasan lagi padaku!?" Menatap beringas, ia menunjuk satu dari mereka yang berwajah paling dingin di sana. "Kau! Kau Sergey, kan!?" Pria yang dimaksud maju dan mengangguk kaku. Tampak pandangannya tidak gentar pada pria di depannya. Sepertinya orang ini adalah pemimpin dari kelompoknya, karena dari tadi ia hanya berdiri bersender di tembok. Terlihat tidak peduli dengan situasi yang sedang terjadi. Entah menggunakan teknik hipnotis apa, tapi tampaknya reaksi dingin dari orang di hadapannya membuat kemarahan pria itu menyurut. Terlihat ia menarik nafasnya dalam, berusaha untuk mengendalikan dirinya. Kedua tangannya di pinggangnya dan ia menengadahkan kepalanya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia menatap kembali pria dingin di depannya ini. "Sergey. Nikolai itu saudaramu, kan?" Kembali pria bernama Sergey mengangguk kaku. "Sepupu jauh." Rahang sang pria tampak mengeras dan ia mendengus keras. "Dia meninggal?" Lagi, kepala Sergey mengangguk. "Lehernya patah. Tidak ada kesempatan baginya untuk diselamatkan." Deruan nafas yang berat kembali terdengar dari lubang hidungnya. Emosinya mulai naik. "Apa yang terjadi?" Tidak peduli dengan siapa yang dihadapinya, Sergey menyilangkan kedua lengannya. Tampak otot-ototnya yang kuat di balik jas hitamnya. Beragam tato pun memenuhi kesepuluh jarinya, membentuk pola-pola yang memiliki arti bagi mereka yang berasal dari lingkaran yang sama. "Ada kesalahan informasi. Dan cukup fatal." Kening sang pria berkerut dalam. Ia paling tidak bisa mentolerir yang namanya kesalahan. Sekecil apapun. "Kesalahan? Kesalahan apa?" Tatapan Sergey semakin dingin dan memandang tajam pria di depannya. Kemarahan terlihat menyala dari kedua matanya yang berwarna kelabu gelap. Caranya saat berbicara pun tidak mengandung tata krama. "Pertama, sumbermu mengatakan BJ Collins sendirian pada saat berada di Switzerland. Tapi ternyata, ia bersama dengan seseorang di sana." Mulut si pria menipis. "Aaron. Dia bersama Aaron Mendez, kan?" Kepala Sergey menggeleng. "Bukan dia. Pria itu sering terlihat bersama dengan orang lain. Tapi tidak jelas, karena orang itu selalu mengenakan kacamata hitam dan juga masker. Mereka selalu bersama-sama dan baru berpisah di siang harinya, setelah kejadian longsor di pegunungan itu." Alis pria itu semakin berkerut. "Siapa? Kau punya dokumentasinya?" Menjentikkan jarinya, salah satu rekan Sergey maju dan menyerahkan amplop cokelat. Membukanya, pria berbadan besar itu mengeluarkan satu dari sekian banyak foto dan memberikannya pada sang pria. Ia tadinya ingin melemparnya ke atas meja, sayangnya meja itu sudah hancur tidak berbentuk Menggedikkan bahunya, kepala Sergey meneleng. "Kau mengenal orang itu?" Kali ini, kepala sang pria menggeleng. Tatapannya naik dengan bertanya. "Tidak. Aku tidak mengenalnya." Merebut foto itu cukup kasar, Sergey menyerahkannya pada anak buahnya. "Bisa saja kau salah mengenali, karena ini bukan pertama kalinya kau membuat kesalahan." Tuduhan dari Sergey benar-benar membuat kemarahan pria itu kembali naik ke permukaan. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Apa maksudmu, Sergey? Aku tidak pernah membuat kesalahan! Aku-" "Kau mengatakan BJ Collins hanya memiliki kemampuan bertinju. Benar?" Perkataan Sergey yang memotongnya membuat pria itu sejenak tertegun. Tapi ia mengangguk. "Ya. Dia cukup mengetahui teknik-teknik bertinju." "Darimana kau tahu?" Pria itu semakin geram. "Aku tahu, karena kami sering ke gym yang sama. Aku dan dia juga beberapa kali melakukan sparring di sela-sela waktu senggang kami. Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?" "Nikolai Komarov. Dia pemegang sabuk hitam krav maga, juga karate. Dia juga ahli bermain pisau. Badannya terlatih menahan pukulan yang cukup ekstrim, karena dia mantan pemain MMA. Tapi nyawanya melayang di tangan seseorang yang katamu HANYA bisa bertinju. Menurutmu, apa itu logis?" Butuh waktu sebelum informasi itu benar-benar terserap dalam otaknya. Dan setelah menyadarinya, terlihat raut lelaki itu memucat. "Maksudmu...?" "Maksudku adalah hampir sebagian besar informasi krusial yang kau berikan adalah SALAH. Dan itu FATAL. Ini bukan lagi masalah berhasil atau tidaknya memb*nuh seorang BJ Collins, tapi kami punya reputasi yang harus dijaga. Aku kehilangan dua anak buah di lereng salju itu dan Nikolai, yang merupakan sepupu dan juga tangan kananku selama ini. Keduanya terjadi karena kelalaianmu memberikan informasi. Kau sadar itu?" Sadar dengan kesalahannya, pria itu mulai mundur. Ia terlihat menelan ludahnya. Keadaaan telah berbalik. "Sergey. Kau tidak bermaksud- Kita ada perjanjian yang-" Sergey kembali memotong kata-kata pria itu. "Aku tidak peduli perjanjian itu. Aku tidak butuh uangmu. Aku bisa saja menghabisimu. Di tempat ini. Saat ini, dan sekarang juga. Tapi aku paling tidak suka meninggalkan pekerjaan yang tidak tuntas." Serasa berdiri di seutas benang tipis, pria itu mulai gemetar. Meski ingin menghilangkan nyawa seseorang, tapi bukan berarti ia adalah pria dengan nyali besar. Ia lebih memilih bermain belakang, dibanding konfrontir langsung. Jika ada jalan mulus yang bisa ditempuh dengan uang, kenapa harus mengambil jalur yang sulit? Suaranya terdengar bergetar saat bertanya. "Apa yang kau mau?" "Aku akan melakukan pekerjaan ini, tapi dengan CARAKU." Ia menoleh pada anak buahnya dan mengatakan sesuatu dengan bahasa asing. Setelahnya, ia melewati pria di depannya dan menghantamkan bahunya keras ke bahu pria itu. Memegang kenop pintu, kepala pria besar itu sedikit menoleh. Lirikannya tajam dan sangat dingin. "Di saat Benjamin Jayden Collins sudah m*ti, barulah aku akan membuat perhitungan denganmu. Kerugian yang telah kau buat, tidak akan bisa lunas dibayar dengan seluruh uangmu." *** = Kembali ke rumah sakit St. Collins. Jam 03.20 = "Dr. Hills. Apa yang sebenarnya terjadi?" Di ruangan kepala dokter tersebut, tampak tiga orang duduk dengan saling bertatapan bingung. Raut yang paling terlihat bingung adalah sang dokter. Ia telah melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada sang pasien, dan tidak ditemukan apapun. Meski masih tersisa luka-luka luar dan lebam di bagian rusuk serta punggung, tapi secara keseluruhan tidak ada yang mengkhawatirkan. "Saya juga tidak tahu, Anna. Tidak ada yang aneh dengan kondisinya. Bahkan bagian kepalanya pun hanya sedikit mengalami benturan dan juga sobekan dari kaca yang pecah. Tidak ada tanda-tanda dia mengalami gegar otak, atau pun cedera kepala yang serius. Semuanya tampak masih normal." Dengusan kasar terdengar dari mulut Anna. "Normal bagaimana, dok? Dia sama sekali tidak kenal saya! Dia juga tidak mengenali Jack. Bahkan namanya sendiri pun, dia tidak ingat! Bagaimana ini bisa terjadi, kalau dari pemeriksaan tidak ada yang aneh?" Mengerutkan keningnya yang keriput, sang dokter hanya bisa menjawab pelan. "Satu-satunya yang saya pikirkan adalah dia mengalami shock saat kecelakaan. Jadi mungkin saja, hal itu bisa menyebabkan ingatannya hilang. Tapi perlu pemeriksaan lebih lanjut, untuk memastikan kondisinya ini." Penjelasan ini membuat Berger terlihat gelisah. Ia sama sekali tidak suka informasi yang didengarnya. Tidak tahan lagi, pria itu berdiri dari duduknya dan langsung menuju pintu. Melihatnya, Anna langsung berseru. "Mau kemana kau, Jack?" "Ke kamar Ben. Hal ini sama sekali tidak baik untuk kondisinya, Anna. Kau tahu sendiri apa yang dihadapinya saat ini. Akan banyak hal yang menjadi lebih rumit nantinya. Belum lagi masalah perusahaan dan juga situasi di keluarga besar Collins. Amnesia atau penyakit apapun itu, sama sekali tidak diperlukan saat ini!" Penuh kemarahan, Berger membanting pintunya cukup kencang. Pria itu merasa marah dengan keadaan yang tidak kondusif, dan juga ketidakmampuannya untuk menjaga temannya sendiri. Melangkah cepat ke arah kamar, ia berpapasan dengan Noah dan memberinya tanda untuk kembali duduk. Saat membuka pintu kamar, Berger berhadapan dengan Leon yang sedang berdiri tidak yakin. Memberi tanda dengan jempolnya, akhirnya pria muda itu keluar untuk bergabung dengan rekannya. Yakin pintu kamar itu tertutup dengan rapat, Berger menoleh pada pria yang masih terjaga di tempat tidur. Kali ini, terlihat beberapa bantal menyangga lehernya dan selang oksigen sudah dilepas dari hidungnya. Kedua mata gelapnya tampak menatap pria yang baru masuk itu dengan pandangan bertanya. Mendenguskan nafasnya kasar, pria bermata hijau itu berkata putus asa. "Kenapa harus sekarang, Bram? Kenapa harus saat ini kau hilang ingatan?" Dengan frustasi, Berger mengacak rambut gelapnya dan menariknya sedikit kencang. Ia benar-benar kesal. "Lagipula, kenapa harus malam itu kau memaksa kembali ke Amerika? Kau bisa saja menungguku dan-" "Namaku BUKAN Bram, tapi Ben." Kata-kata yang memotongnya sejenak membuat Berger tampak marah tapi sebelum sempat menyemprot balik, ia menyadari sesuatu. Kedua tangannya perlahan turun ke sisi tubuhnya. Menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan, mata hijau pria itu mengamati lebih intens pria di depannya. Hati-hati, Berger sedikit mendekatinya dan bertanya dengan suara ragu-ragu. "Bram...?" Seulas senyum yang perlahan muncul di bibir yang sedikit pecah itu, membuat jantung Berger berdetak lebih kuat. Hampir saja ia tersedak karena ludahnya sendiri. "Sudah kubilang namaku Ben. Kau lupa sedang berhadapan dengan siapa, Berg?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD