Chapter 7 - He is awake

1640 Words
Di bangku taman yang panjang itu, seorang pria terduduk dengan pandangan menerawang. Entah apa yang dipikirkannya, tapi ekspresinya kosong. Baru saja, ia menerima berita dari rumah sakit yang mengabarkan kalau satu-satunya orang yang ia sayangi telah meninggal dunia. Selama hidupnya, hanya ada dua wanita yang berharga untuknya. Pertama ibunya, dan lainnya adalah orang yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Dan kini, ia telah kehilangan keduanya. Perasaan aneh mulai memenuhi d*danya. Saat ini, dia sangat ingin berteriak. Dia juga sangat ingin menangis. Tapi dia tidak tahu caranya. Dia tidak tahu cara mengeluarkan kesedihan dari dalam d*danya. Sama sekali pria itu tidak tahu, bagaimana cara menghilangkan rasa sesak yang mulai membuatnya tidak bisa bernafas. Merasakan nafasnya mulai tersengal, pria itu menumpukan kedua lengannya di kursi panjang itu. Tubuhnya membungkuk, ketika ia merasakan luapan emosi yang mengancam untuk keluar. Tanpa ia sadari, ternyata seseorang telah duduk di sebelahnya. "Kau tidak apa-apa, son?" Pertanyaan itu membuat pria muda itu menoleh. Di sampingnya, telah duduk seorang pria tua. Mungkin berusia sekitar 65 tahun. Rautnya yang ramah, membuat pria itu perlahan menegakkan tubuhnya. Anehnya, kehadiran pria tua ini sedikit memberikan ketenangan padanya. Rasa sesak yang dirasakan tadi, pelan-pelan menghilang dan membuat aliran nafasnya lancar kembali. Pria tua di sampingnya ini tampak santai mengeluarkan papan catur yang dibawanya, dan meletakkannya di tengah-tengah bangku. Sambil bersiul, ia mempersiapkan bidak-bidak berwarna putih-hitam di depannya. Selama beberapa saat, pria tua itu menikmati kegiatannya. Sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran pria muda di sampingnya atau pun kerumunan anak-anak yang mulai memenuhi taman. Selesai merapihkan semua bidak caturnya, kepala pria tua itu mendongak dan ia tersenyum sangat lebar. "Mau bermain?" Raut pria itu tertegun dan ragu-ragu, ia mengangguk. Ia cukup ahli bermain catur, dan banyak memenangkan kejuaraan di saat kecil dulu. HIngga kini, permainan catur selalu ia lakukan dalam pekerjaannya sendiri. Menggerakkan salah satu pionnya, ia merasa dapat memenangkan permainan ini tidak sampai satu menit. Perkiraannya salah. Ia ternyata baru bisa mengalahkan pria tua itu setelah 20 menit lamanya. Dan itu adalah 20 menit terlama dalam hidupnya. Ia juga baru sadar telah memenangkan pertandingan itu saat terdengar tepukan dari arah kanan dan kirinya. Ternyata banyak dari para pengunjung taman telah ikut menonton pertandingan itu. Seruan dan komentar dari mereka membuatnya cukup terkejut. "Wah, kau hebat sekali dude!" "Kakek Tanner. Akhirnya ada orang yang bisa mengalahkanmu!" "Julukan Master of Chess di taman ini telah digeser oleh orang asing!?" Mendengar itu, pria tua yang ternyata bernama Tanner ini cemberut dan melotot ke arah penonton. "Sudah! Sudah! Tidak ada yang perlu dilihat lagi! Bubar sana!" Kerumunan itu mulai membubarkan diri, tapi dengan suara tawa yang menggema dari segala penjuru. Sudah jelas banyak dari mereka yang puas dengan hasil pertandingan tersebut. Setelah sekian lamanya, akhirnya ada orang yang bisa mengalahkan 'The Legend' taman kota itu. Sungguh pertunjukan sore yang menarik. Takjub dengan banyaknya orang yang menonton, tanpa sadar pria itu mengamati orang-orang yang telah bubar sambil tertawa kecil. Hatinya terasa jauh lebih ringan. Sejenak, ia melupakan kesedihannya. "Akhirnya kau tersenyum." Komentar itu membuatnya menoleh menatap sang kakek, yang ternyata sedang memandanginya dengan senyum bijak dan tatapan mata yang teduh. "Setiap orang punya masalah. Dan masalah seberat apapun, pasti ada jalan keluarnya. Kadang karena terlalu fokus pada masalahnya, kita jadi melupakan intinya. Di saat kita melupakan intinya, pikiran menjadi buntu dan akhirnya tidak menemukan solusinya. Di saat itu, kau tahu yang harus dilakukan?" Perkataan itu membuat pria muda itu tertegun, dan ia menggeleng pelan. "Kau membaginya dengan seseorang. Dengan berbagi, apa yang tadinya terlihat besar dapat menjadi lebih kecil. Dan saat lebih kecil itulah, kau akan dapat lebih dapat melihat intinya. Tapi kau tahu, apa yang paling penting dilakukan saat kau ternyata masih sulit untuk membaginya dengan seseorang?" Kembali kepala pria itu menggeleng. Dan entah kenapa, kedua mata gelapnya mulai berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam kata-kata pria tua itu yang berhasil menembus hatinya. "Kau menangis pada Tuhan. Karena hanya Dia-lah satu-satunya yang akan mendengarkan masalahmu. Tidak akan ada cacian. Tidak ada makian. Tidak seperti manusia, Dia tidak akan pernah merendahkamu. Kau bebas menjadi dirimu di hadapan-Nya. Sekarang aku bertanya, sudahkah kau berdoa pada-Nya hari ini?" Bukannya menjawab, aliran air di pipi pria muda itu semakin deras. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah melupakan Dia yang di atas. Lebih dari separuh hidupnya, pria itu telah melupakan-Nya karena takdir buruk yang selalu menimpanya. Ia selalu menyesali kenapa dilahirkan? Dan dilahirkan dalam keluarga ITU. Dulu saat merasa menemukan tali penyelamatnya, orang itu tiba-tiba menghilang. Dan kini di saat ia merasa baru bisa memberikan kebahagiaan pada ibunya, wanita itu juga pergi meninggalkannya. Tidak ada yang tersisa lagi dalam hidupnya. Meski tidak kekurangan apapun, tapi ia sangat miskin di dalam. Tanpa mampu ditahannya lagi, bahunya mulai berguncang dan pria itu menutup mukanya. Emosinya meluap ke luar tanpa bisa dikontrolnya. Untuk pertama kalinya, ia menangis dan mengeluarkan perasaannya. Suara erangan penuh rasa sakit dan juga kecewa, terdengar keluar dari mulutnya. Kebingungan dengan reaksi ekstrim pria muda di depannya, kakek tua yang baik itu hanya bisa menawarkan bahunya. Menepuk pundak yang kuat itu, sekali lagi ia mengatakan sesuatu yang mengandung kebijakan. "Menangislah, son. Menangislah sampai kau puas. Meski tangisanmu tidak bisa menyelesaikan masalah yang kau hadapi tapi yakinlah, itu akan bisa mengurangi sesak di d*damu." Tersedu-sedu di bahu tua itu, pria muda itu semakin membenamkan wajahnya di sana. "Menangislah... Tidak ada yang salah dengan mengeluarkan air matamu. Menangislah..." Dua orang itu berasal dari benua yang berbeda. Beda generasi dan berbeda profesi. Tapi mereka bertemu karena ikatan takdir. Itu adalah pertama kalinya Abraham bertemu dengan pria tua bernama Francis Tanner. Dari satu pertemuan, berbuah menjadi pertemuan lain dan lalu pertemuan lainnya. Pada akhirnya, keduanya menjadi teman yang akrab karena permainan catur. Dan persahabatan itu berlangsung selama beberapa tahun, sampai pada akhirnya Francis menghembuskan nafas terakhirnya. Sampai akhir hidupnya, tidak sekali pun Francis menanyakan alasan Abraham menangis di hari itu. Satu kalimat yang sangat diingat Abraham selama hidupnya, adalah pesan Francis di saat-saat terakhirnya. "Yakinlah, di luar sana ada seseorang yang menyayangimu. Kau mungkin belum menemukannya sekarang, tapi kau PASTI bertemu dengannya nanti. Entah hari ini. Entah besok. Atau puluhan tahun kemudian. Tapi dia akan menemukanmu. Di mana pun kau berada. Yakinlah itu, karena aku adalah salah satunya." Pesan itu selalu teringang-ngiang di telinga Abraham, membuat matanya berkaca-kaca. Ia memutar kembali kenangan dengan pria tua itu dan kata-kata yang selalu diucapkannya tiap kali mereka bertemu. 'Kau bahagia hari ini, Abe?' 'Apa masalahmu sudah selesai?' 'Kau ini seperti anakku saja, son.' Ia memang telah kehilangan lagi orang yang disayanginya tapi bedanya, ia tidak merasakan sakit seperti yang dulu dirasakannya. Saat ini, ia bisa lebih merelakan. Ia lebih dapat mengikhlaskan. Karena tahu orang yang meninggalkannya, sudah tidak memiliki penyesalan apapun dalam hidupnya. Memandang makam Francis dari kejauhan untuk terakhir kalinya, Abraham berucap lirih. "Semoga kau bahagia di atas sana, Frans. Aku menyayangimu." Setetes air mengalir di pipinya. Saat mengusapnya, pertama kalinya ia melihat sosok Anna Tanner. Wajahnya yang cantik, saat itu tidak membuatnya tergetar. Pria itu hanya melihatnya sebagai seorang anak, dari pria yang pernah menjadi sahabatnya. Mengurungkan niat menghampiri Anna, Abraham berbalik dan melangkah pergi. Sama sekali tidak terlintas di benaknya kalau orang asing yang dilihatnya hari itu, adalah orang yang akan membuatnya merasa hidup kembali. Dan itu pun baru disadarinya bertahun-tahun kemudian. Langkahnya terhenti saat sayup-sayup, ia mendengar seseorang seolah memanggilnya. "Ben?" Menoleh. di sekitarnya tidak tampak seorang pun. Suasananya sepi dan mulai berkabut. Di hadapannya terhampar lahan pemakaman luas. Sama sekali tidak ada orang di sekelilingnya. Dia benar-benar sendirian. Menggosok kedua tangannya yang terasa dingin, ia menunggu beberapa saat. Memastikan. Merasa pendengarannya salah, pria itu kembali berjalan ketika suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih kuat. "Ben!" Suara panggilan itu terasa menariknya kuat. Ia yang tadinya sedang berjalan menuju mobilnya, seolah ditarik oleh sesuatu yang membuatnya tersedot dalam lubang pusaran yang memutar cepat. Tubuhnya terhempas dan berputar-putar di udara. Ia tidak bisa berfikir. Kepalanya mulai terasa pusing. Dalam pusaran kencang itu, matanya melihat sebuah titik yang bersinar terang. Berusaha keluar dari sana, ia mengulurkan jari-jarinya untuk menggapainya. Tangannya terasa sangat berat dan ia kesulitan meraih titik itu. Jari-jarinya terasa mulai menjauh dan saat hampir menyerah, rasa hangat dan genggaman kuat terasa di tangannya. Seolah seseorang telah menyambutnya tapi ia tidak bisa melihatnya. Kedua kelopak matanya bergetar kuat, saat ia berusaha untuk melihat di dalam pusaran yang kuat itu. Dalam pendengarannya, seseorang berseru panik dan tubuhnya terasa diguncang. "BEN! Ben! Jack! Cepat panggil dr. Hills, Jack! Dia mulai sadar!" Desakan dalam suara orang itu membuatnya sekuat tenaga untuk bangun. Ia merasa harus segera bangun. Akhirnya setelah berusaha keras, kelopak matanya mulai membuka. Tusukan tajam membuatnya langsung menutup matanya lagi dan keningnya berkerut. Telinganya semakin jelas mendengar panggilan di atasnya. "Ben? Ben, akhirnya kau sadar juga!" Dirinya membasahi tenggorokannya yang terasa kering dan sambil berkedip cepat, dirinya mencoba melihat kembali. Kilasan cahaya yang terang membuatnya harus menyesuaikan diri. Setelahnya, barulah pandangan di depannya terlihat lebih jelas. Meski sedikit kabur, namun ia cukup dapat melihat sosok seorang wanita sedang menatap ke arahnya. Wajah mereka cukup dekat dan kedua tangan wanita itu berada di bahunya. "Ben?" Suara wanita di depannya terdengar halus dan membuat bulu-bulu halus di telinganya berdiri. D*sah nafanya yang harum, segera dihirup dalam-dalam oleh pria itu. Betapa ia menikmati situasi ini. Melihat pria di depannya hanya menatapnya dengan pandangan yang kosong, tangan wanita itu terlihat mengusap hati-hati pipi sang pria yang ditumbuhi bakal jenggot yang mulai menebal. Dua matanya yang berwarna kelabu indah tampak menatap khawatir. "Ben? Kau tidak apa-apa?" Terlihat mata gelap pria itu mengerjap. Ia menelan ludahnya beberapa kali, membasahi kerongkongannya. Di belakang si wanita, terdengar geseran pintu kamar yang dibuka dari luar. Sekilas, tampak beberapa orang pria yang memasuki ruangan dengan buru-buru. Salah satunya terlihat mengenakan baju berwarna putih. Ketika akhirnya pria yang baru tersadar itu berbicara, suaranya terdengar serak dan kering. Jelas ia masih sulit bicara. Tapi bukan itu yang membuat semua orang membeku, melainkan pertanyaan yang diajukannya. "Ehm... Siapa... Ben...?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD