"Selamat tidur, schatzi... Mimpi indahlah..."
'Schatzi... Schatzi... Kamu cantik sekali, my sweety girl...'
'Kamu cantik, schatzi...'
'Kamu...'
"DASAR ANAK S*ALAN!?"
Suara tamparan dan bantingan barang-barang yang terlempar terdengar keras dari ruangan kecil itu.
Di lantai, seorang anak meringkuk ketakutan. Tubuh kecilnya bergetar, dan anak itu memegang pipinya yang merah serta mulai membengkak. Kedua matanya yang besar terlihat nanar dan mulai diselimuti air mata. Anak itu tidak berani bicara, apalagi berteriak.
Melihatnya diam saja, remaja wanita yang lebih dewasa itu dengan penuh kemarahan menjambak rambut anak kecil itu yang berwarna hitam. Pada saat itulah, anak malang itu berteriak kencang. Helaian rambutnya beberapa terlihat terlepas karena cengkeraman kuat gadis yang lebih besar itu.
"Sekarang kau berteriak!? Kau berani berteriak padaku!? Dasar anak tidak berguna! Kau ini merepotkan saja! Memang lebih baik kau mati saja!?"
Kembali tamparan dan tendangan dilayangkan si gadis pada anak kecil itu, sampai akhirnya ia pun pingsan.
Barulah beberapa jam kemudian, anak itu tersadar. Melihat sekitarnya sudah tidak ada orang, tubuh kecil itu membungkuk dan ia merintih. Terlihat bercak darah mengalir dari bibir dan juga hidungnya yang terluka. Mengusap kepalanya, di telapak tangannya tampak cukup banyak helaian rambutnya yang rontok.
Memaksa dirinya bangun, anak itu kembali jatuh berlutut. Ia memegangi perut, juga rusuknya. Kesakitan luar biasa di daerah d*danya membuatnya memegang area itu kencang. Beberapa kali ia menarik nafasnya, berusaha untuk meredam rasa sakit yang dirasakannya.
Sambil membungkuk, dua matanya yang berwarna kelabu terlihat berair. Tidak hanya seluruh tubuhnya yang sakit, tapi hatinya juga terasa sangat sakit dan terluka di dalam.
Meski masih belum memahami hal-hal di luar jangkauannya, tapi anak itu sudah mengerti arti dari kata-kata keluarga dan juga cinta. Seringkali saat menelusuri jalanan di kota, ia memperhatikan anak-anak seusianya bergandengan tangan dengan orang tuanya. Muka mereka tertawa. Tidak ada terlihat kesedihan di wajah-wajah orang yang dilewatinya.
Beberapa kali anak kecil itu juga memanjat tembok di salah satu sudut kota, untuk mengintip ke dalamnya. Hatinya merasa iri saat melihat bahwa seharusnya ia juga berada di sana. Di ruangan kelas yang nyaman dan dingin itu. Menerima berbagai ilmu pengetahuan dari seorang ahli dan tumbuh menjadi seorang anak yang berguna. Tidak hanya bagi orang tuanya, tapi juga untuk negaranya.
Ia memang belum tahu arti hidup, tapi ia sudah dipaksa untuk menjalaninya dengan cara yang sangat keras.
Tamparan dan tendangan seringkali ia dapatkan, bila ia tidak berhasil mendapatkan uang. Dan sepertinya semakin sering ia terluka dan terlihat menyedihkan, justru membuatnya makin dikasihani dan uang yang ia dapat pun semakin banyak. Yang justru membuat tubuhnya makin menjadi bulan-bulanan tiap harinya.
Air matanya akhirnya mengalir di pipinya yang tirus dan kotor. Ekspresinya kosong. Saat ini anak itu tidak tahu apa yang dirasakannya tapi kata-kata ibunya tadi, sangat menyakitinya.
Mungkin ia memang tidak pantas hidup. Ia seharusnya mati dan tidak ada di dunia ini.
Terlahir dari rahim Cassandra-Julianna telah menjadi nasib buruknya. Bukan salah gadis itu juga, yang baru berusia 16 tahun ketika ia hamil dan harus melahirkan seorang anak perempuan. Pacar yang dikencaninya selama hampir setahun tidak bertanggungjawab dan meninggalkannya setelah mendapat sari gadisnya. Ia juga terusir dari rumah karena dianggap telah menodai nama baik keluarga.
Hidup gadis itu yang tadinya cukup makmur, menjadi sengsara dalam sekejap. Semua fasilitas dan harta yang ia miliki, hilang seperti abu. Hidupnya tidak jelas, luntang-lantung di jalanan dan bergantung pada belas kasihan orang lain atau pun bantuan dari pemerintah.
Sejak bayi, anak yang dibesarkannya selama 6 tahun itu ia rasakan menjadi beban dalam hidupnya. ia ingin membuangnya, tapi anak itu sumber penghasilannya sampai ia berhasil tinggal di sebuah rumah kecil.
Menghisap rokok yang hampir tinggal puntungnya itu, Julianna menendang tembok di depannya. Selama hidup di jalanan, gadis muda itu sudah tidak memiliki masa depan lagi. Mentalnya telah kena, membuatnya tidak mampu berfikir jernih. Otaknya sudah mulai terkontaminasi obat-obatan terlarang, yang ia dapatkan dengan cara menukarkan tubuhnya yang masih s*ntal.
Setiap kali memandang cermin, wanita itu mau tidak mau bersyukur kalau ia memiliki gen yang berkualitas. Rambutnya yang berwarna cokelat kemerahan berkilat dan kedua matanya yang kelabu bersinar cantik. Lekuk tubuhnya pun tidak kalah dari mereka yang hidupnya bergelimang harta. Karenanya meski miskin, tapi selalu ada saja para p****************g yang kepincut dengan kejelitaannya.
Dan pria yang kali ini terjerat kecantikannya bukanlah orang biasa. Julianna tahu kalau lelaki ini adalah orang istimewa dan ia bertekad untuk mengikatnya. Masalahnya, selama ini ia hanya diperlakukan seperti barang. Yang habis dipakai, kemudian ditinggalkan begitu saja.
Ia memang mendapatkan banyak uang dari pria itu, tapi Julianna tidak puas. Keserakahannya membuatnya ingin mendapatkan lebih dan ia merasa kalau anaknya, adalah batu penghalang bagi dirinya.
Ketukan kasar dari arah pintu, membuat gadis itu terkejut dan langsung mematikan rokoknya. Menatap ke dalam, ia melihat pintu gudang di belakang masih tertutup. Terburu-buru, ia menghempaskan gorden yang memisahkan kedua ruangan dan langsung ke depan untuk menyambut tamunya. Mukanya cerah.
"Bash."
Pintu yang terbuka membuat udara malam yang dingin masuk. Di hadapannya, tampak sesosok pria tinggi berambut gelap dan berjas mahal. Pria itu tidak tersenyum dan mendorongnya masuk ke dalam.
Dengan kasar, pria itu menghempaskan tubuh wanita itu ke atas meja makan kayu di belakangnya dan tanpa basa-basi, langsung mengg*gahinya. Kegiatan itu berlangsung beberapa lama, sampai lelaki itu membalik wanita di depannya dan kembali memasukinya dari belakang. Salah satu tangannya menarik rambut panjang Julianna kencang dan membuatnya menengadah kesakitan.
Tubuh bagian depan Julianna menggesek permukaan meja yang keras tanpa ampun. Ia sebenarnya merasa sakit dan tidak nyaman dengan cara pria ini, namun tidak bisa memprotesnya. Ia membutuhkan lelaki ini. Ia butuh UANGNYA. Dan uang lelaki ini sangat banyak. Tidak akan habis tujuh turunan.
Merasakan dirinya akan memuntahkan kepuasannya, pria itu melepas senjatanya. Ia menarik rambut gadis itu dan memaksanya berlutut di depannya. Tanpa belas kasihan, pria itu mendorong senjatanya memasuki mulut wanita itu dan membuatnya tersedak karena ukurannya.
"Ugh...!"
Memegang kepala Julianna kencang dengan kedua tangannya, Bash menengadah tinggi dan ia meneriakkan kepuasannya. Beberapa kali. Setelahnya, pria itu segera menarik senjatanya dan merapihkan pakaiannya. Tidak lupa, ia melemparkan segepok uang ke atas meja.
Baru saja ia akan membuka pintu depan itu, namanya terdengar dipanggil lirih.
"Bash."
Ketika menoleh, raut pria itu sama sekali tidak berubah. Meski melihat penampilan menyedihkan dari gadis yang baru saja dipakainya, ekspresinya tetap terlihat dingin dan juga datar.
"Apa maumu?"
Kata-kata dingin yang keluar dari mulut yang tidak pernah menciumnya itu, membuat Julianna menelan ludahnya. Ia tahu hal yang dilakukannya berisiko, tapi tidak mungkin pria ini akan melepaskannya bukan? Ia telah menjadi penghangatnya hampir selama 3 bulan. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya Bash akan mengunjunginya di jam-jam malam seperti ini.
Berusaha berdiri meski merasa nyeri di antara kedua kakinya, Julianna merapihkan sebisa mungkin bajunya.
"Bash. Mengenai hubungan kita-"
Belum juga gadis itu selesai berkata-kata, tiba-tiba Bash mengeluarkan lebih banyak uang dari saku jasnya dan melemparkannya kasar ke muka Julianna.
Tidak menyangka reaksi pria di depannya, mata gadis itu nanar dan hanya mampu memandang lembaran demi lembaran uang yang jatuh berserakan di hadapannya.
Ketika berbicara lagi, suara pria itu terdengar dingin dan membuat tulang punggung Julianna bergetar takut.
"Kau w************n! Tidak ada namanya hubungan di antara kita. Ini terakhir kalinya aku memakaimu. Jangan pernah mencoba mencariku, atau aku akan membuatmu menyesal telah mengenalku. Ingat itu!"
Selesai mengatakannya, Bash langsung keluar dari ruangan dengan membanting pintunya kencang.
Semalaman setelah pria itu meninggalkan rumah, Julianna masih terpaku di tempatnya. Gadis itu berdiri mematung, dikelilingi banyak lembaran uang yang ditinggalkan oleh Bash.
Suara gesekan pelan dari arah belakangnya, membuat gadis itu menoleh. Di depannya, tampaklah sosok anak kecil yang sedang mengintipnya dari balik gorden. Tubuh kecil itu gemetaran.
Menatap anak itu, otak gadis itu seolah dirasuki oleh setan. Pikirnya gelap. Harga dirinya yang ternyata masih tersisa, telah habis diinjak oleh pria tadi. Belum lagi mengingat semua masalahnya, adalah bersumber dari anak tidak tahu diuntung yang ada di hadapannya.
Kalap, Julianna mengambil sebilah gunting dari atas meja dan langsung mengejar anak itu.
"KAU ANAK PEMBAWA SIAL!? KAU MEMANG HARUS MATI!?"
Badai petir menyambar di tengah malam itu. Suara guntur dan hujan yang deras membasahi bumi. Tapi sosok dua orang yang berlarian di jalanan yang gelap dan sepi itu, tampak tidak terpengaruh sama sekali dengan dewa cuaca yang sedang mengamuk di sekitar mereka.
Anak malang itu lari menyelamatkan nyawanya, sedangkan orang di belakangnya justru sedang mengejarnya untuk mengambilnya. Kilatan benda tajam itu memantulkan cahaya petir yang menggelegar dari angkasa.
Langkah kakinya yang jauh lebih panjang, membuat Julianna berhasil menarik bahu kecil di depannya dan mendorongnya kuat ke depan. Tampak anak kecil itu jatuh berguling tanpa daya di jalanan yang basah itu. Saat berbalik, matanya nanar dan ia berusaha menyeret tubuhnya untuk menjauhi wanita gila di depannya.
"Ma- Mama..."
Usahanya memanggil ibunya, ternyata dihadiahi tempelengan kuat di pipi mungil itu. Terlalu lemah untuk melawan lagi, anak itu pasrah saat bajunya ditarik oleh ibunya. Mata Julianna menunjukkan kegilaan. Ia sudah tidak waras karena tekanan hidup yang menderanya selama ini.
"Kau memang pembawa sial... Kau memang harus mati... Kalau kau tidak ada, Bash akan menikahiku..."
Mengulang-ulang kata-kata itu, Julianna mengangkat tangannya yang membawa gunting. Ia sudah tidak bisa melihat betapa anak di genggamannya itu menangis dan menatapnya ketakutan. Bibir yang mungil itu sudah tidak bisa berbicara lagi, karena saking gemetar karena rasa takut dan juga kedinginan.
Benda tajam itu siap untuk menghujam d*da kecil itu, saat tiba-tiba terlihat cahaya yang sangat terang.
Mata keduanya buta karena cahaya yang sangat menyilaukan itu dan tubuh anak itu pun terjatuh ke bawah. Dalam kesadarannya yang menipis, ia merasakan tubuhnya digoyang-goyang oleh seseorang. Sayup-sayup, terdengar seseorang yang berseru panik di atasnya.
"An...n...!"
"Ann...!"
"ANNA!?"
Suara teriakan itu akhirnya membuat kedua matanya terbuka lebar. Nafasnya terasa tersengal dan sesak memenuhi d*danya. Ia tidak bisa bernafas.
"Ann! Ann! Tenanglah! Tenanglah, Ann!"
Melihat isterinya yang terlihat panik, Bram membantu Anna bangun dan mengusap-usap punggungnya. Keringat tampak membasahi rambut pendeknya dan badannya terasa dingin.
Bunyi guntur yang memekakkan telinga dari arah jendela, membuat tubuh wanita itu mulai gemetar tanpa kontrol. Kedua tangannya berada di telinganya, menutupinya. Wajahnya yang berkeringat pun tampak bersimbah air mata. Anna berusaha bebicara tapi yang dapat keluar dari mulutnya hanyalah suara erangan dan rintihan yang terdengar memilukan.
"Anna?"
Sangat cemas melihat keadaan isterinya yang jelas tidak baik, Bram memeluk tubuh Anna seerat mungkin. Tampak pria itu mengusap-usap punggung mungil itu. Ia akhirnya menggendong tubuh isterinya dalam pelukan koala dan membawanya ke dalam kamarnya.
Suara gemuruh dan petir yang saling-silang di luar, terdengar teredam dari dalam kamar. Masih memeluk tubuh Anna, Bram membawa mereka ke tempat tidur. Menyender di kepala kasurnya, pria itu semakin membenamkan kepala isterinya ke d*danya.
"Tenanglah, Ann... Tenanglah. Semua aman..."
Mencengkeram kencang baju suaminya, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu. Bahunya berguncang hebat di pelukan Bram, membuat pria itu semakin mempererat pelukannya.
"Tenanglah, Anna... Aku di sini, baby. Kamu aman... Kamu sudah aman, baby..."
Mengusap-usap lembut rambut isterinya yang berkeringat, kedua alis Bram berkerut dalam. Menciumi pelipis Anna, pria itu bertekad akan benar-benar mencari tahu mengenai latar belakang wanita ini.
Ia memutuskan melakukan penggalian data lebih dalam mengenai isterinya sendiri. Meski bertentangan dengan prinsipnya, tapi sepertinya masalah wanita ini terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. Dan ia harus mencari tahu lebih dulu, sebelum dapat menolong wanita yang dicintainya ini.