Chapter 19 - His strategy

1436 Words
"Kau masih pusing?" Mengurut pelipisnya, kepala pria itu mengangguk. "Sedikit..." Membereskan peralatan memeriksanya, dr. Hills menatap pasiennya. "Sepertinya kau sedikit kecapean. Tadi malam kau bekerja sampai larut, kan? Padahal kau baru sadar." Teguran itu membuat Bram meringis. Ia membenamkan kepalanya di bantal-bantalnya dan tidak menjawab. Tampang dr. Hills cemberut dan ia memandang bergantian pasangan di depannya. Melihat pria di tempat tidur tidak mau melihatnya, ia pun menoleh pada Anna yang masih berdiri di sampingnya. "Ann. Tolong kau nasihati suamimu ini untuk tidak memforsir dirinya. Dia ini MASIH sakit. Baru juga sadar dua hari lalu, sudah mau langsung berlari saja. Kau seharusnya memarahinya saat dia meminta laptop-nya, bukannya membiarkannya!" Kebingungan, Anna hanya menatap muka dr. Hills yang menyeramkan dan sang suami, yang malah menutupi wajahnya dengan salah satu tangannya. Dasar pria tidak bertanggungjawab! "A- Aku... Bukan aku yang memberikannya. Aku-" Mengangkat tas dokternya dengan kesal, sekali lagi ia memandang pasangan itu. "Aku tahu kau mendengarku, Ben. Kau harus ingat kalau kau ini manusia. Kau baru saja terselamatkan dari sebuah kecelakaan maut. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan Tuhan padamu, dengan tidak menjaga kesehatanmu sendiri. Tanpa kau harus memforsir dirimu seperti ini, akan ada orang yang bisa menggantikanmu untuk sementara, Ben. CNC tidak akan hilang dalam semalam, hanya karena kau sakit." Kata-kata itu membuat Bram membuka tangannya. Ia menatap dokter di depannya dengan sorot miris. "Dokter memang benar. CNC tidak akan hilang karena aku sakit. Tapi Benjamin Collis-lah yang akan lenyap, bila aku tidak segera muncul di perusahaan. Anda tahu sendiri bagaimana permainan St. Collins, bukan? Bagi mereka, istilah kerajaan bisnis sepertinya lebih tepat dibanding menggunakan kata-kata kelurga." Keheningan tercipta di ruangan itu, tapi kemudian sang dokter berdehem pelan. "Yang pasti, tolong jaga kesehatanmu. Aku tidak mau sampai isterimu kerepotan harus membopong badan bongsor-mu nantinya, Ben. Kau sedikit tahu dirilah sebagai suami." Sindiran itu membuat Bram terkekeh dan suasana kembali mencair. Kepala dokter tua itu menoleh pada Anna yang masih terdiam di tempatnya. "Anna. Sebelum pulang, ada beberapa hal yang harus aku titipkan mengenai suami bandelmu ini." Sekilas menatap suaminya yang tampak kembali tenggelam dalam bantal-bantalnya, Anna mengangguk. "Baiklah. Ben, aku tinggal sebentar ya. Kau istirahatlah." Suara pria yang menjawabnya, terdengar teredam. "Ya... Aku memang masih pusing. Terima kasih, dok." "Hmm." Segera setelah pintu kamar itu tertutup, kepala Bram langsung menegak. Dengan mengendap-endap, pria itu berjalan dan mendekati pintu yang tertutup itu. Dengan sangat hati-hati, ia menempelkan telinganya di sana. Samar-samar, ia masih dapat mendengarkan pembicaraan kedua orang itu di baliknya. Di ruang tamu, tampak Anna dan dr. Hills duduk di salah satu sofa. Dokter itu sedang menyeruput teh yang disajikannya barusan. Wanita di depannya pun melakukan hal yang sama. Keduanya tampak termenung. Meletakkan cangkir tehnya di meja, sang dokter menatap isteri bosnya ini. "Untungnya dia sadar sebelum saya datang, Ann. Saya tidak bisa membayangkan dirimu menggendongnya." Kekehan pelan terdengar dari mulut wanita itu dan ia ikut meletakkan cangkir kosongnya di meja. "Sejujurnya aku juga tidak bisa, dok. Saat memegangnya tadi, aku juga hampir saja membantingnya lagi ke lantai. Dia itu memang sangat berat." Keduanya tertawa pelan, sampai sang dokter menatapnya lagi dengan pandangan lebih serius. "Anna. Mengenai ingatan suamimu. Apakah ada sesuatu yang sudah diingatnya?" Menghela nafasnya, wanita itu menyenderkan punggungnya di sofa. Tangannya bersedakap. "Aku tidak tahu, dok. Sejujurnya, aku juga cukup bingung. Dia mengatakan belum mengingat apapun. Tapi ada beberapa reaksinya yang seperti telah mengetahui segalanya, terutama terkait CNC dan juga St. Collins." Salah satu tangan dokter itu mengusap dagunya sendiri. "Apa Jack sering mengunjunginya? Mungkin saja dia yang menceritakannya." Kepala wanita itu mengangguk. "Mungkin saja. Dan mengenai laptop itu, Jack yang memberikannya. Entah kapan. Mungkin saja dia juga sudah menceritakan banyak mengenai perusahaan, atau situasi yang akan dihadapinya saat Ben masuk kerja nanti." Kening tua sang dokter berkerut. "Dia mau masuk kantor besok?" Menelengkan kepalanya, Anna menatap dr. Hills dengan pandangan lelah. "Dok. Dia telah memaksa pulang hari ini. Dia bahkan sudah menimbun hidungnya di laptop sejak tadi malam. Apa dokter pikir, dia tidak akan masuk kantor besok?" Memutar matanya, dr. Hills mengangguk. "Kau benar. Dia PASTI akan masuk besok." "Sebaiknya, dia memang secepat mungkin masuk kantor. Terlalu banyak isu yang mulai bermunculan, dan aku sedikit sulit mengatasinya tanpa kehadiran Ben. Dia sudah pergi hampir 2 tahun lamanya, sejak harus melakukan peninjauan langsung cabang RS St. Collins di beberapa wilayah negara." Anna tampak menekan bagian di antara kedua matanya. Kepalanya mulai terasa sedikit berat. "Aku sebenarnya tidak mau langsung membebaninya, dok. Tapi dia sudah pergi terlalu lama. CNC dengan kepemimpinan Yale, bukanlah opsi terbaik tapi memang satu-satunya pilihan waktu itu. Ben mungkin belum bisa bekerja optimal tapi kehadirannya akan dapat sedikit meredam isu-isu mengenai absensinya, setelah perjalanan dinasnya yang terakhir ke Swiss. Apalagi sampai saat ini, Aaron pun belum bisa dihubungi." "Aaron? Aaron Mendez? Kalau tidak salah, pria itu sekretaris Ben kan?" Tampak Anna mengangguk. Rautnya terlihat sedikit berkerut cemas. "Ya. Tapi sudah sekitar seminggu, ia tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif, dan tidak ada yang tahu keberadaannya. Sebenarnya aku cukup khawatir, dok." Meminum tehnya kembali, si dokter bertanya sambil lalu. "Apa yang kau khawatirkan?" Mengigit-gigit bibirnya, Anna memilih kata-katanya hati-hati. "Kecelakaan mobil itu. Meski yang menimpa Ben merupakan kecelakaan tunggal, tapi dia telah mengalami penyerangan sebelumnya. Sejujurnya, aku juga khawatir Aaron mengalami nasib yang serupa." Ekspresi sang dokter tampak sedikit memucat. "Maksudmu..." Gelengan pelan tampak dari kepala wanita itu. "Aku tidak tahu pasti, dok. Tapi memang ada pikiran seperti itu. Menghilangnya Aaron selama hampir 10 hari bukan hal yang wajar. Meski tidak terlalu mengenalnya, tapi pria itu cukup bertanggungjawab di pekerjaannya. Ia juga rekan kerja yang dikenal cukup baik." "Kau sudah coba menghubungi keluarganya?" Menghela nafas, Anna menggeleng. "Kedua orangtuanya sudah meninggal. Setahuku, ia masih memiliki kakek-nenek tapi tidak ada yang tahu mereka tinggal di mana. Bagaimana pun, CNC memiliki tanggungjawab pada karyawannya. Aku tetap harus menghubungi sisa keluarganya. Kalau memang mereka masih hidup." Tubuh dr. Hills tampang menegang dalam duduknya. "Anna. Saya sama sekali tidak suka kau mengatakan itu. Kalau yang kau bilang memang benar, berarti-" Menatap dr. Hills, tatapan wanita itu tiba-tiba berubah lembut dan menenangkan. Ia terkekeh kecil. "Maafkan aku, dok. Aku cuma bercanda tadi. Jangan dianggap serius." Terkejut dengan perkataan itu, dr. Hills mengerjapkan kedua matanya. "Anna?" Wanita itu berdiri dari duduknya dan tampak sedikit melakukan peregangan di tubuhnya. Ia menatap dokter tua di depannya dan senyum cerah terlihat di wajahnya. "Aku cuma bercanda tadi, dok. Penyerangan pada Ben di bandara hanya karena ada upaya perampokan. Semuanya sudah beres, tidak ada yang aneh-aneh." Sama sekali tidak percaya, si dokter menatap skeptis. Ia ikut berdiri dari duduknya. "Kau yakin? Tadi kau bilang-" "Aku SANGAT yakin, dok. Jack telah melakukan penyelidikan dan itu hasilnya. Bandara sepi. Ada kesempatan. Dan kebetulan Ben-lah korbannya. Ia hanya sedang sial saja." Mengamati wajah Anna yang tampak lelah dan tampak mengurut belakang kepalanya, dr. Hills merogoh tas dokternya dan memberikan sesuatu pada wanita itu. "Ya sudah. Yang penting, apa yang kau katakan tadi semuanya tidak terjadi. Minumlah ini, Ann. Sepertinya kau membutuhkannya." "Apa ini?" "Vitamin. Dengan sedikit obat tidur. Kau sepertinya perlu istirahat." Mengambil kedua benda itu, Anna tersenyum dengan sangat berterima kasih. "Terima kasih, dok. Aku memang sepertinya memerlukannya." "Kalau begitu, saya pergi dulu. Segera telepon, kalau ada perkembangan mengenai suamimu. Dan ingat Ann, jangan kasar pada suamimu. Dia itu sedang sakit." Mendengar itu, Anna terkekeh pelan. "Baiklah, dok. Aku janji. Dokter tenang saja." Selesai mengantarkan dokter tua itu keluar kondo, Anna kembali duduk di sofa itu. Ia menimbang-nimbang benda di tangannya, dan akhirnya memutuskan meminum keduanya. Tidak lama matanya terasa berat dan mengangkat kedua kakinya, wanita itu menyelonjorkan tubuhnya di sofa besar itu. Mendapatkan posisi yang paling nyaman, ia pun menutup matanya dan dengkuran halus terdengar dari hidungnya. Suara bunyi pintu yang terbuka, sama tidak tidak didengar wanita yang telah terlelap ke alam mimpi itu. Langkah kakinya yang ringan, membawa Bram sampai ke depan sofa. Pria itu sedikit merasa bersalah telah berpura-pura dan membohongi isterinya tadi. Tapi, ia tidak punya pilihan. Sepertinya, ia masih tetap harus menggunakan jurus tipu dayanya sementara waktu. Menatap Anna yang tampak kedinginan, ia bukannya menyampirkan selimut yang dibawanya tapi malah membaringkan tubuhnya di samping wanita itu. Merapihkan selimut menutupi mereka berdua, pria itu memeluk tubuh isterinya dari belakang dan merapatkan pelukannya. Kehangatan yang menyebar dari area punggungnya, membuat Anna makin mendekatkan dirinya pada hawa panas itu. Tangannya tanpa sadar meraih tangan suaminya, dan meletakkannya ke d*danya yang tertutup sweater. Ia kembali tertidur nyenyak. Sama sekali wanita itu tidak sadar dirinya dicium dan rambutnya diusap-usap lembut. Suara dalam yang ia dengar di telinganya, seolah alunan nyanyian merdu yang ia dengar dalam mimpinya. Nyanyian yang sangat ia rindukan, yang baru ia dengar kembali setelah bertahun-tahun lamanya. "Selamat tidur, schatzi... Mimpi indahlah..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD