Warning: genre besar cerita ini adalah romantis, tapi dikemas dalam penuturan yang mengandung action, misteri dan juga unsur mafia. Jangan mengharapkan alur yang cepat, karena cerita ini lebih menekankan pada pengembangan karakter, latar belakang dan alasan masing-masing tokoh dalam melakukan sesuatu. Jadi, silahkan dinikmati dengan santai sambil makan pisang goreng ❤️
***
= Zermatt, Switzerland =
Badai yang tidak terduga berlangsung di salah satu pegunungan indah, yang biasanya menjadi tempat favorit bagi mereka yang suka tantangan. Daerah dengan penghuni sekitar 6000 ribu orang itu terkenal dengan lokasi indahnya bagi para peminat ski, yang cukup banyak berkunjung di bulan Oktober atau pun November untuk menikmati olahraga musim dingin tersebut.
Sayangnya, cuaca yang tidak terduga terjadi. Hari ini, cuaca tiba-tiba memburuk. Angin bertiup kencang, dan hujan salju yang cukup lebat pun turun menyebabkan beberapa turis yang tadinya masih di lokasi, segera harus meninggalkan tempat sesegera mungkin. Peringatan dari pengeras suara pun terdengar menggema, memperingatkan adanya kemungkinan badai dan juga longsor.
Suara-suara udara menggemuruh terdengar mengerikan. Seperti suara deruan dan juga siulan jarak jauh.
Di salah satu titik di sana tanpa diketahui siapa pun, terlihat ada beberapa orang menuruni lereng gunung dengan sangat cepat. Rombongan itu tampak saling berlomba kecepatan, sampai salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah benda berkilat dari sakunya.
Menundukkan badannya, orang yang meluncur dengan menggunakan snowboard itu semakin mendekati orang di depannya. Menghunuskan benda di tangannya, tampak ia bersiap menghujamkannya ketika orang di depannya tiba-tiba saja menoleh dan dengan cepat menangkap pergelangan tangannya.
Kecepatan yang sangat tinggi itu membuat keduanya berputar-putar sejenak, sebelum akhirnya terjatuh dan bergulung-gulung tanpa kendali di lereng itu. Salah satu pe-ski di depan terdengar berteriak dan berusaha untuk mengurangi kecepatannya dengan menancapkan salah satu tongkat ski-nya ke salju.
"AARONNN!?"
Baru saja ia akan menyusul orang bernama 'Aaron' itu, tiba-tiba pe-ski lain tampak mengarahkan moncong senjatanya dan terdengarlah suara ledakan yang memekakkan telinga. Tidak sampai setengah menit kemudian, suara deruan mengerikan menggema di lereng itu dan tidak lama, muncullah gulungan demi gulungan salju dari atas lereng. Suara dentuman tadi telah memicu terjadinya longsor.
Menyadari situasi yang membahayakan, mereka yang ada di sana tampak panik untuk menyelamatkan diri. Semuanya berlomba adu cepat untuk menghindari buruan ombak salju tidak pilih kasih, yang akan menelan siapa pun yang terlalu lambat.
Tampak semua orang melupakan tujuannya masing-masing dan fokus untuk menghindar dari kematian yang semakin mendekat. Pe-ski yang ditembak tadi tampak menjatuhkan salah satu tongkat ski-nya. Ia mulai kehilangan kendali. Menoleh ke belakang, orang bermasker itu menatap pemandangan paling mengerikan dalam hidupnya dan ia bergumam lirih.
"Oh, Tuhan..."
Kedua mata gelapnya membelalak lebar, bersiap untuk menerima terjangan salju mematikan itu ketika tiba-tiba tubuhnya terasa ditabrak oleh sebuah truk dari arah sampingnya.
Ia merasakan tubuhnya berguling-guling di atas salju yang terasa seperti beton di bawahnya. D*danya sesak, ketika tumbukan demi tumbukan yang sangat menyakitkan menerpanya, seolah ia ditabrak berkali-kali. Sama sekali ia tidak mampu berteriak karena saking sakitnya. Sampai akhirnya punggungnya membentur sesuatu yang keras dan membuatnya berhenti. Benturan itu terasa bagai tonjokan di perut dan d*danya.
Nafasnya tersengal-sengal tapi telinganya dapat mendengar suara deruan salju yang anehnya, sekarang berasal dari arah sampingnya. Meski merasakan sakit di sekujur tubuhnya, orang itu pun membuka kedua matanya. Pemandangan yang ada di depannya, refleks membuat mata gelapnya berkaca-kaca.
"Abe..."
Tampak orang berkacamata pelindung di depannya juga masih kesulitan mengatur nafasnya. Tapi orang itu langsung bangkit untuk memeriksa orang di bawahnya. Ia membuka jaket tebalnya dan menemukan kalau orang itu telah tertembak, dan cukup parah. Pelurunya tembus sampai ke punggungnya.
"Kau tertembak, Ben."
Menekan luka yang terbuka itu, Abe membuka kacamata pelindungnya yang tampaklah sepasang mata gelap yang memandang dingin. Tampak ia merogoh sesuatu dari jaket tebalnya dan mengeluarkan sebuah telepon satelit berwarna terang. Tangan pria itu yang bersarung tangan menekan salah satu tombol di sana dan ia menempelkan benda itu di salah satu telinganya.
Memandang Ben yang tampak mulai memucat, ia berkata datar, "Kau akan selamat. Kau HARUS selamat."
Mendengar itu, salah satu mata Ben mengalirkan air di pipinya. Sekuat tenaga, ia mengangkat tangannya dan mencengkeram tangan kiri Abe yang sedang menekan lukanya sendiri.
Terdengar desakan dari suaranya, "Abe...! Abe!"
Tampak Abe menggertakan rahangnya. "Jangan banyak bicara, Ben. Kau membuat lukamu makin parah."
Perhatian Abe sejenak teralih ketika ia mendengar seseorang menjawab panggilannya. Dengan tenang, pria itu menjelaskan kondisinya dan meminta agar dilakukan evakuasi sesegera mungkin sebelum cuaca semakin memburuk. Menempelkan telepon ke bahunya, ia menekan sesuatu di jam yang ada di tangan kanannya.
Ben yang terbaring hanya dapat melihat tanpa mengerti satu patah kata pun hal yang dikatakan Abe. Dalam situasinya yang kritis, ia kembali merenggut jaket pria itu kasar dan memaksanya untuk memandang ke arahnya. Ia tahu kalau waktunya tidak lama lagi.
"Abe... Abe... Anna... An..."
Nama itu berhasil membuat perhatian Abe kembali padanya. Pria dingin itu mematikan panggilannya dan menyimpan kembali benda itu dengan aman ke sakunya.
"Berger akan segera datang. Bertahanlah."
Kepala Ben menggeleng. Ia panik ketika merasakan jerat kematian semakin mendekatinya.
"Anna... Anna... Dia..."
Suara bedeguk terdengar dari tenggorokan Ben. Pria itu memuntahkan darah dari mulutnya.
Khawatir, tangan Abe semakin menekan luka Ben dan menunduk. Salah satu tangannya membuka kacamata pelindung milik pria itu dan membuka maskernya, mencoba membantunya bernafas lebih baik.
"Ben. Ben, tenanglah. Jangan bicara. Lebih baik-"
Mengarahkan kekuatan terakhirnya, Ben semakin mer*mas lengan jaket Abe. Suara nafasnya terdengar kasar dan terasa sulit. Kedua matanya membelalak memandang pria di atasnya.
"Abe... Hati-ha... ti... Dia... lindung... b*nuh-"
Sebelum mampu menyelesaikan kalimatnya, aliran nafas Ben terhenti. Pria itu terlihat masih melotot ke arah Abe, namun mata gelapnya tampak tidak bernyawa lagi. Lelaki itu meninggal dengan mulut terbuka.
Mengerjapkan kedua matanya, Abe mengguncang bahu Ben. "Ben? Ben! BEN!?"
Teriakan pria itu teredam dengan badai salju yang mulai menguat, mengaburkan segala sesuatunya. Longsor yang sudah berhenti, menyisakan pemandangan putih sepanjang mata memandang. Tidak tahu apa saja yang telah terendam dalam timbunan salju yang tampak tidak berdosa itu.
Menegakkan badannya, tampak Abe berusaha mengontrol dirinya. Ia melepaskan tangannya dari d*da Ben yang terluka dan membiarkan aliran darah segar keluar dari sana. Seumur hidupnya, tidak pernah ia mengira kalau kejadian ini akan mempengaruhi dirinya. Telinganya sesaat tuli, membuatnya tidak mendengar suara deruman yang mulai mendekat dari kejauhan.
Raut Abe terlihat kaku dan selama beberapa saat, pria itu hanya duduk diam dan memandang wajah yang pucat di bawahnya. Dalam keterdiamannya, ia tidak tahu harus merasakan apa. Sedih? Bahagia?
Lamunannya terhenti ketika ia merasakan tekanan pada salah satu bahunya. Menoleh, ternyata seseorang berpakaian ski telah berdiri di belakangnya. Orang itu membuka kacamata pelindungnya, dan tampaklah sepasang mata bermata hijau sedang memandangnya bergantian dengan pria yang terbujur itu.
Saat bersuara, terdengar nada ragu-ragu dalam pertanyaannya. "Dia... meninggal...?"
Pertanyaan itu tampak membuatnya sadar, dan Abe mengerjapkan matanya. Ia kembali menatap Ben, dan tangan kanannya perlahan menutup mata pria itu yang masih terbuka. Ia masih menyempatkan diri untuk memeriksa denyut nadi di lehernya, memastikan kematiannya.
Menyarungkan kembali kaos tangan yang tadi dibukanya, Abe berkata datar. "Kita harus menguburkannya."
Kata-kata itu membuat pria yang baru datang itu terkejut. "Di sini? Kau yakin?"
Berdiri tegak, Abe menoleh dan melihat sebuah snowmobile terparkir di dekat mereka.
"Kau datang cepat, Berg. Bawa sekop atau semacamnya?"
Masih memandang Ben yang terbaring, Berger mengangguk. "Kau beruntung, lokasimu cukup dekat dengan lokasiku. Aku sudah menghubungi tim SAR. Dan ya, aku membawa sebuah sekop kecil."
"Bagus. Bantu aku menguburkan dia."
Melihat Abe yang akan berjalan ke arah snowmobile, Berger mencekal lengan pria itu. Tampak keduanya saling berpandangan dengan tajam, dan juga dingin. Suara angin yang bertiup kencang, menandakan situasi yang semakin berbahaya. Mereka harus segera pergi dari sana.
"Bram. Ini BEN yang kita bicarakan. Kau yakin-"
Melepas cekalan Berger kasar, pandangan Abe terlihat menggelap. "Justru karena dia adalah Ben, kita harus segera menguburkannya. Tidak ada yang boleh tahu kalau dia sudah m*ti. Kau tahu apa yang dapat terjadi, kalau sampai informasi ini bocor. Semua akan sia-sia."
Kedua mata Berger berkerut dalam. "Kau ternyata PEDULI. Tidak seperti katamu dulu."
Menarik nafasnya kasar, Abe membuang pandangannya. Sambil berjalan, ia berkata dingin. "Aku hanya tidak mau semua yang sudah kita lakukan bertahun-tahun, menguap karena kejadian hari ini. Dan kau sangat tahu, aku hanya PEDULI pada satu hal. Tidak ada yang lain."
Mengambil sekop dari kendaraan salju itu, Abe menyerahkannya pada Berger yang tertegun.
"Sekarang bantu aku menguburkannya. Setelah badai berhenti, akan banyak tim SAR berkeliaran di daerah sini. Aku tidak mau dia ditemukan semudah itu."
Tanpa membantah lagi, Berger mengambil sekop itu. "Untung kau bukan saudara kandungku, bro. Mungkin aku akan bangkit dari kematianku, kalau sampai mendengar kata-katamu tadi."
Dan selama beberapa waktu, dua pria itu sibuk menggali lubang yang tidak terlalu dalam karena tanah yang membeku. Sebisa mungkin, mereka menyembunyikan lokasi kuburan itu. Setelah mencatat koordinat tepatnya, keduanya pun akhirnya pergi meninggalkan lereng menggunakan snowmobile tadi.
Sambil melaju di atas snowmobile, Abe mer*mas kemudi di tangannya. Terpaan angin yang dingin dan membekukan tidak dipedulikannya. Fokusnya hanya satu, dan cuma satu.
'Kau tenanglah, Ben. Aku akan membalaskan dendam-mu. Kau berhak mendapatkannya.'
Semakin menekan pedal gas, Abe mempercepat laju kendaraan dengan Berger di boncengannya. Keduanya meninggalkan lokasi menyedihkan itu di belakang tapi mereka tahu, kalau peristiwa ini tidak akan pernah terlupakan. Kematian pria bernama 'Ben', akan sangat mengguncangkan dunia bila sampai diketahui umum.