= Kota CA, Amerika. Dua hari setelah kejadian di Switzerland =
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, tampak seorang pria keluar dari pintu bandara internasional itu sambil menenteng duffel bag-nya. Ia ingin segera beristirahat dan bertemu orang itu. Sedikit terburu-buru, ia menyeberang jalan dan menelusuri pelataran parkir bandara yang tampak lengang serta sepi itu. Tampaknya banyak orang menghindari penerbangan malam, terutama dalam cuaca yang dingin seperti ini.
Berhenti di samping sebuah mobil, pria itu mengeluarkan ponselnya. Benda itu melekat di telinganya, saat ia merogoh saku celana dan mengeluarkan serentengan kunci dari sana. Baru saja ia akan memasukkan kunci itu ke mobilnya, ketika terdengar seseorang bertanya dari arah kegelapan.
"Tuan Collins? Benjamin Collins?" Aksennya terdengar seperti orang Eropa.
Pertanyaan itu membuat pria tadi menoleh cepat dan keningnya berkerut. Di depannya, tampaklah seorang pria besar dengan jaket motor berwarna gelap. Muka pria asing itu tertutup bayang-bayang lampu yang cukup redup, membuatnya tidak dapat dikenali. Tapi kilauan di sana, menandakan kalau ia mengenakan perhiasan di salah satu telinganya.
Menurunkan ponsel dari telinganya perlahan, pria itu waspada ketika tampak beberapa orang lain yang hadir di belakang pria asing tadi. Mereka semua mengenakan tipe jaket yang sama dan memakai helm full face.
"Mau apa kau?" Kedua matanya memicing tajam.
Tidak menjawab, pria dengan aksen Eropa itu menggerakkan jari-jarinya ke arah para rekannya. Beberapa pria lain, mulai bergerak mengelilinginya dengan posisi yang mengancam. Jelas orang-orang ini memang ingin mencari masalah dengannya.
Menyimpan ponsel di saku jasnya, pria itu sedikit mundur dan mengepalkan tangannya yang bersarung kencang. Dagunya menantang, tampangnya dingin dan sama sekali tidak terlihat ketakutan dalam matanya.
"Aku tanya sekali lagi. Mau apa kau?"
Pertanyaan itu dijawab dengan seringaian mengerikan dari pria besar di depannya. Pria asing tadi merogoh sakunya dan mengeluarkan benda berkilat. Tampak sebilah pisau saku tajam berada di tangan pria besar itu.
"Sorry, mate. Aku hanya disuruh seseorang." Ia menjeda ucapannya. Menunggu reaksi pria di depannya.
Dengusan terdengar dari mulut pria berjas itu. Dia sangat tahu keinginan pria besar itu.
"Majulah, b*nci. Tidak usah buang waktumu, karena tidak akan ada diskusi."
Raut tertegun pria asing itu perlahan mulai memerah, dan teriakannya menggema di pelataran sepi itu ketika dia menyuruh anak buahnya untuk menerjang pria di depannya.
"B*NUH DIAAA!?"
Perkelahian tidak imbang pun terjadi. Meski seharusnya keributan itu dapat memancing kedatangan orang-orang tapi anehnya, tidak satu security-pun menampakkan hidungnya di sana. Tampaknya petugas di area tersebut telah disuap dan mungkin saja, CCTV yang ada di sana pun tidak berfungsi.
Tidak seperti perkiraan awal, ternyata pertarungan itu dimenangkan oleh pihak yang tidak disangka.
Dalam sekejap, beberapa pria berpakaian motor itu telah habis dihajar oleh pria berjas tadi. Dua diantaranya pingsan dengan kaca helm mereka pecah, menampilkan muka lebam penuh dengan darah. Sedangkan dua lainnya terkapar kesakitan, memegang salah satu kaki mereka yang sepertinya mengalami cedera parah.
Melihat kejadian tidak diduga ini, pria asing tadi tampak cukup ciut nyalinya. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya di awal. Sedikit gemetar, ia menghunuskan pisaunya membabi-buta.
"Kau! Kau, Benjamin Collins kan? Benjamin Jayden Collins!?"
Tersenyum dingin, pria itu melangkah ke arahnya. Semakin pria itu mendekat, semakin pria asing itu mundur. Dengan gerakan mengintimidasi, pria berjas itu membuka mantel luar dan jasnya. Ia melemparnya asal.
"Jawab aku, BR*NGSEK!? KAU Benjamin Jayden Collins, bukan!?" Ketakutan, ia kembali berteriak.
Bukannya menjawab, pria itu malah balas menyeringai pada pria asing tersebut. "Menurutmu...?"
Jawaban itu perlahan memasuki otak kecil si pria asing, membuat ekspresi yang tadinya ketakutan menjadi terkejut, dan akhirnya terlihat marah. Ia merasa sangat t*lol!
"KURANG AJAR!? Kau telah menipuku!"
Selesai mengucapkan sumpah-serapah itu, ia langsung menerjang pria di depannya.
Sudah jelas siapa yang akan memenangkan pertarungan tersebut.
Tidak butuh waktu lama, leher pria asing itu sudah berhasil dicekal oleh lawannya. Posisi mereka berdua di bawah, saling menggeliat dan berusaha menekan yang lain. Mereka seperti sepasang pegulat di arena tinju. Tapi meski dapat berada dalam posisi menang, kekuatan pria besar itu tidak bisa disepelekan. Pria di atasnya sadar, bahwa ia harus segera menghabisi orang di bawahnya.
Semakin menekan tenggorokan pria asing di bawahnya, pria itu bertanya dingin. "Siapa yang menyuruhmu?"
Tidak mau kalah, pria besar itu melotot menatap lelaki itu tajam tapi tidak mau menjawab apa pun. Mukanya semakin merah, menandakan aliran oksigen yang semakin berkurang ke otaknya.
Menekan d*da pria besar tadi dengan salah satu lututnya, ia merubah posisinya. Masih sambil mencekik leher pria di bawahnya, ia mengangkat satu tangannya. Bersiap memberikan serangan fatal.
Mendekatkan mukanya, pria itu bertanya lagi. "Sekali lagi aku tanya. Siapa bos-mu, B*NCI?"
Susah-payah, si pria asing mengeluarkan suara seperti geraman dari tenggorokannya. "Ke n*raka saja, kau!"
Jawaban tersebut membuat pria itu menjauhkan kepalanya. Tampak senyuman sadis di mulutnya.
"Baiklah, jika itu maumu." Satu tangannya mulai mengepal dan terangkat. Dengan kekuatan penuh, pria itu mengarahkan kepalannya pada kepala pria besar di bawahnya.
Deru angin dingin yang kuat menerpa wajah sang pria asing dan ia memejamkan kedua matanya. Di saat ia bersiap untuk menerima nasibnya, tiba-tiba deringan ponsel memecah kesunyian malam itu.
Interupsi tidak disangka itu menghentikan gerakan si pria, membuat bogem mentah itu terhenti di tengah jalan. Perhatiannya yang teralih, membuat cekikannya pada sang pria asing sedikit melonggar. Kesempatan itu sama sekali tidak disia-siakan oleh pria besar itu. Sekuat tenaga, ia mendorong orang di atasnya dan menyabetkan senjata yang tadi telah terlempar ke sampingnya.
"UH!?"
Posisi telah berubah. Tampak si pria melangkah mundur sambil memegangi salah satu lengannya. Terlihat darah mulai berceceran di lantai beton itu, yang berasal dari tangannya sendiri.
Menghela tubuhnya bediri, pria asing itu kembali menghunuskan pisaunya. Bercak darah tampak di ujung pisaunya yang berkilat tajam. Ia berhasil melukai lawannya.
"Kali ini aku akan benar-benar memb*nuhmu, br*ngsek!?"
Melirik menatap lengannya, sabetan itu ternyata berhasil merobek kemeja lengan panjangnya. Kekuatan pria asing itu sama sekali tidak boleh diabaikan. Hanya dengan sebilah pisau, ia dapat membuat luka yang cukup dalam. Kalau tidak bereaksi cepat, ada kemungkinan serangan itu fatal dan akan langsung mendiskon nyawanya di tempat. Orang di depannya ini cukup berbahaya.
Aliran darah tanpa henti membuat pria itu semakin sadar. Ia akan kehilangan banyak darah jika tidak segera menyelesaikan urusannya di sini. Senyuman sinis terbentuk di bibirnya. Ia harus memancing orang ini.
"Harus kuakui b*nci, kau ternyata lumayan juga."
"Jangan banyak omong kau!?"
Penuh kemarahan, pria besar itu menyerang pria terluka di depannya. Sama sekali tidak menyadari, kalau serangan itu memang telah ditunggu. Begitu si pria asing mendekat, lelaki itu lincah menghindar ke samping dan langsung mengarahkan tendangan lutut yang cukup mematikan ke arah kepala lawannya.
Bunyi retakan yang mengerikan terdengar dan tidak lama, suara bedebum pun menggema saat tubuh pria besar itu jatuh ke bawah. Ia tampak tidak sadarkan diri dan darah, mulai keluar dari area hidungnya.
Mengedarkan pandangannya, pria itu sadar kalau ia harus segera pergi dari lokasi ini. Tanpa tahu siapa lawan dan siapa kawan apalagi dengan kondisinya yang terluka seperti ini, akan sangat berbahaya kalau ia meminta bantuan dari seseorang di area bandara.
Tertatih-tatih, pria itu memungut jas dan mantel yang tadi dilemparnya. Susah payah, ia membuka pintu mobilnya dan menutupnya kencang.
Sedikit gemetar, ia merobek lengan baju dan membebat lukanya seadanya. Meski darahnya masih mengalir, tapi setidaknya sedikit terhenti. Dia sadar harus segera ke rumah sakit.
Menghidupkan mobilnya, ia mulai mengarahkan kendaraan itu ke arah jalanan. Situasi jalanan yang sepi, membuatnya semakin menekan pedal gas. Ia harus segera sampai di rumah sakit, sebelum kesadarannya menghilang. Makin mencengkeram kemudinya, pria itu menggeleng kuat untuk menghilangkan rasa pusing yang menderanya. Penglihatannya mulai berkunang-kunang.
Bunyi panggilan di saku jasnya membuat pria itu menoleh. Dengan lemas, ia berusaha meraih jasnya dan saat itulah kendalinya pada kemudinya memudar. Mobil itu melaju tanpa kontrol dan akhirnya menabrak pagar pembatas di sana dengan kecepatan tinggi.
Kecelakaan tunggal pun tidak terelakkan. Tabrakan kencang tersebut membuat mobil itu terbalik beberapa kali di jalanan yang sepi. Bunyi gesekan besi dengan jalanan dan pecahan kaca terdengar nyaring selama beberapa saat. Setelahnya, mobil itu berputar-putar dalam kondisi atap di bawah dan suara klakson tanpa henti bergema di keheningan malam. Asap mulai keluar dari mesinnya.
Di kursi pengemudi, kepala pria tadi terbenam dalam bantal pengaman yang besar. Luka di keningnya mulai mengeluarkan darah dan bantalan yang melindunginya tadi pun mengempis.
Antara sadar dan tiada, pria itu mengucap lirih. "An... na..."
Setelahnya, kepalanya terkulai ke belakang. Ia tidak sadar, dan tidak tahu apakah akan selamat. Lagi, ia telah menantang maut untuk kesekian kalinya.