Chapter 5 - Vinz, The Bartender

1253 Words
= Salah satu bar di kota CA, Amerika. Masa sekarang = Lokasi bar di tengah kota itu tampak sepi. Bisnis belum berjalan, karena waktu masih menunjukkan jam 10.00 pagi. Denting bel yang pelan, menandakan seseorang telah membuka pintu bar. Di dalam, tampak beberapa orang yang sedang membersihkan ruangan menghentikan kegiatannya. Mereka memandang pria yang baru masuk itu dengan tatapan sangat dingin. Setelah menyadari siapa orang tersebut, barulah mereka kembali ke pekerjaan masing-masing. Suasana hening. Tidak ada yang berbicara. Salah satu dari pria besar di sana menghampiri pria baru itu. Kepalanya botak dan badannya penuh tato. "Jackal." "Vinz." Dua orang itu berjabat tangan erat. Mengukur kekuatan masing-masing. Setelah puas mer*mas tangan lawannya kuat, keduanya pun melepaskan diri. Telapak tangan mereka terlihat sedikit memerah. Mendengus kasar, orang yang dipanggil 'Vinz' menunjuk salah satu kursi bar di sana. Ia kemudian memutar ke arah meja panjang bar dan berdiri di baliknya. Cekatan, sebuah handuk bertengger di bahu kanannya. "Duduklah. Seperti biasa?" Jackal memperhatikan sekelilingnya, dan ia mengangguk. Santai, pria itu duduk di salah satu kursi. Dengan sabar, ia menunggu Vinz meracik sesuatu dengan keahlian tangan seorang bartender kawakan. Tidak lama, segelas minuman keras dengan es baru buatan tangan, tersaji dengan cepat di depannya. Senyum di bibir Jackal muncul saat ia puas dengan cita rasa minuman yang seperti karya seni itu. "Kau masih ingat favoritku, Vinz. Thanks." Melap tangannya dengan serbet di bahunya, Vinz mendengus. "Aku selalu mengingat mereka yang berkhianat. Dan kau salah satunya." Memainkan gelas di tangannya, terdengar denting pelan es batu di dalamnya. Tatapan Jackal naik dan pria itu memandang Vinz masih dengan senyuman di wajahnya. "Ada alasan kenapa julukanku 'Jackal', Vinz. Tapi aku tidak pernah mengkhianatimu. Kau tahu itu." Tanpa diduga, Vinz mengeluarkan sebuah pistol entah dari mana. Geram, pria itu mengarahkan moncong berkilat senjata itu ke arah kepala Jackal yang tampak tenang di depannya. Beberapa orang yang ada di sana pun, otomatis menodongkan senjata laras panjang mereka pada tamu tak diundang itu. Bunyi kokangan terdengar dari beberapa penjuru, dan suasana di sana pun berubah sunyi dengan cepat. Dalam situasi yang mencekam itu, Jackal malah terkekeh pelan. Ia masih memutar-mutar gelas di tangannya, menikmati suara es batu beradu dengan gelas kristalnya. Reaksi Vinz sudah sangat diduganya. "Kau salah mengira kami masih menerimamu, Jack. Kau sendiri yang dulu memilih pergi dan sekarang, untuk apa kau datang lagi ke sini?" Mengelus bibir gelasnya, Jackal berkata pelan. "Sudah kubilang, aku tidak pernah mengkhianatimu. Dari awal aku sudah bilang, tidak mau disangkutkan dengan komplotan kalian. Tapi kau memaksaku. Bukan salahku kalau saat itu ada orang yang ternyata dapat mengalahkan aku. Dengan telak. Lagipula, bukan hanya kalian yang masuk penjara. Karena kalian, aku juga terpaksa menginap di hotel prodeo selama beberapa tahun. Seharusnya akulah yang ingin memb*nuhmu, Vinz. Karena menyeretku dalam situasi itu." Bahu Vinz bergetar, entah karena geli atau marah. Pria itu mendengus. Ia akhirnya menyimpan senjatanya dan menyuruh anak buahnya melakukan hal sama. Dalam sekejap, adegan berpotensi penuh darah tadi digantikan dengan adegan membosankan. Tiap orang kembali sibuk membersihkan tempat itu. Vinz sendiri mulai membersihkan gelas-gelas yang ada di sana menggunakan serbetnya. Memperhatikan pria yang termenung di depannya, ia akhirnya bertanya. "Kau masih bekerja untuknya?" Kepala Jackal mengangguk. Tatapan pria itu turun memandang gelas yang hampir kosong di depannya. Menyadari situasi yang sepertinya cukup serius, Vinz akhirnya bertepuk tangan dan menyuruh anak buahnya untuk pergi dari sana. Ia butuh privacy. Setelah ruangan kosong, Vinz menuangkan cairan berwarna bening itu ke gelas Jackal kembali. "Apa yang telah terjadi? Sampai kau ke sini?" Masih belum menatap Vinz, Jackal bergumam pelan. "Aku butuh bantuanmu, Vinz." Kekehan terdengar dari mulut pria botak itu. Tampak ia menumpukan salah satu tangannya yang berotot di meja bar. "Memangnya kau mau aku melakukan apa?" Jackal mengeluarkan sebuah amplop yang tidak disadari Vinz dibawa pria itu dari tadi. Keningnya yang hampir tanpa alis berkerut saat ia menerima benda itu. "Apa ini?" "Bukalah dulu." Penasaran, Vinz membukanya dan membacanya cepat. Tidak lama, ia kembali memandang tamunya. "Apa maksudnya ini? Aku masih belum paham, Jack." Memutar matanya, Jackal merutuk kebodohannya sendiri. Meski cukup cerdas, tapi ia baru ingat kalau otak Vinz cukup terbatas untuk hal-hal yang sifatnya teoritis. Pria botak itu tipikal orang lapangan karenanya selama bekerja sama, ia cukup bergantung pada Jackal untuk perencanaan. "Intinya, ada orang yang ingin mencelakainya. Fatal. Dan aku butuh kau mencari tahu, siapa pelakunya." Kening lebar Vinz semakin berkerut. Ia meletakkan berkas itu di meja dan memandangnya aneh. "Kenapa tidak lapor polisi? Mungkin saja ini kasus penyerangan biasa. Lagipula dengan kemampuan kalian, akan sangat mudah meretas CCTV yang ada di lokasi. Kau tidak akan butuh banyak bantuanku." "Adakalanya penyelidikan langsung lebih efektif, dibanding bergantung pada gerakan tangan di laptop. Tidak ada CCTV yang terekam di lokasi. Dan ini bukan hanya terjadi satu kali, Vinz. Sejak terlbat dengan perusahaan l*knat itu, sudah beberapa kali Bram mengalami penyerangan seperti ini. Percuma lapor polisi, karena tidak akan mendapat perhatian serius meski keluarga Collins cukup berpengaruh. Sepertinya ada komplotan yang jauh lebih besar dan lebih berkuasa, dibanding keluarga kaya itu." Setelah terdiam sejenak, Jackal akhirnya menatap tajam ke arah Vinz. "Selama mengenalnya, baru kali ini ada yang berhasil melukainya. Kau mengenal banyak orang. Kau pasti tahu seseorang dengan keahlian seperti Bram. Atau mungkin seseorang dengan skill menggunakan pisau. Aku juga yakin, kalau yang menyerangnya tidak hanya satu orang. Mereka pasti terlibat dalam sebuah gang atau kumpulan yang terorganisir. Apa kau bisa melakukannya?" Menghela nafasnya, Vinz berkata pelan lagi. "Sudah ada beritanya di media?" Kepala Jackal menggeleng. "Itulah salah satu keanehannya. Meski kecelakaan yang menimpanya ditutupi, tapi seharusnya berita penyerangannya akan tetap ada. Tidak mungkin luka sebesar itu tidak meninggalkan jejak apapun. Tapi hingga kini, sama sekali tidak ada beritanya. Tapi aku yakin, peristiwa itu terjadi saat Bram masih di bandara. Itu satu-satunya tempat yang paling mungkin, sebelum dia mengendarai mobilnya dan mengalami kecelakaan di sana. Jadi, apa jawabanmu?" Rahang Vinz mengeras dan ia tampak berfikir keras. Saat matanya menatap Jackal kembali, ia bertanya ketus. "Apa untungnya bagiku?" Pertanyaan itu membuat Jackal memundurkan tubuhnya. Ia sedikit tertawa. "Seharusnya kau bertanya, apa buntungnya bagimu kalau tidak membantuku. Kau memiliki bisnis bar untuk menutupi kedok transaksi n*rkoba dan penjualan senjata gelap. Dan lagi, kau masih berhutang padaku karena membuatku dipenjara beberapa tahun lalu. Kalau mau, aku dapat menghancurkan dirimu Vinz. Apalagi kau tahu, dengan siapa aku bekerja saat ini." "Jangan coba-coba mengancamku, Jack." "Aku tidak mengancammu. Aku hanya memperingatkanmu. Dan kalau kau mau berfikir, peristiwa dengan perusahaan CNC sama sekali tidak pernah melibatkan komplotanmu. Sudah jelas, ada pihak lain yang mulai masuk ke wilayah kekuasaanmu. Apa kau mau membiarkannya?" Melihat pria besar itu terdiam, Jackal akhirnya berdiri. Ia mengambil berkas itu kembali. Sepertinya, ia harus memikirkan alternatif lain. Ia masih punya satu opsi, yang sebenarnya tidak disukainya. "Aku akan membiarkanmu berfikir. Dengan membantuku, kau juga membantu dirimu sendiri. Aku tidak akan memaksamu. Kau tahu bagaimana menghubungiku." Selesai mengatakan itu, Jackal langsung meninggalkan bar tersebut. Dengan cepat, ia menyeberang jalan di depannya. Sampai di dalam mobil, ia mulai putus asa. Baru kali ini selama hidupnya, ia merasakan perasaan itu. Bagaimana pun ia berhutang budi, juga nyawa pada atasannya. Tidak mungkin ia tidak membantunya. Masalahnya, sumber yang dimilikinya di Amerika cukup terbatas. Ia hanya mengenal beberapa orang, dan tidak yakin kalau orang itu akan bersedia membantunya. Mengingat masa lalu mereka yang belum beres. Menimbang sebentar, ia baru saja akan menghubungi orang tersebut ketika ponselnya berbunyi. Memandang bar yang masih tutup di seberangnya, Jackal menekan tombol hijau di layarnya. Dan rautnya yang tadinya keruh, berubah menjadi cerah saat mendengar jawaban orang di seberangnya. "Aku akan melakukannya. Berikan semua informasi yang kau punya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD