Chapter 4 - Twins

1445 Words
= Rumah sakit St. Collins. Masa sekarang = "Bagaimana keadaannya, dok?" "Sudah jauh lebih baik. Dari hasil CT scan, tidak ada tulang patah atau pun cedera fatal di area kepalanya. Luka-luka yang didapatnya lebih banyak luka luar, yang perlahan mulai menutup." Menatap pria yang tampak terbujur di tempat tidur, Anna menyilangkan tangan di d*danya. "Kalau begitu, kenapa dia masih belum sadar sampai sekarang?" Melepaskan stetoskop dari telinganya, dokter itu mengalungkan alatnya di leher. "Ketika seseorang dalam kondisi koma seperti yang dialami Ben, tidak ada satu pun dokter di dunia yang bisa menduga secara pasti kapan sang pasien akan bangun. Bisa saja dia akan bangun 1 jam lagi, mungkin juga besok atau lusa. Terus terang pertanyaan tadi tidak bisa saya jawab, Ann." Dengusan nafas yang keras terdengar dari hidung Anna. Ia masih memandang suaminya yang tertidur. "Hasil pemeriksaan selama 2 hari ini?" Tangan Anna yang membuka menerima uluran sebuah berkas dari dokter tua di depannya. Dengan segera, ia membukanya dan membacanya cepat. Matanya yang terlatih langsung menangkap poin-poin penting yang tertera di sana. Saat mengamati wanita di depannya, tampak sorot khawatir di mata dokter yang telah keriput itu. "Ann. Kau sudah tahu seperti apa hidup Ben selama ini. Apakah ada kemungkinan..." Mengangkat pandangannya, sepasang mata Anna yang berwarna kelabu menyorot tajam. "Satu luka sayatan memanjang di lengan kanannya. Menurut dokter, kemungkinan apa yang bisa saya-" Perkataan wanita itu terpotong, ketika pintu ruangan pasien itu tiba-tiba membuka kencang. Dua orang yang ada di dalam serentak menoleh pada pria yang tampak berdiri terengah di depan pintu. Menutup berkas di tangannya, dengan tenang Anna memutar tubuhnya menghadap pria yang baru datang. Suaranya terdengar dingin. "Jack Berger. Kenapa kau bisa ada di sini?" Pertanyaan itu membuat Berger geram. Ia menutup pintu itu dengan suara bedebam kencang. "Seharusnya AKU-lah yang bertanya, Anna! Kenapa kau tidak segera mengabariku kalau DIA kecelakaan?" Melihat intensi peperangan di antara dua orang berbeda k*lamin itu, sang dokter tua mulai mundur teratur. Ia tidak mau terlibat dalam keributan yang mungkin saja terjadi. Dokter bijak itu menoleh pada wanita muda di depannya. "Saya yang menghubunginya. Dia tetap harus tahu, sebagai orang terdekatnya di perusahaan." Membereskan peralatannya, dokter itu melangkah menuju pintu dan menyempatkan diri menepuk bahu Berger. "Tahan emosimu. Kau ada di rumah sakit. Dan hormatilah dia, karena dia isteri atasanmu." Menggertakkan giginya, Berger memandang dokter itu sampai ia keluar dari ruangan. Setelahnya, tatapan mata hijau itu langsung terarah dingin ke Anna. Berusaha mengendalikan rasa marahnya, pria itu bertanya dengan nada rendah. "Apa yang terjadi?" Berjalan melewatinya, Anna menyerahkan berkas itu ke Berger. "Semua ada di sana. Kau bisa baca sendiri." Pandangan Berger tidak percaya saat ia menerima berkas itu. Kepalanya bergerak mengikuti wanita itu yang tampak bersiap membuka pintu ruangan pasien tersebut. "Tunggu dulu! Mau kemana kau!?" Kali ini, pria itu tidak bisa menahan amarahnya. Menghentikan tangannya di kenop, Anna menoleh. "Aku harus menghadiri meeting dengan perwakilan pers sebentar lagi. Aku harus menjelaskan alasan ketidakhadiran Ben saat pemberian sumbangan di acara CSR pagi ini. Yale yang mewakilinya tadi, kan?" Jawaban datar itu membuat Berger tidak bisa membalasnya pedas. Ia hanya mengangguk. Sejenak, pandangan Anna terarah pada suaminya di tempat tidur. Mata kelabunya kembali menatap Berger. "Aku harus pergi sekarang. Kau tunggulah di sini. Jaga dia." Tidak menunggu jawaban Berger, wanita itu langsung keluar dan menutup pintunya pelan. Ditinggalkan sendirian, pria itu menengadahkan kepalanya lelah. Sudah sering ia dan Anna berselisih paham, dan sering kali pula ia tidak bisa menang beradu argumen dengannya. Meski menyebalkan, tapi wanita itu selalu melakukan dan mengatakan segala sesuatunya dengan tepat juga efisien. Ia tidak bisa komplain, apalagi karena mengetahui kalau temannya memang mencintai wanita dingin itu. Memandang sosok pria yang masih belum sadar itu, Berger menggerutu pelan. "Apa yang sebenarnya kau lihat darinya? Dia wanita yang menyebalkan!" Menarik salah satu kursi di sana, pria itu duduk dan mulai mempelajari berkas yang diterimanya tadi. Tidak butuh waktu lama baginya memahami situasi temannya, Berger mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang di sana. Terdengar ia berbicara dengan menggunakan bahasa asing. Selesai memberikan instruksi, ia menutup panggilan itu dan duduk menunggu. Sekitar 15 menit kemudian, terdengar ketukan di pintu. Membukanya, tampak sosok 4 orang yang cukup besar berdiri berderet di sana. Keempat orang tadi masuk ke ruangan dan Berger menutup pintunya rapat. "Semua aman?" Pria itu bertanya dengan bahasa Jerman. Salah satu dari mereka mengangguk. "Aman. Tidak ada yang mengikuti kami." Berger menatap pria-pria di depannya dan tatapannya terlihat menilai. Ia menunjuk dua pria berpakaian preman di depannya dengan perawakan lebih kecil dari dua lainnya. "Leon, Finn. Kalian tunggu di dalam sini. Noah dan Elias, kalian berjaga di pintu depan. Jangan sampai ada yang masuk ke ruangan ini sampai aku kembali. Kalau memang diperlukan, panggil dr. Hills untuk melakukan konfirmasi lebih dulu. Kalian mengerti?" Keempatnya mengangguk serempak. Setelah itu, Berger keluar ruangan dan menuju parkiran rumah sakit. Tampak pria itu menghubungi seseorang, baru akhirnya mengarahkan kendaraannya meninggalkan lokasi. Pria itu tahu, ia berlomba dengan waktu. Dia harus segera mendapatkan bukti sebelum ada pihak lain yang menyadari, kalau upaya mereka telah gagal dalam menghabisi nyawa seorang pewaris kerajaan Collins. *** = Flashback 8 tahun yang lalu. Hall gedung CNC. Kota CA, Amerika = Sepasang mata gelap di balik kacamata itu sangat familiar. Demikian pula bentuk hidung dan mulut yang ada di balik jenggot tebal itu. Menelusuri tubuh pria di depannya dari atas ke bawah, raut Ben memucat. Meski sosok pria berjas ini memiliki rambut ikal yang sedikit gondrong, janggut lebat dan sepasang kacamata yang melekat di hidung mancungnya, bukan berarti Ben tidak bisa mengenalinya. Sampai kapan pun sosok di depannya tidak akan pernah ia lupakan. Ia akan selalu ingat, meski bertahun-tahun lamanya. Lelaki itu seolah memandang cermin berukuran manusia di depannya. "Abe... Abraham...?" Kepala Abe mengangguk kaku. "Benjamin. Lama tidak bertemu." Setelah memastikan Anna aman dan telah diantarkan ke kediamannya, barulah kedua pria itu setuju untuk bertemu dalam sebuah ruangan tertutup. Berger satu-satunya yang hadir di sana dan tatapan pria itu tampak takjub ketika memandang dua orang yang ternyata identik di depannya. Ia hampir tidak bisa menemukan kesamaan di antara keduanya, jika tidak memperhatikan detail. Ruangan yang sunyi dipecahkan oleh Berger yang penasaran. "Kalian kembar?" Ben-lah yang mengangguk. Ia masih menatap Abe di depannya. "Abe lebih tua 5 menit dariku. Satu-satunya pembeda adalah warna rambut kami, dan juga tanda lahir di lehernya." Alis Berger berkerut dan ia memandang dua pria itu bergantian. Ia baru menyadarinya saat membandingkan keduanya secara langsung. "Oh! Rambutmu lebih gelap, Bram. Warnanya hitam legam, sedangkan Tuan Collins sedikit kemerahan." Sosok Abe masih terlihat kaku. Ia sama sekali belum bergerak atau memberikan respon terhadap pernyataan rekannya. Pria itu terlihat seperti robot. Setelah menunggu dalam kesunyian yang canggung, Berger tidak tahan lagi. Ia menatap Ben yang tampak jauh lebih ramah dari temannya sendiri. "Er, Tuan Collins. Saya tidak akan basa-basi. Sebenarnya, apa tujuan Anda mengundang kami? Meski kita adalah partner bisnis, tapi Anda sampai menghubungi 3x untuk memastikan bahwa kami akan hadir. Apakah ada suatu hal yang ingin Anda sampaikan langsung, tanpa melewati perantara?" Selama ini, mereka selalu melakukan kesepakatan bisnis lewat email atau pun perwakilan dari perusahaan masing-masing. Apalagi B2B-U perusahaan security berbasis IT, membuat mereka tidak harus bertemu dengan calon klien atau klien secara tatap muka langsung. Mereka dapat melakukan remote jarak jauh bahkan menerobos keamanan yang dibuat oleh tim internal IT perusahaan untuk membuktikan, bahwa sistem keamanan mereka perlu diperbaiki. Tentu saja hal ini sudah berdasarkan kesepakatan di antara kedua pihak. CNC adalah salah satu klien besar yang menggunakan jasa B2B-U, dan baru kali inilah keduanya berjumpa. Pertanyaan Berger tadi membuat mata Ben mengerjap. Ia bergantian melihat kedua tamunya dan berdiri. Tampak ia menghampiri sebuah lukisan yang tergantung di sana dan menggesernya. Terlihat sebuah brankas di baliknya, yang ia buka dengan menggunakan kode tertentu. Saat menghadap mereka lagi, pria itu memegang sebuah amplop berkas berwarna cokelat yang cukup tebal. Ia kembali ke meja dan meletakkan berkas berat itu di atasnya. Memandang dokumen di depannya, barulah Abe bertanya datar. "Apa ini?" "Itu adalah hasil penyelidikanku bertahun-tahun. Tidak banyak, tapi hanya itu yang bisa kudapatkan. Mereka yang aku sewa untuk menyelidiki menghilang misterius, atau menolak untuk membantuku. Ini bukan masalah uang, tapi ada sesuatu yang lebih besar. Lebih berkuasa." Ben terdiam sejenak. Dahinya terlihat berkilat saat pria itu mulai berkeringat padahal ruangan cukup dingin. "Apa maumu, Ben? Sampai memanggilku ke sini?" Menatap wajah Abe yang dingin, Ben menelan ludahnya. Nafasnya tercekat saat akhirnya ia memberanikan diri berbicara. "Aku bantuanmu, Abe. Aku butuh bantuan orang yang netral." Ekspresi Abe belum berubah. Ia masih terlihat datar dan dingin, sedangkan Berger sudah maju di kursinya. Pembicaraan ini sangat menarik untuk diikutinya. Ia selalu suka dengan tantangan. Juga marabahaya. "Apa maksudmu butuh bantuanku? Dan apa maksudmu dengan 'netral'?" "Ada seseorang yang mengancamku, Abe. Dan ancaman itu lebih dari sekali."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD