Chapter 11

1475 Words
"Hah?" Suara kekagetan dari lelaki berambut putih membuat seisi kelas menoleh padanya. "Maksud Bapak, besok saya harus turun ke Bumi lagi?" Lelaki paruh baya yang memiliki kumis tebal dengan nickname Bravo di dadanya menganggukan kepala, mengiyakkan perkataan muridnya yang baru saja berkata. "Benar, Raiga," kata Pak Bravo dengan tegas di depan kelas. "Kau akan ditugaskan lagi untuk turun ke Bumi, tapi, kau ke sana tidak sendirian seperti kemarin-kemarin." Seisi kelas terkejut, Raiga mendengarnya hanya menghela napas letih, lagi-lagi, sebuah tugas memaksanya untuk turun ke Bumi, padahal baru sebulan yang lalu dia telah menyelesaikan tugas sebelumnya, dan sekarang, ada tugas baru lagi. "Jadi, dengan siapa aku bertugas kali ini?" tanya Raiga dari bangkunya dengan memasang wajah datar, lelaki itu memiliki sifat tak peduli dan agak pemalas, karena itulah, kedataran dari mukanya sudah dimaklumi oleh semua orang. Pak Bravo tersenyum kecil, membuat kumis mungilnya menggeliat seperti ulat bulu, mengerikan sekali. "Orang yang akan ditugaskan bersamamu untuk melaksanakan tugas ini adalah Melios," ucap Pak Bravo sambil menggebrak meja paling depan yang diduduki oleh Melios sendiri, lelaki pendek berambut pirang yang mukanya seperti katak. "Kau tidak keberatan, 'kan? Raiga?" Mengetahui hal itu, Raiga malah menguap lebar, menahan rasa kantuk yang sudah mengusap-usap kepalanya. "Yah, aku tidak keberatan jika mengemban tugas bersama Si bocah cebol bertubuh pendek dan mungil itu, tapi aku khawatir kalau dia membenciku, soalnya--" "Bocah cebol bertubuh pendek dan mungil, kau bilang?" Sepertinya, Melios tidak suka dirinya disebut begitu oleh Raiga, buktinya, dia kali ini mengeluarkan cahaya mengkilau dari seluruh tubuhnya, yang menandakan bahwa dirinya sedang kesal, membuat seisi kelas memperhatikan si pirang. "Itu terlalu mengkilau, lho, Melios." Raiga menyeringai jahat dari bangkunya yang berada di paling belakang, sementara Melios langsung berdiri dari kursinya dengan perasaan jengkel yang menguasai tubuhnya. "Padahal, hari ini aku ingin meminta maaf padamu atas perbuatanku sebulan yang lalu, di saat kau ditugaskan untuk turun ke bumi pertama kalinya oleh Pak Bravo," kata Melios dengan menyaringkan suaranya, membuat seisi kelas mengheningkan suasana, agar suara dari si pirang terdengar jelas, bahkan Pak Bravo pun sebagai guru hanya bisa memandangnya. "Tapi, mendengar kau mengejekku, aku marah. Sepertinya kali ini aku harus mengurungkan niatku untuk meminta maaf pada keledai perak sepertimu!" Teman-teman sekelas Raiga terkejut mendengar Melios berkata demikian tanpa malu walaupun di depannya ada seorang guru yang masih berdiri. "Hah?" Raiga menyeringai. "Meminta maaf? Untuk apa kau meminta maaf padaku? Dan apa itu keledai perak? Spesies baru?" Kekesalan Melios sudah memuncak sampai ke ubun-ubun kepalanya, mukanya memerah, dan tubuhnya bergetar, kemudian, dengan usaha yang keras, dia akhirnya berani menolehkan pandangannya ke arah bangku paling belakang, lebih tepatnya, pada Raiga. "Raiga, kau ...," Melios keluar dari bangkunya, dan berjalan ke meja yang dihuni oleh lelaki berambut putih itu, setelah sampai, dia melepaskan satu sapu tangan dari jemarinya dan melemparkan benda itu tepat ke d**a Raiga. "Sebelum kita berangkat ke Bumi, aku ingin bertarung denganmu, maka dari itu, aku menantangmu!" "Bertarung?" ulang Raiga dengan wajah malas. "Untuk apa?" Baru saja Pak Bravo akan melerai mereka, Melios malah langsung membalas perkataan Raiga dengan suara yang kencang, membuat si kumis ulat bulu itu mengurungkan perkataannya. "Tingkahmu yang menjengkelkan membuatku kesal, Raiga! Padahal kau bukan lagi seorang malaikat gagal, tapi sikapmu masih menunjukkan kalau kegagalanmu sebagai malaikat masih terlihat!" Semua orang yang ada di kelas kaget mendengar itu, bagaimana dengan Raiga? Sepertinya dia biasa-biasa saja, malah saat ini, lelaki berambut putih itu sedang menguap lebar untuk ke sekian kalinya. "Baiklah, aku terima tantanganmu, Melios." Balasan yang diucapkan Raiga langsung meriuhkan seisi kelas, terutama Melios yang tubuhnya semakin gemetaran, karena sebenarnya, dia tidak ingin bertarung dengan Raiga. ☆☆☆ Karena bingung harus melakukan apa, akhirnya Pak Bravo malah menjadi wasit atas pertarungan yang akan dilakukan oleh dua muridnya itu. Sebagai guru, Bravo memilih lapangan sepak bola sebagai arena pertarungan antara Raiga dan Melios, karena tempatnya luas dan aman. Bravo berpikir kalau pertengkaran Melios dan Raiga ada baiknya juga, karena mungkin saja, setelah pertarungan selesai, mereka mau berbaikan dan menjalankan tugas bersama tanpa ada rasa benci yang menyelimuti hati dari dua bocah tersebut. Mereka telah sampai di lapangan sepak bola yang memiliki rumput hijau yang lebar, gedung-gedung sekolah berdiri kokoh mengelilingi lapangan, bahkan ada beberapa murid dari kelas lain yang menonton, sementara teman-teman sekelas Raiga lebih memilih mengamati pertarungan di pinggir lapangan. Raiga dan Melios telah berdiri di tengah lapangan, saling berhadapan, membuat semua penonton bersorak sorai. Pak Bravo berada di tengah mereka, sebelum guru itu memberikan perintah memulai, dia akan berkata satu dua patah kata terlebih dahulu untuk menyegarkan suasana yang memanas ini. "Kalian lihat," kata Pak Bravo pada Melios dan Raiga dengan nada yang tegas. "Semua orang sedang menonton pertarungan bodoh ini, aku sebagai wali kelas kalian, merasa terinjak-injak karena kelas yang kubimbing malah jadi seperti ini, sungguh memalukan." Melios menatap Pak Bravo dengan raut cemas. "Aku tahu ini memalukan, tapi ada alasannya aku melakukan ini, yaitu, agar Keledai itu menghormatiku sebagai temannya!" Mendengarnya, Raiga tersentak. "Bukankah aku selalu menghormatimu?" Pak Bravo langsung angkat bicara, agar Raiga dan Melios tidak bertengkar lagi di tengah-tengah lapangan yang panas ini. "Aku mengerti, baiklah, aku akan mengizinkan kalian untuk bertarung, tapi ingat, kita adalah malaikat, jadi, sudah wajar seorang malaikat tidak saling melukai, karena itulah, jangan terlalu kasar." Raiga dan Melios mengangguk mendengarnya, mereka paham atas kedudukannya sebagai malaikat, jadi sudah sepantasnya mereka tidak bertarung secara brutal, karena itu akan mencoreng nama baik dari seorang malaikat. "Baiklah! Pertarungan ini, dimulai!" seru Pak Bravo dengan menembakkan setitik cahaya terang yang berkilauan dari telunjuknya ke langit, membuat malaikat-malaikat yang menonton pertarungan itu bertepuk tangan riuh, memyambut pertandingan seru antara Raiga melawan Melios. ☆☆☆ "Wah! Yuna! Apa kabar?" Saat gadis berambut biru itu memasuki kelasnya, dia langsung dikerubungi oleh teman-teman sekelasnya, membuat dirinya merasa menjadi selebriti dalam sesaat. "Kudengar, kau berhasil menyelesaikan tugasmu di Bumi, apa itu benar?" Padahal sudah sebulan yang lalu, tapi mengapa mereka baru mengetahuinya, dasar aneh, pikir Yuna. "I-Iya, aku memang sudah menyelesaikan kewajibanku sebagai malaikat untuk membimbing para manusia ke jalan yang benar, tapi dari siapa kalian mengetahui itu?" Yuna agak khawatir karena dia tidak ingin ada orang asing yang seenaknya menyebar gosip tanpa sepengetahuannya, itu adalah tindakan yang keji, padahal mereka sama-sama malaikat. "Tentu saja kami mengetahuinya dari Tuan Claudio Geriz, malaikat elit tingkat sepuluh, katanya, kau tidak benar-benar membimbing para manusia, kau di Bumi hanya membuat masalah, 'kan? Kau juga melakukan hal itu bersama dua malaikat dari sekolah lain, 'kan?" Pipi Yuna langsung memerah seperti tomat setelah mendengarnya, dia tidak ingin mengingat momen-momen itu, tapi kenapa teman-temannya malah memaksanya untuk mengingat rangkaian peristiwa konyol itu. "Ma-Maaf, tapi sepertinya aku harus ke toilet sebentar," Yuna langsung bergegas pergi dari kelasnya, meninggalkan gerombolan temannya yang bertingkah seperti wartawan. Yuna tidak suka itu, dia tidak ingin mengingatnya, karena momen-momen saat berada di Bumi membuatnya rindu akan dua sahabatnya itu, Raiga dan Zapar. Brak! Dia masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya dengan kencang agar seseorang tidak sembarangan masuk. Kemudian, dia mendekati cermin, memandang pantulan dirinya sendiri di sana dengan sedih. "Raiga, Zapar, sedang apa kalian? Aku merindukan kalian." ☆☆☆ "Kuulang sekali lagi, kenapa kau tidak mengerjakan PRmu, Zapar!?" Seorang wanita paruh baya yang mengajar di kelas sedang menyentak salah satu muridnya yang tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. "Kau sudah kelas tiga SMP! Tapi sikapmu masih saja seperti anak-anak! Mau jadi apa kau nantinya, Zapar!?" Seorang lelaki berambut merah seperti landak, yang duduknya di pojok dekat jendela langsung tersenyum sombong, menampilkan raut kepercayaan diri yang bersinar. "Tentu saja aku akan menjadi seorang malaikat elit tingkat pertama, kawan?" ucap lelaki itu dengan menyisir rambut merahnya. "Dasar bodoh! Mustahil kau bisa menjadi malaikat elit jika PRmu saja tidak dikerjakan! Dan berhentilah memanggil gurumu dengan sebutan kawan!" bentak wanita itu, membuat suaranya menggema di kelas. Teman-teman sekelas Zapar hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah lelaki berambut merah itu, karena mereka memang sudah malas untuk menasehatinya. "Jangan berkata begitu, kawan," sanggah Zapar dengan tersenyum bangga, menatap wajah gurunya dengan sombong. "Seorang malaikat seharusnya tidak berkata kasar pada muridnya, bukankah aku benar, kawan?" BLETAK! Sebuah penghapus berhasil dilemparkan mengenai kepala Zapar, yang barusan melempar tentu saja guru wanita itu. "Berani sekali kau memancing seorang guru!" Wanita itu langsung merobek-robek buku PR milik anak-anak lain, membuat seluruh murid di dalam kelas terkejut. "Karena Zapar telah membuatku marah! Aku akan menghukum kalian semua! Kalau kalian kesal, salahkan saja pada teman kalian yang di sana!" Seluruh tatapan membunuh langsung diarahkan tepat ke arah Zapar, membuat lelaki itu kaget. "Hey, bukankah kalian itu malaikat? Ada apa dengan mata kalian? Mengapa aku jadi pusat perhatian?" BLETAK! BUAG! BELEDAR! Dan pada akhirnya, nasib dari malaikat berambut merah itu menjadi sangat tragis, mukanya babak belur seperti seorang pencuri yang ketahuan mencuri sandal. ☆☆☆ Sementara itu, di saat pertarungan antara Raiga melawan melios berlangsung, ada sesosok bayangan hitam yang mengamati kejadian itu dari atap gedung sekolah. "Rupanya, kau ada di sini, ya? Kuruga Raiga Bolton," ucap sosok itu dengan menyeringai jahat. "Sebentar lagi, kau akan kuhancurkan." BERSAMBUNG ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD