Chapter 21

1676 Words
"Apa maksudnya ini?" Rambut perak Raiga berjatuhan ke keningnya, terhempas angin yang berhembus dari timur, dia sedang berjalan sendirian, kedua kakinya tenggelam dalam timbunan pasir merah yang hangat. "Mengapa aku ada di tempat seperti ini?" Pupil matanya membesar, memandangi sebuah bangunan-bangunan kotak yang menjulang tinggi jauh di depannya, kepalanya menoleh ke belakang saat suara ombak terdengar, ah, jadi begitu, kini dia sedang berada di tepi laut. Sendirian. Laut yang membentang luas di belakangnya benar-benar membuatnya menarik napas panjang, Raiga tidak mengerti mengapa dia berada di tempat ini. Seingatnya, dia melompat ke dalam lubang para pendosa yang merupakan tempat khusus untuk melenyapkan para malaikat yang telah berbuat dosa, tapi bukannya lenyap dan mati, dia malah dikirim ke tepi laut yang sepi. Raiga memalingkan pandangannya kembali ke depan. "Dan sepertinya, bangunan-bangunan berbentuk kotak yang menjulang tinggi di depanku, adalah sebuah kota besar yang dihuni para makhluk hidup," Raiga menghembuskan napasnya dengan lemas. "Aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya ini bukan Surga, mungkinkah ini Bumi? Tempat tinggal para manusia atau alam yang lain?" Selagi pikirannya masih bertanya-tanya, Raiga memutuskan untuk terus berjalan melewati timbunan pasir merah yang menenggelamkan kakinya sampai akhirnya kedua kakinya terlepas dari pasir-pasir tersebut dan tergantikan oleh permukaan tanah yang datar. Kini Raiga menghentikkan kakinya, berdiri mematung di tempat yang dipijakinya. Rambut peraknya yang pendek dan berantakan terombang-ambing terbawa angin, kedua alisnya mengkerut disertai tatapan mata yang malas. Pakaian yang dia pakai sekarang adalah kaos putih dan celana panjang berwarna biru pekat. Raiga tidak habis pikir, setelah menjatuhkan diri ke dalam lubang para pendosa, ternyata dia masih bisa hidup santai di tempat seperti ini, padahal harapannya, dia ingin mati dengan tenang. Tapi nyatanya, harapan itu tidak terwujud. "Baiklah, mungkin aku tidak tahu, sedang ada dimana aku sekarang, tapi setidaknya, aku harus mencari cara agar aku bisa bertahan hidup di sini." ucap Raiga dengan santai, kedua tangannya dimasukkan ke kantong celananya, dengan gaya kalemnya, ia kembali berjalan mengikuti arah jalan setapak yang membentang lurus di hadapannya. Entah akan dibawa kemana dia oleh jalan ini, tapi lebih baik berjalan daripada berdiam diri di sini. Sayangnya, walaupun dia mengikuti jalan setapak ini dan terus berjalan, dia tidak menemukan apa-apa selain hamparan laut biru yang ombaknya beriak-riak, pepohonan pinus yang berdiri kokoh di setiap sisi jalan, dan pemandangan sebuah kota yang berkilauan jauh di depan. "Kurasa kedua kakiku ingin beristirahat, mustahil untuk kembali berjalan, aku sudah lelah." kata Raiga dengan tubuh yang loyo yang kemudian merobohkan pantatnya ke tanah, terduduk lesu di permukaan tanah yang kasar. "Membosankan sekali." Kepalanya didongakkan, memperhatikan hewan-hewan bersayap yang terbang bebas di atas langit biru, "Huh, enak sekali jadi mereka, bisa terbang bebas di langit, tanpa harus berjalan menggunakan kaki yang membuat lelah. Aku iri sekali, andai saja aku punya--Tunggu!" Setelah memandangi burung-burung tersebut selama beberapa detik, tiba-tiba dia mengingat sesuatu yang tidak disadarinya selama ini. "Bukankah aku punya sayap? Bodoh sekali, mengapa aku baru menyadari hal ini sekarang, malaikat macam apa aku ini sampai-sampai melupakan bagian tubuhnya sendiri." Lalu wajah Raiga yang tadinya malas dan lesu berubah menjadi lebih b*******h, bahkan senyuman tipis tercetak di bibirnya kali ini. Seorang malaikat sudah pasti memiliki sepasang sayap di punggung, itu bukan sebuah bualan, tapi memang benar dan tentu saja, wajar. Tapi, seorang malaikat pun punya kemampuan untuk menonaktifkan sayapnya agar tidak bisa dilihat oleh orang lain, hal ini bertujuan untuk menghindari segala masalah ketika beraktivitas sehari-hari. Kalian bayangkan saja jika sayap yang ada di punggung tidak bisa dihilangkan, mungkin untuk sekedar duduk di kursi saja, akan merepotkan sekali. Jadi begitulah alasan para malaikat lebih memilih mengaktifkan sayapnya ketika dalam situasi yang benar-benar penting saja. Kemudian, Raiga beranjak berdiri dan mengaktifkan sepasang sayap yang ada di punggungnya, dan ketika sayapnya muncul, warna biru yang menyala menyelimuti bulu-bulunya, yang menandakan dia adalah seorang Malaikat Pendendam. Dan asal kalian tahu, penyebab Raiga diperintahkan untuk masuk ke dalam lubang para pendosa adalah karena dia adalah seorang Malaikat Pendendam, yang konon, kekuatannya dapat menghancurkan seluruh Surga dalam sekejap, itulah mengapa sistem malaikat elit dibentuk, untuk berupaya melindungi kedamaian alam surga jika Sang Malaikat Pendendam kembali datang. "Bagus," Raiga mengepakkan sayapnya. "Terbanglah menuju kota itu!" Dan akhirnya, Raiga berhasil terbang dan langsung melesat ke lokasi yang ditujunya, saat keberadaannya menjauh dari tempat yang tadi dipijakinya, sesosok bayangan hitam tiba-tiba tampak di sana. Berdiri seperti sedang memandangi kepergian Raiga. "Kuruga Raiga Bolton, aku akan menghancurkanmu di sini, aku tidak akan gagal lagi seperti kemarin, hehehe!" ucap bayangan hitam itu dengan tawa yang terkekeh-kekeh. "Tapi aku cukup senang, setidaknya, kau belum tahu bahwa sekarang kau sedang berada di Neraka tempat para iblis tinggal. Dengan segala hormat, aku ucapkan selamat datang untukmu, wahai Malaikat Pendendam, hehehehehe!" Entah apa maksudnya si bayangan hitam itu berkata demikian, tapi sepertinya dia lah yang selama ini selalu menguntit dan mengawasi Raiga dari balik layar, sebenarnya, siapa dia?                                  *** "Hey, Nona! Nona! Nona! Bangunlah!" Seseorang menggoyang-goyangkan badan Yuna yang sedang terbaring di gumpalan salju yang dingin, karena merasa terganggu, akhirnya gadis berambut biru panjang itu membuka matanya lebar-lebar dan menegakkan badannya untuk bangun. "Eh?" Yuna terkejut saat melihat seorang pria bertelinga panjang, lebar, dan runcing sedang duduk di hadapannya. "Si-Siapa kau!?" Pria itu terlihat sumringah memandangi Yuna yang telah sadar dari tidur panjangnya, kemudian dia mulai menjawab pertanyaan gadis itu dengan semangat, "Oh, syukurlah! Kukira kau sudah tewas, maaf jika aku mengejutkanmu. Namaku Hill Yustard, aku hanyalah orang lewat yang kebetulan menemukanmu sedang terbaring diselimuti salju di bawah pohon gundul ini." "Kalau begitu, terima kasih telah membangunkanku, aku Zelila Yuna Birikawa, aku tidak tahu mengapa aku tidur di sini, tapi ngomong-ngomong, aku penasaran, mengapa bentuk telingamu runcing? Aku baru pertama kali melihatnya. Kurasa manusia tidak memiliki telinga seperti itu, malaikat juga tidak. Kau ini jenis makhluk apa?" Hill Yustard, seorang pria berambut putih panjang yang memiliki telinga panjang dan runcing tersentak mendengar pertanyaan dari Yuna, dia kaget karena gadis itu malah menanyakan hal yang tidak penting ketimbang sesuatu yang penting, tapi dia harus menjawabnya. "Telingaku? Bukankah semua orang telinganya seperti ini bahkan kau pun jug--Waah! Apa ini? Telingamu juga terlihat unik, apakah kau berasal dari Negeri Seberang?" Yuna benar-benar heran harus menjawab apa, karena pertanyaannya saja belum dijawab oleh Hill, tapi pria itu malah melontarkan pertanyaan yang serupa padanya. "Tidak-tidak! Telingamu yang unik dan aneh! Telingaku biasa-biasa saja, sama seperti makhluk-makhluk lain." "Menurutku, telingamu yang aneh, Zelila Yuna Birikawa, karena di dunia ini, semua orang memiliki telinga seperti punyaku, atau jangan-jangan... Kau bukan berasal dari dunia ini?" Tercengang, Yuna langsung melemparkan pertanyaan yang terlintas di pikirannya barusan, "Ini Surga, kan?" Yuna ingin memastikan situasi. "Aku masih di Surga, kan?" "S-Su-Surga katamu!?" Hill terperanjat, "Jika ini Surga, berarti kau sudah mati, Zelila Yuna Birikawa, tapi sayang sekali, ini bukan Surga seperti yang kau bayangkan, ini Rebula, dunia para Elf." Sungguh, setelah mendengar penjelasan dari Hill, entah mengapa, rasanya Yuna ingin sekali menampar dirinya sendiri untuk tidak terkejut. Tapi siapa yang bakal tidak kaget jika seseorang mengatakan kalau ini bukanlah dunia yang dia tinggali, melainkan dunia asing yang baru pertama kali dia dengar namanya. "Dunia para elf?" ulang Yuna dengan wajah yang tertegun, "Apakah makhluk yang bernama elf itu memiliki penampilan yang sama sepertimu? Bertelinga runcing?" "Tentu saja," jawab Hill. "Sepertinya kau bukan seorang elf, sebenarnya, dengan siapa aku berbicara saat ini? Apakah kau perwujudan iblis jahat?" nada suara Hill mulai serius. "Bukan! Aku bukan iblis!" sanggah Yuna dengan memekik. "Aku adalah seorang malaikat suci yang mencintai perdamaian! Sebelum berada di dunia Rebula ini, aku berasal dari Surga! Mungkin karena aku masuk ke dalam lubang para pendosa, aku jadi berakhir di sini." Hill membangunkan tubuhnya sendiri untuk berdiri tegap dan wajahnya yang sebelumnya ramah berubah menjadi bengis. Hill memelototi Yuna. "Malaikat katamu?" geram Hill Yustard dengan kesal. "Sebaiknya kau mengaku saja, kau tidak bisa menipuku, Iblis Sialan!" Yuna menjadi heran dan gelagapan saat melihat muka Hill yang terlihat menyeramkan. "Hey! Sudah kubilang, aku ini bukan Iblis! Mengapa kau tidak mau percaya padaku, Hill!?" "Jika kau memang bukan Iblis, buktikan padaku!" Dan akhirnya, keadaan Yuna jadi tambah rumit, dia tidak paham mengapa Hill tiba-tiba menyangkanya sebagai seorang Iblis dan tetap tidak mau percaya walau dia bilang berulang kali bahwa dia bukan seorang Iblis. Sepertinya kebencian Hill Yustard terhadap Iblis sangat besar. "Okay! Aku akan memberikan bukti padamu, Hill Yustard!" Yuna terpaksa mengaktifkan kedua sayapnya untuk memberikan bukti pada Hill bahwa dia adalah seorang malaikat. Dan saat Yuna berhasil memunculkan sayapnya, Hill hanya menatap Yuna dengan tatapan datar. "Sayap yang kau buat, aku tahu itu adalah sayap palsu." Mendengar hal itu, membuat Yuna semakin berang. "Terserah!" Lalu Yuna beranjak pergi dari hadapan Hill. Cuaca sebenarnya cerah, tapi bongkahan salju masih menimbun tanah hingga membuat permukaan daratan jadi serba putih dan menggumpal. Yuna kembali menonaktifkan sayapnya, dia berjalan pelan melewati gumpalan salju yang menggunung, gadis itu masih marah terhadap sikap Hill yang keras kepala. "Apa sih yang dia mau!? Mengapa dia menyangka aku ini iblis! Sialan! Sialan! Sialaaan!" Namun, saat Yuna mengomel-ngomel tidak jelas sendirian, seseorang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah terkejut. "Apakah itu kau, Yun?" Terdengar suara familiar yang tidak asing di telinga Yuna, dan ternyata benar, saat pandangannya tertuju pada orang yang berdiri di depannya, dia mencoba memastikan baik-baik apakah benar atau bukan dan hasilnya positif. Dugaannya tepat. "ASTAGA! ZAPAR!!" Yuna langsung berlari melompati gumpalan salju yang menghalanginya untuk menghampiri Zapar, lelaki berambut merah yang sedang berdiri di depannya. Kemudian mereka pun saling berpelukan dengan menggenggam erat tangan masing-masing sambil tertawa bahagia, karena mereka adalah sepasang sahabat. Setelah itu, Yuna dan Zapar melepaskan pelukan erat itu dan saling menatap. "Zapar, mengapa kita bisa berada di dunia asing ini! Apa kau tahu, barusan aku bertemu seseorang bertelinga runcing, dan dia bilang, dunia ini bernama Rebula, dunia para elf! Dan dia juga menyangka kalau aku ini adalah seorang iblis! Menyebalkan sekali!" Yuna merengek-rengek pada Zapar dengan memukul-mukul d**a lelaki itu, gadis itu terlihat kesal sekali. Zapar tertawa mendengar itu semua. "Wow, konyol sekali nasibmu, Yun!" Zapar tertawa terbahak-bahak. "Tapi syukurlah kau baik-baik saja, kawan!" "Baik-baik saja kau bilang?" Tiba-tiba Hill Yustard muncul di hadapan mereka dengan menggenggam sebuah pedang panjang yang sangat tajam. "Iblis seperti kalian, seharusnya mati saja!" Zapar dan Yuna terbelalak. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD