Lana memperhatikan Jeffrey dan juga seorang wanita paruh baya yang masih nampak muda di depannya. Amanda. Ibunya Jeffrey. Berpenampilan sederhana, tidak begitu mencolok, nyaris tidak terlihat seperti seorang ibu dari seseorang seperti Jeffrey. Namun meski begitu, dia sangat cantik. Dan Lana yakin, wajah mulus Jeffrey berasal dari ibunya ini.
Ah, tunggu! Bukan itu yang menjadi pusat perhatian Lana. Melainkan cara mereka berbincang. Mereka terlihat kaku. Sangat kaku untuk seukuran anak dan ibu kandung. Meski sesekali Jeffrey berusaha bicara santai, tetapi ibunya terlihat tidak tertarik. Dan itu membuat Lana bertanya-tanya perihal hubungan keduanya. Belum lagi dengan kehadiran Amanda yang hanya datang sendirian.
"Kenapa nggak dimakan?" Lana mengerjap, lantas mengangguk bodoh, terciduk sedang memperhatikan mereka. "Ibuku orang yang baik dan ramah. Nggak usah takut, hm?" Lelaki itu tersenyum tipis melirik ibunya, yang entah mengapa terlihat seperti sarkastik.
"Kamu hamil?"
Uhuk. Lana tersedak makanannya seketika mendengar pertanyaan dadakan dari Amanda.
Apa tadi? Hamil?
"Saya?" Lana menunjuk dirinya sendiri dengan mata membulat.
"Ya." Amanda mengangguk singkat. "Pernikahan kalian terkesan buru-buru."
Lana hanya bisa terkekeh sumbang, tidak mengerti harus merespon bagaimana. Hamil? Yang benar saja! Tapi jika diingat-ingat, hubungan mereka memang tidak seperti pasangan normal lainnya. Wajar orang-orang begitu heran dengan keputusan mereka. Lana saja sebenarnya masih mempertanyakan keputusan yang diambilnya tersebut.
"Ah, ayolah! Aku tidak sebejad itu untuk menghamili anak orang sebelum sah." Jeffrey tertawa santai. "Aku menikahi Lana cepat-cepat karena aku mencintainya. Dan, inilah caraku mencintai dan menghormati wanita."
Lana melirik Jeffrey dengan picingan tajam. Entah apa maksud dari kebohongan yang Jeffrey ciptakan saat ini. Namun mata kelam Jeffrey terlalu rumit untuk Lana selami. Terlalu banyak rahasia yang tidak bisa dia baca. Dan Lana membenci itu. Sungguh.
Akhirnya makan malam yang kurang nyaman itu berakhir. Sangat singkat, kurang dari satu jam, tetapi terasa amat alot bagi Lana.
"Lana."
Lana menoleh ke sisi kanannya, di mana Amanda berdiri, menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang tidak dia lihat sebelumnya.
"Saya tidak tahu kalian menikah atas dasar apa," gumam wanita itu, membuat Lana kelu. Dia tahu?
Lana menggigit bibir bawahnya seketika, berdiri tegang mencari keberadaan Jeffrey yang masih belum tiba. Ia berharap bisa pergi secepat mungkin sebelum mendengar pertanyaan dari bibir Amanda yang mungkin tidak bisa ia jawab. Tapi...
"Tolong jaga Jeffrey."
...satu kalimat yang diucapkan dengan nada tulus itu membuat Lana geming. Ia memfokuskan atensi pada kedua netra wanita di sisinya. Mencari jawab atas tanya yang bergelayut di benak. Tapi nihil. Lana buntu, tidak bisa menemukan jawaban apa pun.
Ketika tangan Amanda meraih tangan Lana dan menggenggamnya lembut, Lana benar-benar ingin pergi saat itu juga. Ia sadar, akan ada janji yang ditagih ketika melihat tatapannya. Dan Lana tidak bisa berhutang janji, apalagi perihal Jeffrey. Tapi entah mengapa, tubuhnya begitu kaku saat itu. Ia tidak bisa melepaskan tangannya dari genggaman ibunya Jeffrey. Sekadar memutus kontak mata saja Lana tidak mampu. Amanda bagaikan kutub magnet yang membuatnya tak bisa berkutik dengan tatapan tersebut.
"Jaga Jeffrey baik-baik. Cintai dia."
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi entah mengapa membuat Lana semakin bergeming bodoh. Merasakan sesuatu yang menikam jantungnya kuat-kuat ketika Amanda tersenyum kecil padanya.
Amanda menepuk pelan tangan Lana di genggamannya, dan bergumam sekali lagi, "Bahagiakan dia."
Kalimat-kalimat itu terus terngiang. Senyum beserta tatapan Amanda yang syarat akan permintaan yang tulus. Sial, itu begitu mengganggu Lana meskipun dia sudah pergi dari kediaman wanita itu.
Lana mencuri pandang pada Jeffrey yang saat ini sedang menyetir. Banyak pertanyaan menggantung di benaknya tentang laki-laki itu. Perihal apa yang dikatakan Yuna yang syarat akan sesuatu, perihal mengapa hubungan Jeffrey dengan ibunya bisa secanggung itu, dan perihal ke mana ayah pria ini.
"Kenapa natap saya terus? Saya makin ganteng?"
Lana mengerjap begitu Jeffrey bersuara tanpa melirik ke arahnya. "Ck. Orang tua kepedean," gerutunya sebal. Lantas membuang pandang dari wajah Jeffrey--yang sebenarnya memang benar-benar tampan.
Jeffrey tersenyum samar kemudian menghela napas berat. Membuat Lana gatal untuk menatapnya lagi, tetapi enggan.
"Kita belum ketemu Ayah."
"Ayah?" gumam Lana pelan. Dia kira ayahnya sudah tidak ada karena tidak menghadiri pertemuan tadi dan Jeffrey juga tidak pernah menyinggungnya. Ternyata, masih? Apakah Jeffrey anak broken home sama seperti Lucas? Batin Lana bertanya-tanya.
"Ya, mereka cerai. Pertanyaan itu yang mau kamu utarakan, kan?"
Tepat seratus persen, Bapak Jeffrey Elvano. Sepertinya dia ditakdirkan menjadi cenayang tampan, Lana membatin singkat.
"Orangtua saya cerai, sudah cukup lama."
Lana membuka mulutnya membentuk huruf O kecil ketika mendengar penuturan Jeffrey tersebut. Mungkin karena tidak menyangka bahwa Jeffrey memiliki kisah sedih di balik sikapnya yang bossy dan amat menyebalkan.
"Ayah tinggal di luar negeri untuk beberapa saat saat ini. Dia akan kembali sebentar lagi. Entah kapan. Mungkin, di hari pernikahan kita atau sebelumnya, saya tidak tahu."
"Saya juga tidak peduli." Lana menggumam setelah diam beberapa saat. Lalu berdesis ketika Jeffrey tertawa singkat mendengar penuturannya.
Gila, bukan? Memang. Lana saja tak habis pikir apa yang dia tertawakan.
"Lana."
"Hm?" gumam Lana singkat, tanpa menoleh, ketika Jeffrey menyebut namanya.
"Untuk hari itu..." jeda, Jeffrey menggantung ucapannya cukup lama sehingga membuat Lana menoleh.
"Hari itu?" pancingnya.
"Ah, tidak jadi."
Lana merotasikan bola matanya dengan malas. Rasanya amat menyebalkan saat seseorang memancing rasa penasaran kemudian pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sempat dia pancing sendiri. Sungguh.
Lana turun dari mobil lelaki itu dengan segera ketika mobil telah sampai di depan rumahnya. Tanpa menunggu bersalam-salam perpisahan dahulu, dia berjalan.
"Svetlana!" panggil Jeffrey di belakang.
Lana menghentikan langkah dan menoleh malas pada lelaki berlesung pipit itu.
"Satu bulan bukan waktu yang singkat. Jadi siapkan energi kamu untuk mengurus semua persiapan pernikahan kita nanti."
"Kenapa harus?" respon Lana datar.
"Karena memang harus." Jeffrey tersenyum. Dan sial, senyuman itu begitu menggoda iman Lana.
"Kamu punya banyak uang, tinggal tunjuk ini-itu, dan semua kelar."
"Dan kamu tidak akan protes apa pun nantinya?" Jeffrey menaikkan sebelah alisnya.
Lana diam, lalu menggaruk tengkuk. "Tidak, maybe."
"Minggu depan kita fitting baju pengantin dan mengatur desain undangan dimulai besok."
"Yap. Anda urus sendiri saja. Saya--"
"Kamu yang minta pernikahan ini cepat-cepat, Svetlana. Mohon kerja samanya. Saya jemput di kampus kamu besok pukul dua siang," ujar Jeffrey enteng. Lalu membalikkan badan pergi.
"Hei! Saya ada kuliah!"
"Kamu selesai sebelum jam dua."
"Aihs, penguntit sialan!" umpat Lana kesal. Sementara Jeffrey sudah masuk ke dalam mobilnya dan pergi begitu saja.
***