Dipermainkan

1058 Words
Lana adalah satu dari sekian banyak spesies yang sering bergerombol dan membuat keributan entah itu di kelas, koridor, kantin, bahkan perpustakaan. Tak mengherankan jika hampir semua orang mengenalnya. Tapi tidak banyak yang ingin berteman dengannya, terkecuali mereka yang sama-sama urakan. "ARLITA!" Dia memulai aksinya pagi ini. "Heh, toa banget buset lu, Svetlana!" tegur Stevan yang berjalan di sisinya menuju area kantin. Perempuan itu tidak mengindahkan protesan temannya. Tetap memasang wajah ceria menatap pada seorang gadis berkacamata yang lumayan cantik, tetapi gayanya sangat udik--di mata Lana. "Lita, cokelatnya gue ambil, ya? Lucas nggak suka soalnya!" teriaknya lagi. Mengangkat sebatang cokelat di tangannya agar gadis itu bisa melihatnya. Kemudian cekikikan sambil berlalu, tidak peduli dengan wajah memerah Arlita di sana. "Kenapa nggak diembat aja, sih, Cas? Lumayan dia pinter, bisa dimanfaatin," ujarnya seraya membuka bungkus cokelat tersebut dan duduk di salah satu kursi kantin setelah mengusir dua orang laki-laki dengan senyuman manisnya. "Nggak," Lucas menjawab. "Kalau si Tania?" Lana bertanya lagi usai menggigit cokelatnya. "Nggak juga." "Lucas being Lucas. Jangan-jangan, lo belok ke Moko?" "HEH, KAMPRET LO!" Gelak tawa Lana mengudara seketika itu juga. Wajah kaget dan kesal Lucas benar-benar hiburan untuknya pagi ini. "Agnes aja, Agnes. Gimana?" Lana kembali bersuara setelah menetralkan napas dan menghapus setitik air mata yang jatuh di sudut matanya, saking enak menertawakan Lucas tadi. "Ngga--" "Lo nyebut nama gue?" Baik Lana mau pun Lucas mendongakkan wajah, dan menemukan gadis bertampang datar yang berdiri di sisi mereka. Agnes. "Ah. Hai, Nona kesayangan dosen-dosen." Lana melambaikan tangan di depan wajah, tersenyum cantik pada sosok itu. "Kalau mau ngomongin kejelekkan orang lain, mending di depan wajahnya langsung. Bukan di belakang. Lo tahu, itu namanya orang munafik." Lana tergelak. "Hello, siapa yang ngejelekkin situ, sih, Non? Pede banget, heran." Agnes merotasikan bola matanya dengan malas, lantas berlalu duduk di bangku lain di kantin tersebut. "Lain kali jangan nethink-an, Neng. Nanti idup lo nggak bahagia!" decak Lana disisipi nada sarkas. "Lo sama si Agnes perasaan nggak pernah akur banget, sih, Na? Dari semester pertama, lho." Lucas menatapnya dan menatap Agnes bergantian. Lalu menggeleng pelan. "Abisnya dia ngeselin. Sok paling baik banget di dunia. Awalnya gue biasa aja, tapi sikap dianya itu lho, pingin tak hih!" "Iri kali, soalnya lo deket sama gue." Lucas tertawa. "Gue tabok juga muka lo pakai kanebo, Cas." Lana berdecak sebal. Tapi setelah jeda dua detik, dia menatap Agnes lalu Lucas. "Tapi, bisa jadi. Dia kayaknya suka sama lo. Kelakuan randomnya suka kumat tiap gue lagi dua-duaan sama lo aja gue lihat-lihat." "Jangan ngaco!" "Ih, kok ngaco?" "Udah, pesen makan aja buru!" "Sialan. Kok gue? Lo, dong, yang cowok. Gimana, sih?" Lana memasang wajah sebal di hadapan Lucas. Tapi tidak membuat lelaki itu luluh. Malah, "Memang lo cewek?" katanya, membuat Lana ingin memenggal kepala lelaki itu dan merebusnya di dalam panci selama dua hari dua malam sampai menjadi bubur. *** Hari ini seperti yang semalam Jeffrey katakan, mereka akan pergi untuk menentukan desain undangan. Entah mengapa rasanya hal ini sangat aneh bagi Lana. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah di usia semuda ini, dan dengan lelaki asing yang bahkan tidak dia kenal sebelumnya. Bukankah ini lucu? Terkadang Lana ingin menarik kata-katanya soal pernikahan ini. Tapi, ego yang besar terus menuntunnya untuk maju. Dan itu membuatnya stress sendiri. "Yang ini bagaimana?" tanya Jeffrey untuk ke sekian kalinya. "Terserah." Dan jawaban Lana masih sama sejak tadi. "Tapi kurang cantik." Dan Jeffrey yang ribet sejak tadi. Berkali-kali dia tanya pendapat Lana tentang pilihannya, berkali-kali Lana jawab terserah, berkali-kali pula dia mengganti pilihan. "Ribet banget dari tadi. Mau yang gimana, sih? Tuh, yang item abu aja. Bagus." Jeffrey menoleh padanya. Lalu tersenyum tipis. "Nah, begitu dong. Saya ajak kamu ke sini supaya kamu ikutan milih juga," balasnya. "Mas, kami pakai desain yang warna emas, ya." Lana berdecak sebal mendengar penuturan Jeffrey yang malah memilih desain lain. Dia hanya sengaja mempermainkannya, kan? "Sekretaris saya akan datang sebentar lagi. Dia yang akan lanjut mengurusi pesanan." Jeffrey lalu berjalan keluar dari tempat pembuatan undangan tersebut. Disusul oleh Lana yang benar-benar kesal setengah mati. Jika dia bisa mengurus ini sendirian, kenapa harus melibatkannya segala? Sungguh, Lana ingin mengeluarkan banyak kata-kata mutiara sejak tadi. Untungnya mereka hanya tertahan di tenggorokan. "Kita makan--" "Saya pulang. Tolong jangan hubungi saya." Lana memotong kalimat Jeffrey yang belum tersuarakan semua, lalu berjalan begitu saja, berlainan arah dengan Jeffrey. "Svetlana!" Jeffrey memanggil. Tapi Lana tidak peduli. Dia benar-benar ingin jauh dari laki-laki itu. Sungguh. Sebelum dia akan tinggal seatap dengannya, dan melihat wajah itu setiap hari, Lana ingin bebas sejenak. Lana ingin menghabiskan waktu sendirinya sepuas hati. Dan berpikir, apa yang harus dia lakukan untuk membalas sikap Jeffrey? Sementara itu, Jeffrey berdiri sambil memperhatikan punggung Lana yang menjauh, lalu hilang di balik taksi yang dia hentikan di depan. Senyuman laki-laki itu terbit, entah untuk alasan apa. "Baiklah. Nikmati waktu sendirimu saat ini, Svetlana. Nanti, setelah kita menikah, saya tidak mau tahu, kita harus selalu makan malam bersama. Saya tidak ingin makan sendirian lagi," monolognya pelan. Lalu laki-laki tersebut masuk ke dalam mobil dan memutuskan untuk kembali ke kantor menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. *** "Kalian sudah memesan desain undangan?" Lana menatap mamanya sejenak, lalu mengangguk pelan. "Sepertinya hubungan kalian sangat baik," lanjut mamanya yang nampak begitu bahagia. Belum pernah rasanya Lana menatap ibunya sebahagia itu ketika mereka bicara. Mungkinkah kepergian Lana usai pernikahan begitu dinantikan? Rasanya sesak. "Kenapa Mama sama Papa mau Lana nikah cepat-cepat?" tanyanya, menyuarakan apa yang benaknya pikirkan belakangan ini. Tidak ada jawaban selama beberapa waktu. Hingga akhirnya senyuman sendu sang mama hadir. "Kami cuma ingin kamu hidup bahagia, Sayang. Kami nggak mau kamu kesusahan." "Yakin hanya itu?" Lana tanya. Menyimpan sendok dan garpunya di piring. Lalu menatap ibunya lurus-lurus. "Kamu mau tahu alasan sesungguhnya?" Lana mengangguk. "Mama sama Papa khawatir sama kamu, masa depan kamu. Kamu nggak pernah dengar nasehat kami. Kamu masih clubbing, bolos kuliah, minum-minum. Mama dan Papa takut." Jeda selama beberapa saat. "Kami takut pergaulan kamu semakin nggak terkendali, Lana. Makanya kami segera menikahkan kamu. Supaya kamu berubah." "Kalau ternyata aku nggak berubah?" Hening. Tidak ada jawaban sampai Lana mengakhiri sesi makan malamnya dan beranjak pergi. Tapi sorot mata wanita paruh baya di meja makan itu membuktikan, bahwa ada ketakutan yang semakin besar di hati mereka akan masa depan putri semata wayangnya itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD