Nadira P.O.V
Sudah hampir jam 10 malam, aku tidak bisa memejamkan mataku sedikitpun. Padahal jika tidak ada pekerjaan biasanya aku cepat tertidur, karena aku memang tidak bisa tidur terlalu larut. Apa mungkin karena aku sekarang berada di tempat baru, dan terlebih bersama pria yang baru 5 hari aku kenal. Lebih tepatnya aku berkerja di perusahaannya sebagai sekretaris pribadinya.
Dari tadi setelah makan malam, aku melihat dia langsung membuka laptop miliknya. Dia masih sibuk mengerjakan pekerjaanya sampai sekarang. Dia masih betah duduk di sofa panjangnya. Tentu saja dimana lagi, dia sudah berjanji akan tidur disana, sedang aku di ranjang king size miliknya. Sebenarnya aku tidak nyaman, karena dia sebagai pemilik kamar, seharusnya aku yang tidur di sofa bukan dia. Tapi mungkin dia iba melihat kondisiku sekarang yang sedang sakit. Benar pasti seperti itu. Tidak mungkin karena ada alasan lain.
Aku bahkan belum melihat dia mandi, dan mengubah pakaiannya. Masih sama yang dia kenakan sejak tadi pagi bertemu klien. Padahal untuk seorang CEO yang memiliki perusahaan besar serta restaurant, tentu pasti ada banyak koleksi pakaian yang bisa dia pakai saat menginap disini, di kamar pribadinya ini.
Aku nampak gusar karena tetap tidak bisa tidur meski dipaksakan. Sesekali aku melihat CEOku yang masih betah duduk sambil mengetik. Dilihat dari sini, dia sangat gagah dan maskulin. Matanya berwana coklat keemasan, hidungnya sangat kokoh dan mancung untuk ukuran orang Indonesia, bibir seksi, serta bulu halus yang tumbuh disekitar rahangnya. Bu Fransiska pernah cerita, bahwa pak Reyhan keturunan blasteran Indonesia - Inggris. Bahkan kakeknya yang di London asli keturunan Turki. Pak Reyhan membuka jasnya, mengendorkan dasinya, membuka 2 kancing kemeja atasnya, dan melipat kedua lengan kemejanya yang panjang sampai siku. Wahh.. Sungguh makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna. Aku menggeleng kepala menyadarkan diri cepat, sebelum pak Reyhan tahu aku memandangnya dari tadi. Kenapa aku ini? Huhhft..
Aku melihat ke lain arah. Cairan infusku hampir habis, sebentar lagi bisa di lepas. Tapi, jika jam segini, dokter mana yang masih terjaga? terlebih ini bukan rumah sakit. Lalu siapa nanti yang akan melepas infusku? Ah, Bodo amat... yang penting aku tidur dulu. Aku tidak ingin besok terlambat kerja, gara-gara bangun kesiangan. Tidak lucu bukan, apalagi satu kamar dengan atasanku sendiri. Bisa jatuh harga diriku jika saat dia bangun, aku masih tidur.
"Kenapa kamu belum tidur? Ini sudah malam". Suara bariton yang khas terdengar tiba-tiba. Aku memilih diam, dan berpura-pura memejamkan mata.
"Tidak usah berpura-pura menutup mata. Aku tahu dari tadi kamu belum tidur. Suara nafasmu yang kasar terdengar jelas ditelingaku". Sial! Si Jalangkung dengar lagi. Gerutuku dalam hati.
"Ehm.. Saya tidak apa-apa pak, hanya belum mengantuk saja". Jawabku cepat. Malas berdebat dengan orang arogan seperti dia.
Aku melihat pak Reyhan menutup laptopnya dan meletakkannya di sofa. Dia berjalan perlahan mendekat ke arahku. Sontak membuatku terperanjat dari tidurku, dan duduk dengan ke dua tangan yang direntangkan kehadapannya. Pertanda pak Reyhan dilarang mendekat ke arahku.
"Pak Reyhan mau apa? Jangan macam-macam pak? Saya sudah bersuami". Dua lengan tanganku seketika kusilangkan di d**a memberikan pengamanan pada diriku.
Melihat tindakanku, dia menyeringai, dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku takut saat dia makin mendekat ke arahku. Sial! Jantungku berdebar saat aroma tubuhnya tercium oleh indra penciumanku.
"Tenangkan dirimu. Aku hanya akan melepaskan infusmu. Jangan berlebihan memikirkan hal yang tidak-tidak tentangku, atau kamu memang mengharapkannya hah". Aku mengerjapkan mataku saat pak Reyhan membisikkan kalimat tepat ditelingaku. Aku sungguh malu saat ku lihat pak Reyhan benar sedang membuka infus ditanganku. Aduh Nadira.. Kamu kepedean banget, mana mungkin pak Reyhan tertarik kepadaku. Mengingat wajahku pas-pasan dan aku juga telah bersuami. Aku menggeleng kepala cepat, mengenyahkan pikiran kotorku terhadapnya.
"Ehhm.. Nadira. Apa kamu merasakan sakit lagi? Wajahmu memerah lagi seperti tomat". Pak Reyhan menyeringai saat dia melihat wajahku memerah. Dia sepertinya tahu bahwa aku sedang memikirkannya lagi, sama seperti tadi sore. Sial! Tapi tunggu! aku? Sejak kapan pak Reyhan berbicara informal padaku. Biasanya dia memanggil dirinya dengan sebutan 'Saya' bukan 'Aku.
"Eh. Tidak kok pak. Saya tidak sedang memikirkan bapak. Mungkin karena efek sakit saat tadi bapak melepas jarum infus dari tangan saya". Ucapku mengelak.
Pak Reyhan diam tidak menjawab. Dia hanya menyungingkan smile evil-nya yang membuat jantungku berdetak tak karuran. Tuhan.. Cobaan apa ini.
"Pak Reyhan belajar dimana, sampai bisa fasih membuka jarum infus ini? dan, Perban yang bapak berikan untuk menutupi bekas jarum infus ini juga terlihat rapi. Bapak hebat". tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil melihat hasil karyanya di tanganku.
"Jelaslah aku hebat. Apa yang tidak bisa aku lakukan. Aku mahir segalanya. Tidak ada yang bisa menyamaiku".
Ini pria percaya diri sekali. Baru aku puji sedikit saja sudah mengagung-agungkan dirinya sendiri. Ckckck. Heran aku tuh. Batinku tak percaya pada sifat over PD si Jalakung.
"Hemm iya pak. Pak saya ingin bertanya lagi. Bapak kenapa tiba-tiba berbicara informal kepada saya, biasanya kan pak Reyhan tetap berbicara formal baik di dalam maupun di luar kantor". Aku sungguh penasaran sehingga aku memberanikan diri bertanya.
"Ya terserah aku dong. Aku atasanmu jadi aku berhak berbicara formal ataupun tidak kepada bawahanku. Termasuk kepadamu. Aku mau mandi. Jangan berani mengintip, atau kamu akan tertarik pada tubuh indahku". Mulutku menganga tak percaya mendengar ucapan si Jalangkung. Gila dia PD banget. Sumpah!.
---
Aku mulai memejamkan mataku, menarik selimut hingga d**a. Aku berharap secepatnya bisa tidur. Aku sudah lega tanganku tidak di infus lagi. Jadi aku bisa senyaman mungkin untuk bergerak.
Tes tes tes...
Aku merasakan seperti ada tetesan air yang menyentuh kulit wajahku. Aku mengerjapkan mata perlahan.
"PAK REYHAN?" Aku terkejut saat melihat pak Reyhan berada dihadapanku. Menunduk melihat ke arahku dengan rambut basahnya mengenai wajahku. Dia menyeringai lagi. Aku langsung terperanjat dari tidurku dan berdiri menjauhi pak Reyhan.
"Ba-bapak mau apa? Kenapa bapak tidak memakai baju?" Sumpah. Dia gila. Dia hanya memakai handuk putih yang melilit dipinggangnya. Aku tahu dia baru selesai mandi. Tapi masak iya tidak berganti pakaian, dan malah melenggang keluar dengan berbalut handuk saja. Aku menelan ludah kasar saat ku lihat tubuh kekar pak Reyhan dengan perut sixpacknya. Astaga. Dia sangat tampan. Sial! Aku mengumpat dalam hati. Tak bisa ku percaya, aku mengagumi ketampan dan tubuhnya yang sexy dan kekar. Benar kata pak Reyhan, tubuhnya memang indah. Pantas saja dia sePD itu, karena selama ini aku hanya melihat dia di kantor dengan setelan jas formal pas body. Jadi menutupi tubuhnya yang ternyata kekar. Nyebut Nadira. Ingat suami di rumah. “Mas Fahmi maafkan aku”. Lirih Nadira. Pikiranku tak karuan.
"Sudah selesai miss memandang dan menikmati tubuh indahku hh?". Aku baru sadar jika dari tadi mataku terus menatap tubuh pak Reyhan. Dia seakan mengerti dan tersenyum licik. Dasar jalangkung.
"Eh.. Anu pak..
"Sudah. Lebih baik sekarang kamu mandi dan pakai baju yang sudah aku berikan tadi. Bajumu yang kamu pakai sekarang taruk di tempat pakaian kotor yang ada di samping kamar mandi, dan handuknya ada di lemari kecil dekat wastafel.
Aku mengangguk paham, dan cepat berlalu ke kamar mandi, yang tadi sudah ditunjukkan oleh pak Reyhan. Aku berjalan di lorong kecil, kamar ini sungguh besar dan mewah. Dengan d******i warna putih dan pastel, yang menurutku warna ini sangat tidak cocok dengan kepribadiannya yang dingin dan angkuh. Apa mungkin atasannya itu menyukai warna pastel. Tidak terlalu lama, aku sudah berada di dalam kamar mandi. d******i warna putih dan hitam, dengan shower dinding kaca, bak mandi yang elegan, meja wastafel dengan kaca yang besar. Aku lebih takjub lagi dengan lemari kamar mandi nuansa pastel yang cute sekali. Jika ini kamarku, aku akan memilih berendam di bak mandi itu, sambil menutup mata melepas penat. Tapi nyatanya bukan, jadi aku harus tahu diri. Sadar Nadira. Bangunlah dari mimpi.
Aku buru-buru mandi karena ini sudah hampir larut malam. Tadinya aku tidak ingin mandi, dan cuci muka saja, tapi untungnya shower ini bisa mengeluarkan air hangat juga. Sangat nyaman.
Aku memilih handuk warna pastel untuk mengeringkan tubuhku. Aku mulai mencari-cari pakaianku yang katanya pak Reyhan sudah disiapkan. Tapi mana? Kok tidak ada? Aku terus mencari hingga aku sadar akan sesuatu.
“Sial! Bukankah pakaian itu masih di paper bag”. Nadira mengingat kembali saat salah satu karyawan Reyhan membawa dan meletakkan paper bag di atas sofa tadi sore. Aduh apa yang aku harus lakukan? Batinku tak karuan.
Aku membuka lagi lemari kamar mandi yang berisi banyak handuk. Beruntung aku melihat kimono handuk yang masih terlipat dengan rapi.
“Astaga. Kecil sekali!” Aku tak percaya kimono yang aku pakai sangat kecil bahkan diatas lutut.
“Ini khusus anak-anak apa gimana?” Lirihku kesal. Aku mencari lagi berharap menemukan kimono lagi yang lebih besar. Dan, Nihil! Tidak ada lagi. Matilah aku.
Aku terpaksa berjalan keluar dengan mengendap-endap berharap pak Reyhan sudah tidur, sehingga aku bisa aman untuk keluar mengambil pakaian baru yang ada di sofa. Aku tidak melihat ada pak Reyhan di sofa, melihat diranjang juga tidak ada.
“Syukurlah”. Batinku. Aku langsung berjalan ke arah sofa dan mencari paper bag itu.
“Mana sih kok enggak ada? Perasaan tadi sore karyawan itu naruk paper bag di atas sofa”. Aku terus mencari di sekitar sofa, meja, hingga ke kolong tempat tidur.
AAAAAAAA.......... Grepp..
Tubuhku hampir terpental ke kasur saat aku mulai berdiri dan membalikkan badan. Lengan kekar pak Reyhan merengkuhku dan menarik pinggangku agar tidak terjatuh. Sungguh diluar dugaan. Pak Reyhan masih berbalut handuk di pinggangnya seperti tadi. Mata coklatnya menetap lekat manik-manik mataku. Aku sungguh gugup saat tanganku menyentuh d**a bidang pak Reyhan yang setengah telanjang.
“Ma-maaf pak, bisa bapak lepaskan tangan bapak dari pinggang saya?” Posisi kita masih sama tidak bergeming.
“Kamu sudah aku tolong. Bukan terimakasih malah judes. Oke, baiklah!”.
Tanpa aba-aba pak Reyhan langsung melepas sambil menarik tali kimono yang sedari tadi terlilit di pinggangku.
Aku terpental ke ranjang king size miliknya dengan kimono yang tersingkap ke atas.
Sungguh aku sangat malu, saat tubuh polosku terlihat oleh pak Reyhan.
---
Author P.O.V
Dua gundukan besar di d**a Nadira sontak membuat bola mata Reyhan membulat. Tubuh mungil sedikit gempal itu menambah keseksian Nadira. Reyhan semakin melongo saat matanya turun melihat area sensitif Nadira yang tidak memakai sehelaipun. Reyhan menelan ludah dalam-dalam.
Nadira langsung menutupi tubuh polosnya lagi saat tersadar kimono yang dipakai tersingkap dan terlihat oleh Reyhan.
“Ma-maaf pak, saya kesini mencari paper bag berisi pakaian baru yang karyawan bapak beli untuk saya tadi”. Nadira langsung berdiri dan menunduk malu. Sungguh ini sangat memalukan bagi Nadira.
“Pakaian itu sudah aku pindahkan ke ruang ganti, dan perlu kamu tahu, baju itu memakai uangku, mereka hanya aku suruh untuk membeli”. Reyhan kembali menelan ludahnya dan berusaha mengalihkan pandangan ke tempat lain.
“Ba-baik pak”. Nadira membenarkan kimononya, melilitkan dengan erat tali kimono itu agar tidak lepas lagi.
Reyhan yang masih berdiri mematung, tidak sengaja lagi melihat dua gundukan d**a Nadira yang padat meski sudah berbalut kimino, karena kimono yang dipakai Nadiri sangat tipis.
Cuppppp.... Reyhan mencium bibir Nadira saat pikirannnya mulai menggelap seketika.
“Emmmh.. pak Reyhan, Lepas.. Emmmh...” Nadira berusaha memberontak, tapi tidak bisa. Tangan besar Reyhan semakin mempererat pinggang ramping Nadira.
“Pak lepas! Emmmmh.... “ Reyhan terus membungkam, dan melumat bibir Nadira dengan bibirnya.
Nadira terus memberontak hingga mereka berdua jatuh ke atas kasur, dengan posisi atas bawah.