Dia Berbeda

1845 Words
“dan, pak Reyhan tidur dimana?” tanya Nadira bingung bercampur cemas. Mendengar pertanyaan Nadira, Reyhan tiba – tiba menyeringai dan mendekatkan wajahnya ke telinga Nadira. “Bodoh! Ya disini juga lah. Ini kamar saya, jadi sudah jelas saya akan tidur disini”. “APAAA...” Nadira kaget tak percaya. “b-bagaimana mungkin.. “  ***  Reyhan P.O.V Aku tahu ini salah. Tapi perasaanku tidak bisa aku tahan terlalu lama. Ini hanya beberapa hari sejak pertemuanku dengan Nadira. Tetapi rasa ini malah semakin menjadi. Aku bahkan menggunakan cara-cara licik agar aku tetap bersamanya. Memanggilnya setiap pagi ke ruanganku untuk mengerjakan berkas, memberikan PR sebelum pulang kerja, agar waktu bersama suaminya berkurang, dan bahkan seperti sekarang, sengaja mengundurkan jadwal pertemuan dengan klien keduaku, agar waktuku bersama Nadira lebih lama. Aku bukan bahagia melihat Nadira pingsan tadi, aku juga tidak tega dia sakit. Akan tetapi hal itu seakan membuat takdir berpihak padaku untuk tetap lebih lama bersamanya. Sebenarnya memang masih ada waktu untuk bertemu klien kedua saat Nadira sadar tadi, tapi entah pikiran gelap darimana hingga mulutku berucap demikian. Sejak aku tahu Nadira telah memiliki suami, aku berusaha menahan agar jangan sampai menyentuhnya karena aku menghormatinya sebagai istri orang. Tapi meski begitu, dengan menikmati waktu bersama dia saja aku sudah bahagia. Bukankah aku licik? Ya tapi mau bagaimana lagi. Aku menginginkannya. Aku ingin dia bersamaku selalu. Nadira... aromamu membuatku candu. Aku ingin menyentuhmu. ---   Author P.O.V   Tok tok tok.. Suara kentukan pintu memecah ketegengan Reyhan dan Nadira yang sedari tadi masih saling bertatapan. Nadira masih berusaha mencerna ucapan atasannya yang mengatakan bahwa mereka akan tidur di kamar yang sama. "Masuk!" perintah Reyhan dengan wajah masih menatap Nadira dari jarak dekat. Nadira tertunduk malu saat salah satu karyawan masuk ke kamar itu. "Pak Reyhan. Pakaian baru untuk ibu Nadira sudah siap, dan ini obat salep untuk kaki ibu Nadira". Ucap karyawan tersebut seraya memberikan salep dan beberapa pakaian merek ternama dari brand terkenal. Pakaian itu masih rapi di dalam paper bag warna coklat. "Oke. Letakkan di sofa! dan keluarlah!" Perintah Reyhan dengan masih menatap Nadira tak bergeming. Sedangkan Nadira masih dalam keadaan menunduk. Karyawan tersebut menuruti perintah Reyhan dan segera berlalu keluar dengan sapaan hormat terlebih dahulu. Tarikan nafas lega lolos dari bibir Nadira, saat tahu atasannya sudah tidak berada di dekatnya lagi. Dia pergi ke arah sofa. Akhirnya CEO angkuhnya itu sudah tidak menatapnya lagi. Sungguh kelakuan Reyhan membuat Nadira tidak nyaman. Entah ada perasaan yang berbeda di hati Nadira saat atasannya yang paling dia benci tiba-tiba merengkuh pinggangnya seperti tadi, dan berbicara sangat intens di hadapannya. Ada yang mengganjal di benak Nadira, pakaian?  Buat apa Bos besarnya itu membelikan pakaian untuk Nadira. Nadira menggeleng kepala pelan saat melihat banyaknya pakaian yang dibeli oleh karyawan Reyhan. Nadira tidak menghiraukan Reyhan yang tengah sibuk membuka beberapa paper bag yang ada di atas sofa. Dia nampak mencari sesuatu. dan Nadira tidak peduli itu. Dia hanya memikirkan suaminya yang dari tadi menelpon tidak henti-hentinya. Hingga telepon itu tidak berbunyi lagi karena terlalu lama tidak diangkat. Setelah handphone Nadira berada di tangannya, ia memutuskan untuk menghubungi kembali suaminya, karena beberapakali suaminya menelpon tapi tidak juga diangkat. Tut... Tut.. [Hallo Nadira sayang.. Kamu dimana? Kamu baik-baik saja kan? Kenapa tidak menghubungiku?] tidak membutuhkan waktu lama untuk sang penerima mengangkat telfonnya. Nada khawatir terdengar jelas dari seberang telfon dimana itu Fahmi suami Nadira, yang sedari tadi gelisah menunggu kabar dari istri tercintanya. "Maaf mas Fahmi, Nadira baru menghubungi mas sekarang. Saat sampai, Nadira tadi langsung bertemu klien bersama atasan Nadira, karena klien telah menunggu lama mas. Jadi Nadira lupa untuk menghubungi mas Fahmi. Mas Fahmi tidak marah kan?" Jelas Nadira dengan nada memelas. Berharap suaminya tidak marah. [Iya tidak apa - apa sayang. Mas ngerti kok, mas hanya cemas karena kamu tidak ada kabar. Kamu sudah makan? Kamu sehat kan? Jam berapa nanti pulang? Biar mas jemput ke kantormu] Mendengar pertanyaan suaminya, Nadira semakin resah, dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana tentang keadaanya sekarang, serta rencana kepulangnya yang diundur besok siang. Dia benar-benar bingung. "Nadiraaa.. Tidak apa-apa kok mas, baik-baik saja disini. Nadira juga sudah makan. Mas Fahmi ada hal penting yang harus Nadira sampaikan ke mas". Ucap Nadira hati-hati [apa itu sayang?] [Bicaralah jangan takut. Jangan membuat mas khawatir] Fahmi bisa mendengar suara Istrinya yang berubah, seperti membunyikan sesuatu. Nadira mulai menghela nafas dalam-dalam. Seraya menghirup oksigen banyak untuk menenangkan pikirannya. "Mas Fahmi sayang, sepertinyaaa.. Nadira ti-tidak bisa pulang malam ini mas. Kerjaan Nadira belum selesai. Klien kedua yang harus ditemui hari ini, tiba-tiba membatalkan janji karena ada urusan, dan diundur besok pagi. Jadi, Nadira pulang setelah besok selesai bertemu klien mas". Nadira menelan salivanya dengan berat. Seketika pening menyelimuti kepalanya lagi. [Apa?? Kenapa bisa? Jika memang seperti itu kenapa tidak pulang dulu, baru besok kesana lagi. Biar mas jemput ya?] "Jangan mas. Tidak perlu. Ini Nadira juga masih ada kerjaan kok sekarang, masih ngrekap hasil meeting yang pertama. Nadira gak bisa pulang mas, karena kliennya bisa ditemui besok pagi-pagi sekali. Sedangkan untuk pulang terlalu jauh. Jadi biar sekalian tidak bolak-balik lagi. Tapi mas tenang saja, Nadira menginap di tempat yang aman kok. Atasan Nadira memberikan tempat tidur private sendiri untuk Nadira. dan disini banyak karyawan perempuan kok. Jadi aman". Mendengar ucapan Nadira, Reyhan seketika menoleh ke arah Nadira, seakan tidak percaya jika wanita yang menurutnya lugu, bisa pandai berbohong juga. Reyhan seakan mencibir ucapan Nadira tapi tidak terlalu jelas di dengar. Nadira yang sadar akan tatapan tajam dari atasannya, mengalihkan pandangan ke arah lain. Nadira tidak peduli pandangan Bosnya kepada dirinya. Yang dia pikirkan agar suaminya tidak salah paham dan tetap positif thinking terhadap istrinya, karena memang Nadira akan selalu menjaga kepercayaan suaminya itu dengan tidak macam-macam di luar. Hening. Tidak ada jawaban dari seberang telepon. Nadira semakin khawatir. Takut suaminya kecewa kepada dirinya, dan memikirkan hal yang tidak-tidak tentang dirinya. "Hallo.. Mas Fahmi, Hallo.. Sayang.. Mas Fahmi masih disana kan? Hallo.." Nadira semakin khawatir tidak ada respon dari suaminya. [Iya sayang. Mas masih mendengar kok. Jujur mas khawatir. Ini pertamakalinya kamu pergi jauh tanpa mas. Tapi, apa boleh buat. Kerja adalah pilihanmu. Cita-citamu yang tak terbendung membuat mas tak bisa berbuat apa-apa. Meski tidak rela. Mas tetap ijinkan. Kamu harus jaga diri disana. Mas percaya padamu] Ada nada sedih dari Fahmi, yang membuat Nadira semakin merasa bersalah karena telah berbohong, terlebih tentang keadaannya yang sekarang sedang di infus. Tapi mau bagaimana lagi. Jika suaminya tahu dirinya sakit, Fahmi pasti akan menjemputnya. Nadira tidak mau membebani suaminya, dan membuatnya tambah khawatir. "Iya mas. Nadira pasti jaga diri kok. Kepercayaan mas, akan Nadira pegang teguh. Mas jaga diri juga disana ya. Nadira sayang sama mas. I love you" Seorang lelaki yang sedari tadi mendengar percakapan suami istri dari balik sambungan telepon membuat dirinya terbakar api cemburu. Apalagi saat wanita itu mengucapkan kata-kata manis kepada suaminya, membuat lelaki itu tidak terima, raut wajah jengkel sangat terlihat dari wajah tampannya. Siapa lagi kalau bukan orang yang paling Nadira benci, Reyhan Hadi Mahendra. Panggilan telepon diakhiri dengan kata-kata manis dari pasangan suami istri tersebut. Nadira sangat lega tidak marah. Dalam hati Nadira, dia berjanji akan memegang teguh kepercayaan suaminya pada dirinya. Nadira sedikit memejamkan matanya untuk bernafas lega, masih dengan keadaan duduk di tempat tidur king size milik Reyhan. "Pak Reyhan. Ngapain pak? Lepas!" Nadira kaget saat Reyhan tiba-tiba duduk disampingnya dan memegang kaki Nadira dan ditempatkan di paha Reyhan. "Diam jangan bergerak! Saya hanya akan mengoleskan salep pada kakimu yang bengkak. Jangan berfikir yang macam-macam". Ucap Reyhan dengan nada datarnya. "Tidak perlu pak Reyhan, saya bisa melakukannya sendiri". Bantah Nadira seakan ingin menurunkan kakinya dari paha Reyhan. "Bisa tidak gak usah ngebantah? Kamu ini kebiasaan. Selama berada disini kamu adalah tanggung jawab saya. Jadi kamu harus nurut. Jika kamu tidak ingin saya pecat. Oh ya. Satu lagi. Saya akan tidur sofa jadi kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menyentuhmu". Titah Reyhan dengan tegas. Ada perasaan lega di hati Nadira, saat mendengar ucapan atasan angkuhnya. Setidaknya untuk tidur Nadira tidak akan khawatir lagi, meski begitu masih ada sedikit was - was karena tetap saja mereka akan tidur di satu atap yang sama. Semoga kekhawatiran Nadira tidak terjadi. Kruk krukk... Bunyi perut Nadira terdengar lagi oleh Reyhan. Nadira langsung memegang perutnya yang bunyi hingga membuatnya tertunduk malu. Reyhan langsung mengambil gagang telfon yang ada di nakas samping Nadira. "Cepat bawakan makanan kesini!" Lagi-lagi Reyhan peka saat mendengar bunyi perut Nadira yang keroncongan. Reyhan sudah selesai memakaikan salep di kaki Nadira yang bengkak. Nadira sangat takjub melihat betapa lembutnya saat tangan Reyhan menyentuh kaki Nadira. Entah apa yang dipikirkan Nadira hingga membuat dirinya menggeleng cepat kepalanya. "Kenapa kamu? Menggeleng kepala? Sakit? Atau terpesona dengan saya?" Reyhan memecah lamunan Nadira. "eh.. Tidak apa-apa pak". Nadira menampik ucapan Reyhan. Mendengar pertanyaan terakhir Reyhan wajah Nadira merah seketika, seakan dia ketahuan jika sedang memikirkan atasannya itu. "Bohong! Wajahmu merah". "Sungguh pak Reyhan. Saya tidak memikirkan bapak kok". Ucap Nadira cepat sedikit meninggikan suara tidak terima. "WHAT? Tidak memikirkan saya? Padahal saya bilang  wajahmu merah, karena saya berfikir kamu masih merasakan sakit, tapi kamu berbohong dengan bilang baik-baik saja. Tidak terpikirkan dengan pertanyaan saya yang terakhir". "Ooo... Jadi benar kamu memikirkan saya". Seringai tajam dari Reyhan, mendekatkan wajahnya ke arah Nadira yang tiba-tiba membuat Nadira gelagapan untuk mengelak. Wajah Nadira semakin memerah. Perasaan aneh tiba-tiba menggelitik hati Nadira. --- Disisi lain para karyawan restaurant tengah saling berbisik disudut ruang dapur. Mereka tidak percaya, saat atasannya pak Reyhan membawa wanita ke dalam kamar pribadinya. Padahal selama ini, Boss besar pemilik restaurant itu terkenal sangat dingin pada wanita, bahkan tidak pernah tersenyum. Hingga mereka pernah mengira boss-nya itu gay, penyuka sesama jenis. Apalagi saat melihat betapa dingin perlakuan boss besarnya kepada mantan tunangannya dulu. Benar-benar semakin memperkuat dugaan mereka tentang atasannya itu. Tetapi sekarang. Seakan disambar petir, mereka tidak percaya tentang apa yang baru saja mereka lihat. Apalagi ketika melihat raut wajah khawatir sang atasan saat menggendong wanita yang pingsan tadi. Benarkah itu atasannya. Ada hubungan apa atasannya dengan wanita itu? "Sudah..sudah.. Jangan bergosip. Lebih baik antarkan makanan ini ke kamar pak Reyhan". Intrupsi sang manajer membuat karyawan tadi diam seketika. Mengangguk patuh dan langsung membawakan makanan ke kamar atasannya itu. --- "Aaaa... Ayok dimakan? Tanganku pegal jika kamu diam tidak membuka mulutmu". Suara Reyhan memecah ruangan saat  ingin menyuapi makanan ke dalam mulut Nadira, tapi sang pemilik tubuh masih enggan membuka mulut, membuat Reyhan semakin kesal. "Pak Reyhan, Saya bisa makan sendiri. Tangan kanan saya masih berfungsi dengan baik pak". Entah apa yang dipikirkan Boss angkuh itu, membuat Nadira heran dengan tingkah laku Reyhan atasannya. "BISA TIDAK JANGAN MEMBANTAH. Kamu mau saya pecat. Saya sudah bilang kan, bahwa selama kamu sakit, saya yang akan mengurusmu. Jadi turuti apa kataku. Sekarang, buka mulutmu, atau saya tidak akan memberikanmu makan sedikitpun". Perintah Reyhan tak terbantah. Membuat Nadira semakin geram dengan ucapan Reyhan. "Dasar jalangkung, Angkuhnya semakin menjadi-jadi. Aku harap, ini infus segera terlepas, dan aku harap, hari esok segera datang". Batin Nadira semakin geram saat melihat cairan infus tak kunjung habis. Dia benar-benar tidak nyaman dengan perlakuan Reyhan kepadanya. Baginya, ini terlalu berlebihan. Nadira memutar mata malas, sambil menuruti kemauan CEO angkuhnya itu.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD