Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang.
Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai.
"Kamu kenapa?"
Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur.
"Luka," jawabnya sesegukan.
"Bentar, om ambilin plester."
Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya.
"Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah lima tahun yang menangis karena balonnya diambil.
"Kamu ngapain main pisau segala? Biasanya gak pernah ke dapur juga."
Kali ini gliran Nero yang memarahinya. Gantian, biar seri. Satu sama.
"Aku mau masak mie. Aku lapar."
Suara rengekan Tania kali ini mirip seperti anak kecil yang ketahuan oleh ibunya sedang mencuri-curi bermain pisau di dapur.
"Kan bisa delivery. Ngapain juga masak? Biasanya kalau laper kamu kabur-kabur aja beli di luar," tanya Nero menyudutkan. Lelaki itu seperti seorang polisi yang sedang meng-interogasi seorang tahanan.
"Aku maunya indomie rebus pake sayur," jawab gadis itu dengan manja. Saat bicara saja bibirnya sengaja ditekuk begitu.
"Kenapa kamu enggak bangunin om?" tanya lelaki itu sedikit emosi.
Nero begitu panik saat melihat kondisi istrinya. Sementara itu, Tania masih meringis kesakitan dengan mulut yang meniup bagian luka.
Tania menatap suaminya dengan gamang, hendak berucap tetapi lidahnya kelu. Dalam hati gadis itu begumam, tentu saja dia tidak mau masuk ke kamar Nero. Dia takut.
"Kalau kayak gini, mulai besok Bik Ijah datang ke sini."
Nero mencoba membujuk Tania. Dia tidak tega melihat istrinya harus kerepotan di dapur, karena sejak kecil memang tidak pernah melakukannya.
"Jangan!" jawab gadis itu cepat.
Sikapnya benar-benar membuat Nero begitu geram. Setiap kali Tania membantah ucapannya, lelaki itu ingin menjewer kupingnya agar mau mengerti.
"Udah, jangan bantah!" Nero balik membentak. Lama-lama dia kesal juga.
Mendengar nada amarah Nero, suara tangisan Tania makin menjadi. Gadis itu sengaja terisak agar suaminya menjadi iba.
Setelah menikah, Nero membawa Tania tinggal di rumahnya. Itu juga atas permintaan Bram. Walaupun kepindahan mereka itu mirip seperti drama sinetron, penuh dengan derai air mata. Gadis itu awalnya tidak mau tinggal berdua saja dengan suaminya.
Bram meminta Ijah, pengasuh Tania sejak kecil diikut-sertakan. Namun, gadis itu menolak karena tidak mau ada orang lain di rumah Nero. Dia khawatir ada yang mengadu kepada sang papa karena tidak mau sekamar dengan suaminya. Semua orang dibuat bingung dengan sikapnya yang masih labil.
Selama ini Nero selalu mengirim sejumlah uang yang cukup untuk kebutuhan Tania sehari-hari. Itu di luar pemberian Bram yang dia tidak tahu berapa jumlahnya.
Untuk makan sehari-hari Nero membebaskan Tania memilih atau membeli apa saja yang disuka. Dia diberikan mobil tapi harus izin jika keluar rumah. Kadang-kadang Nero memesan online jika sedang tidak sibuk.
"Udah, jangan nangis. Maafin om, ya. Cuma khawatir kamu kenapa-napa." Nero meraih gadis itu dalam pelukannya. Kasihan juga anak ini.
Tania balas memeluk. Sebenarnya dia suka bermanja-manja seperti ini.
Jantung Nero berdetak lagi saat bersentuhan. Dia menelan ludah dengan wajah memerah. Kenapa sekarang rasanya berbeda?
"Eh, Om."
Tania melepaskan pelukannya. Nero juga ikut tersadar. Mereka sama-sama malu.
"Kamu tunggu. Duduk di situ. Om bikinkan mie rebus pake sayur."
Nero mengambil alih dapur. Biar begini juga dia masih lebih jago memegang pisau dibanding istrinya.
Tania mengangguk dan memilih duduk melihat omnya beratraksi memotong sayuran, merebus mie dan telur. Perutnya sudah sangat lapar minta diisi. Sepuluh menit semuanya selesai.
Nero meletakkan dua mangkok besar di meja makan. Mata Tania berbinar-binar melihatnya. Asap panas mie yang masih mengebul membuatnya kalap. Dia makan dengan lahap. Dua porsi indomie rebus habis dalam sekejap. Tania menambahkan banyak cabai di dalam kuahnya. Sehingga beberapa kali mulutnya berdecap karena kepedasan.
Anak-anak masa pertumbuhan makannya banyak juga. Nero berkata dalam hati sambil mengulum senyum. Dia sendiri sudah menghabiskan mie-nya sejak tadi. Memang enak, makan mie berkuah panas di tambah sayuran dan cabai rawit.
"Mulai besok Bik Ijah ke sini. Nanti om telepon papa." Nero masih mencoba membujuk rayu.
Tania menggeleng.
"Kenapa?" Lelaki itu menatap istrinya galak. Sengaja, selama ini dia sudah sabar menghadapi kelakuan bocah ini.
"Nanti Bik Ijah ngadu sama papa," katanya dengan wajah memelas. Memasang puppy eyes, membuat Nero menjadi tidak enak hati.
"Ngadu apa?" Tatapan matanya tajam. Mencari tau alasan kenapa gadis itu menolak.p
"Pokoknya aku enggak mau aja." Tania mengalihkan pembicaraan.
Akhirnya, dia mau juga bicara. Sebulan ini rumah mereka seperti neraka. Suara teriakan, amarah, isak tangis, dan bantingan pintu membuatnya tidak betah.
"Yaudah. Bik Ijah sampai sore saja. Habis itu pulang."
Tania balas menatap. Nero berasa perutnya mulas dilihat seperti itu.
"Terserah om aja, deh. Tapi gak usah bilang sama Bik Ijah, kalau kita pisah kamar ..."
Wajah Tania terlihat ketakutan saat mengatakan hal itu. Akhirnya dia mengalah juga, dengan syarat tentunya.
Nero mengerti. Ternyata ini alasannya kenapa dari awal dia tidak mau Ijah di bawa ke sini.
"Gitu dong dari tadi. Pake nangis segala."
"Iya, deh. Lagian aku bosen beli di luar. Makanya tadi pengen masak mie," jawabnya polos.
Melihat ekspresi Tania yang menggemaskan, rasanya Nero ingin menciumnya kalau begini.
"Lain kali kalau ada apa-apa bilang sama om," bujuknya. Kasihan juga dia melihat gadis itu terluka.
"Enggak mau. Aku takut." Matanya menatap Nero ragu. Sesekali melirik wajah lelaki itu. Batinnya berkata, dia suamimu Tania.
"Takut apa?" Nero menjadi bingung. Apalagi ini?
"Takut om marah."
Tania menunduk, memainkan sendok yang ada di mangkok. Tangannya gemetaran, gelisah karena suaminya sedang menatapnya tajam.
"Kenapa om harus marah?"
Nero melipat tangan di d**a. Sebenarnya bukan untuk menakuti, hanya mengurangi grogi saat berdekatan dengan gadis ini.
Gadis? Iya. Tania masih gadis, belum dia sentuh sama sekali. Mungkin suatu saat dia akan melakukannya. Entah kapan waktunya tiba, semoga nanti akan ada keajaiban datang.
"Kan aku suka ngusir-ngusir. Aku sebel sama om." Dia tersipu malu saat mengakui semua kesalahannya.
Nero tertawa dalam hati. Dasar bocah. "Kenapa sebel?"
"Aku enggak mau nikahan sama om."
"Kan papa yang minta. Om nikahin kamu buat jagain." Kali ini Nero menggeser duduknya. Posisi mereka lebih berdekatan. Dia bahkan bisa berbisik di telinga Tania.
"Aku enggak terima." jawabnya cepat. Memang dia tidak mau kan?
"Tapi kita kan udah nikah. Gimana, dong?" Nero tersenyum geli. Lucu sekali kalau sudah begini.
"Om gak marah sama aku?"
"Enggak, asal kamu jangan ngambek terus. Om bingung harus gimana kalau kamu dikit-dikit marah."
Nero mengusap kepala Tania dengan lembut, memainkan anak rambut yang terjuntai di kening. Wajah gadis cantik itu berseri senang dengan senyum yang merekah indah.
"Yaudah besok Bik Ijah ke sini temenin aku. Tapi dia jangan nginap," Itulah syarat yang Tania ajukan.
Nero mengiyakan. Nada suaranya kali ini melembut penuh dengan kasih sayang. Lelaki itu mengalah lagi, daripada harus ribut dan membuat kepalanya semakin pusing.
"Asyik. Makasih, Om." Gadis itu hendak memeluknya, tapi tangannya yang luka tersenggol bahu Nero.
"Aduh!" Tania meringis.
"Kenapa lagi?" tanya Nero heran.
"Sakit ...."
"Hah, dasar manja. Baru luka sedikit sudah mewek. Belum kalau ku--"
Nero menggantung ucapan. Pikirannya sekarang berkelana entah ke mana.