Galau

1405 Words
Bram masuk ke ruangan Nero tanpa mengetuk pintu. "Manten baru apa kabarnya, nih?" sapanya. Sudah biasa. Dia bahkan bisa berada seharian di ruangan itu membahas masalah perkerjaan. "Eh, Mas Bram. Mau minum apa?" Nero meletakkan mouse. Berhenti mengerjakan laporan dan berjalan ke arah sofa tempat Bram duduk. "Santai aja. Nanti kalau mas haus bisa ke pantry bikin kopi," jawabnya tenang. Pandangan mata lelaki itu menyapu seluruh ruang kerja ini. Lama dia tidak ke sini. Akhir-akhir ini mereka lebih banyak bertemu di ruang meeting. Tidak banyak yang berubah, hanya ada satu tambahan hiasan di belakang meja kerja lelaki itu. Foto pernikahan Nero dengan putrinya, Tania. Keduanya tampak tersenyum manis. Melihat itu, hati Bram diliputi aura kebahagiaan. Rasanya dia sudah tenang, jika suatu saat harus meninggalkan. Anaknya kini sudah berada di tangan orang yang tepat. Semoga Nero bisa menjaga amanah, melindungi Tania seumur hidupnya. Mendengar kata-kata Bram tadi, Nero sungguh salut dengan sahabatnya ini. Padahal dia yang punya perusahaan tapi sikapnya sederhana dan bersahaja. Bram tidak seperti para owner perusahaan lain yang sering Nero temui. Pembawaan lelaki itu tenang dan santai. Setiap ada masalah, kepalanya tetap dingin. Itulah mengapa perusahaan peninggalan orang tuanya masih bertahan sampai sekarang. "Gimana kabar anakku?" Bram membuka pembicaraan. "Tania sehat. Yah masih suka ngambek. Mas mainlah ke rumah," jawab Nero. "Nantilah. Mas gak mau gangguin kalian," tolak Bram halus. "Malah seneng kalau mas datang." "Kamu kok sibuk bener. Gak ambil cuti, gitu? Habis nikahan langsung masuk kerja," tanya Bram. "Kita kan mau buka cabang baru. Jadi aku harus persiapkan semuanya secara detail. Kalau salah sedikit perusahaan bisa rugi banyak. Aku banyak pertimbangan," ucap Nero tenang. "Sudah. Biarkan saja dulu. Gak usah buru-buru. Santai. Kerjaan itu gak habis kalau diturutin. Sekali-kali kamu cuti. Honeymoon sama istri." Nada suara Bram mulai menggoda. Istri? Ah, Nero teringat kembali dengan Tania di rumah. "Nanti saja, Mas" tolaknya. "Tania kan ngambek tu, habis kelulusan batal tour ke Bali sama temen-temennya. Kamu ajak aja dia ke sana. Jalan-jalan." Bram memberikan usul. "Belum tentu dia mau pergi sama aku," sanggah Nero. "Yah, kamu cobalah dulu. Bujuk dia. Siapa tau dia mau," kata Bram. "Nantilah. Aku masih belum kepikiran soal honeymoon. Kerjaan aja dulu ini." Lagi dia menolak usul Bram. "Kalau kamu sibuk terus, kapan mas dapat cucu?" Bram menggoda lagi. Memancing sahabatnya untuk membongkar rahasia. Nero menarik napas panjang. "Cucu? Mas Bram ini gila apa. Jangankan mau itu, mereka bahkan tidak akur sama sekali walaupun tinggal serumah," ucapannya tertahan dalam hati. Setiap hari mereka ribut terus. Tania bahkan sengaja menghindarinya. Gadis itu hanya mau bicara kecuali benar-benar membutuhkannya. Tidur pun mereka di kamar masing-masing. Honeymoon? Disentuh tangan saja sudah bakal melotot matanya. Walapun Nero sebenarnya tidak sengaja. "Mas tolong ngertilah. Tania masih marah sama aku. Dia masih belum bisa menerima pernikahan ini. Biarlah mas, jangan dipaksa" "Kalau kamu gak usaha, dia juga gak bakal mengerti, Nero." "Mas ..." Nero menatap lekat mata Bram memohon pengertiannya. Dia yang sejak tadi berkonsentrasi menyelesaikan beberapa proposal jadi teralihkan. Pikirnya, Bram datang untuk membahas tender yang sedang mereka kerjakan saat ini. "Mas Bram, aku gak mungkin ngelakuinnya. Gak kebayang kalau aku begituan dengan keponakan sedniri." Nero melamun sambil menggelengkan kepala. Keponakan? Ups! Dia istrimu sekarang, Nero. Lupa kamu, ya. "Jadi kamu belum?" tanya Bram penasaran. Jika memang benar mereka belum melakukan, sungguh kasihan sekali sahabatnya ini. Nero menggeleng lemas. "Sebulan ini kamu puasa?" tanya Bram, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Iya, Mas." "Kamu tahan?" Bram ingin tertawa melihat ekspresi Nero. Lelaki itu terlihat pasrah sekali. Biasanya kalau menyangkut urusan wanita, si ganteng inilah yang paling bersemangat. Mengapa ketika dihadapkan dengan Tania, malah jadi takut begini? "Mas, sudahlah. Bicara yang lain saja." Nero mencoba mengalihkan pembicaraan. "Dia juga masih marah sama mas. Telepon gak diangkat. Mas chat cuma dibaca. Entah apa maunya." Dua pria ini sedang galau rupanya. "Biarlah dulu. Semua butuh waktu." "Tapi kamu usaha, ya. Bujuk-bujuk dia. Kan dari dulu kamu paling jago kalau Tania ngambek." Bram masih berusaha. "Siapa tau sebelum pergi, mas masih bisa gendong cucu." "Kok ngomong begitu, sih?" "Kita kan gak tau umur." Lelaki itu nampak pasrah dengan keadaannya. "Tapi kan berusaha terus untuk kesembuhanmu. Jangan menyerah ya, Mas." Nero menguatkan. "Aku sudah berusaha melawannya, tapi lama-lama aku lelah." "Eh, mas engga jadi berangkat lagi? Aku mau kok dampingin mas pergi terapi." Dia mengalihkan pembicaraan. Lebih baik membahas hal lain dari pada membahas tentang malam pertamanya dengan Tania, yang sampai sekarang belum terjadi. "Bulan depan berangkat. Kamu bantu doa, semoga mas panjang umur jadi bisa liat cucu." Bram mengerling nakal. Ya Tuhan! Nero menarik napas dalam. Haruskah dia memaksa Tania untuk melakukan hal itu? Sah saja sebenarnya, itu haknya sebagai seorang suami. Tania tidak boleh menolak, berdosa kalau sampai itu terjadi. Toh selama ini kewajiban sudah dia lakukan, menafkahi istrinya dan memberikan perlindungan yang layak. Atau, apa dia harus merayu gadis itu? Tapi ... bagaimana caranya? Apa dia sanggup mencumbu Tania? Mencumbu seorang anak kecil, yang emosinya sendiri belum bisa dia kendalikan. Yang bahkan beberapa hal penting dalam hidupnya masih mereka tentukan. Biarlah semua mengalir adanya tanpa paksaan. Jika pernikahan ini gagal sekalipun, Nero tidak akan menyesali. Paling tidak, dia sudah memenuhi janji kepada sahabatnya. *** Nero memasuki rumah dengan langkah perlahan. Sudah malam, jarum jam menunjukkan angka sebelas. Banyak sekali proposal yang masuk ke email untuk pemenangan tender tahun ini. Sehingga dia harus teliti menyeleksi satu-persatu, mana yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Lagipula, untuk apa juga dia ada di rumah, kalau setiap hari hanya mendengar teriakan dan kemarahan Tania kepadanya. Lebih baik seharian dia di kantor, kalau perlu tidak usah pulang sekalian. Pelan dia membuka pintu. Tak mau mengganggu seandainya gadis itu sudah tertidur duluan. Dia berjalan ke lantai atas memasuki kamar, menyimpan tas, mandi dan mengganti pakaian. Lalu turun ke bawah menuju dapur. Dia haus, mungkin segelas orange juice bisa melegakan tenggorokan. Saat melewati dapur terdengar suara berisik di ruang keluarga. Dia mengintip. Ternyata Tania belum tidur. Gadis itu sedang menonton. Film apa itu? Kenapa Tania terisak-isak menangis? Bahasanya aneh, seperti bahasa Mandarin dengan subtittle di bagian bawahnya. Oh, film Korea. "Dasar anak-anak." Lelaki itu menepuk dahi, tersenyum geli membayangkan aktor korea yang jadi favorit remaja zaman sekarang. Rambutnya dicat warna-warni. Pakaiannya aneh, bajunya bertumpuk dengan model unik. Belum gerakan tarian yang sangat atraktif. Melihatnya saja sudah lelah, apalagi melakukannya. Nero menarik napas dalam. Mengelus dadanya beberapa kali. Kemudian lanjut mengintip, tapi dia tak berani juga mendatangi. Bisa kena marah lagi sama istrinya, bakalan diusir juga. Dia menggelengka kepala jika mengingat kejadian itu. Menyeramkan sama seperti film horor. Saat dia hendak melangkah keluar menuju ke dapur ... "Om! Ngapain ngintip aku nonton?" Tania bertanya dengan wajah galak. Tangannya terlipat di d**a. Tak menyangka kalau diam-diam ada orang lain di ruangan itu selain dirinya. Mengintip pula, tidak sopan! Nero gelagapan mendengar namanya disebut. Yah, dia ketahuan. Sabar Nero! "Eh, gak apa-apa. Ini mau ke dapur ambil minum. Haus." Lelaki itu mengelak. Memang benar, kan? "Dapur ada di sana. Ngapain om lewat sini?" Tania berkacak pinggang. Tatapannya tajam, memandang suaminya dengan penuh tuduhan. Duh, salah bicara lagi. Ini rumahnya juga. Kenapa juga dia yang kena semprot. "Tadi om lewat denger suara kamu nangis. Om pikir kamu kenapa-kenapa." Nero berbalik memandang istrinya. Matanya terbelalak. Gadis itu hanya mengunakan tanktop dan hotpants. Lekuk tubuhnya terlihat jelas. Nero menelan ludah. Pemandangan di depannya sungguh menggoda iman sebagai seorang laki-laki. Seumur hidup kenal, dia belum pernah melihat gadis itu memakai pakaian seperti ini. "Om ngapain liat aku begitu?" Mata Tania melotot. "Eng ... engga. Om cuma ..." katanya terbata. "Tuhan, mengapa Kau tampakkan kepadaku pemandangan indah begini." Nero bergumam dalam hati. Jantungnya berdebar kencang. Belum pernah dia merasakan begini pada wanita manapun setelah kematian Saskia. Walaupun di sekelilingnya banyak wanita cantik. Mengapa respon tubuhnya berbeda saat melihat Tania? "Sana pergi. Jangan ganggu aku!" usirnya. Tangannya melambai menyuruh Nero keluar. Dia tidak mau diganggu sama sekali. Apalagi pengganggunya itu orang yang dia benci. Lelaki itu segera beranjak menuju dapur. Dia mengambil segelas orange juice. Masih haus, kemudian mengambil segelas lagi dan meminumnya dalam sekali teguk. Masih terbayang yang tadi. Ternyata gadis kecilnya sudah tumbuh dewasa. Tubuhnya sudah berubah. Pantas beberapa tahun ini Tania tidak mau memeluknya. Dia pasti malu. Tangannya bergerak mengambil air lagi. Hausnya semakin menjadi. Perutnya panas. Biar saja jadi kembung. Bayang-bayang itu masih belum hilang dari kepalanya. Malah berfantasi dan menjalar ke mana-mana. Lekuk tubuh Tania. Dadanya yang bulat. Pinggulnya yang ramping. Paha putih mulus. Ah. Nero segera kembali kamar. Lama-lama dia bisa gila kalau begini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD