Puncak

1024 Words
"Perasaan saja atau memang...." *** Veni benar-benar menikmati malam di puncak Bogor dengan suaminya. Dia sudah sampai di soto Betawi yang dijual di Bogor. Bahkan penjual itu sudah hapal dengan Veni yang lebih sering membeli ketika malam. "Wah ... neng Veni baru kelihatan. Udah lama engga ke sini, neng," kata penjual itu. Padahal, ini sudah malam tapi tetap saja keadaan warung soto betawi itu masih ramai didatangi pengujung. Memang tempat ini selalu ramai oleh pengunjung sehingga Veni pun juga selalu menikmati hidangan yang dijual. "Hehe ... iya teh baru sempat ke sini." "Tumben sama cowo, neng. Neng Lea belum pulang dari luar negri?" tanya Teh Ane yang memang sudah kenal dengan Veni dan Lea. Mereka berdua seumuran tapi Veni kagum dengan Ane yang sudah bisa merintis usaha dengan pelanggan yang ramai. Veni dan Lea sudah pernah diajari resep membuat Soto Betawi Ane tapi rasanya tidak sama dengan buatan Ane. Ane ini adalah orang asli Bogor tapi keahlian dalam membuat Soto Betawi tidak kalah juga dengan buatan orang Betawi aslinya. Veni terseyum malu mengenalkan Mario dengan Ane karena dia benar-benar lupa untung mengundah Ane. "Ini suami Veni, Teh. Lea udah pulang kok cuma lagi sibuk kerja aja orangnya," jawab Veni. "Oalah kamu udah nikah. Kok enggak undang, Teteh si." "Maaf, Teh aku lupa soalnya hehehe...." "Enggak papa, teteh bercanda doang kok. Yaudah sok cari tempat duduk. Mau pesen kayak biasanya kan atau ada tambahan lain?" "Emm kayak biasanya aja. Mario kamu mau pesen apa?" "Samain kayak kamu aja tapi minumnya kalau ada wedang jahe," jawab Mario lagi. "Oalah siap, A. Ditunggu ya pesenannya," ucap Ane yang mendengar pesanan mereka. Veni berjalan mencari tempat duduk di pojok karena melihat depannya langsung berhadapan dengan sawah-sawah membuatnya menikmati malam yang dingin di sini. "Kamu sering ke sini ya?" "Dulu sama Lea kalau gabut sering ke sini." "Pantes, Mbaknya apal kamu." Veni mengangguk tidak ada lagi percakapan antara mereka setelah itu. Mereka menunggu makanan datang. Beberapa saat kemudian telepon Mario berbunyi. "Siapa, Mar?" "Mama," jawab Mario menunjukkan HPnya ke Veni kalau Mamanya lah yang menelepon. Veni mengangguk, "Aku ngangkat teleponnya dulu ya, Ven," ucap Mario. Veni mengangguk. Mario bangkit ke ke tempat lain untuk mengangkat teleponnya. Veni pun tidak curiga dengan Mario yang mengangkat teleponnya di tempat lain. *** Mario menjauh sedikit dari Veni karena takut Veni mendengar perbincangan dirinya dan Mamanya. Setelah agak menjauh dari Veni. Mario baru mengangkat telepon dari Mamanya. "Mario kamu enggak pulang ke rumah lagi?" "Salam dulu kek, Ma. Nyerocos aja." "Kamu jam segini belum sampe di rumah enggak pulang lagi? Katanya mau pulang kok jam segini belum sampe rumah." Mario memutar bola matanya malas. Pertanyaannya tidak didengarkan oleh Mamanya dan malah bertanya balik. "Aku di Bogor, Ma." "Ngapain? Kamu bilang mau pulang ke rumah. Mama udah masak banyak Mario. Kakak kamu katanya mau ke rumah juga malah pergi sama istrinya." "Maaf deh, Ma. Aku lagi jalan-jalan sama Veni paling besok baru pulang ke rumah." "Mario kamu mau enggak pulang lagi?! Kamu nikah malah betahnya sama istri kamu. Mama udah masak banyak, Mario." "Udah dulu ya, Ma. Nanti Mario usahain pulang cuma mungkin malam baru sampe." "Mario ... Mario!!!" Mario tidak peduli lalu dia mematikan teleponnya sepihak. Setelah itu berjalan menuju ke Veni lagi. "Udah?" tanya Veni. Ternyata makanan juga sudah tersaji padahal tadi dia mengangkat telepon hanya sebentar. "Udah. Kamu kok belum makan?" "Nungguin kamu." Mario tersenyum dan duduk di kursi berhadapan dengan Veni. "Yaudah ayo makan." "Mama telepon kenapa? Suruh pulang ya?" "Enggak kok. Cuma nanya lagi di mana aja. La kamu mau pulang atau cari penginapan di sini aja?" tanya Mario. "Aku sih terserah kamu aja, Mar. Soalnya kan yang nyetir kamu. Kalau kamu capek kita cari penginapan di sekitar sini aja." "Emmm ... kalau kamu pulang enggak papa?" "Mama nyuruh kita pulang ya?" tebak Veni. Mario terkejut dengan respon Veni. Tapi, berusaha untuk menetralkan wajahnya. "Enggak lah hahaha ... malah Mama nyuruh kita honeymoon sekalian...." Mario berbohong untuk menutupi kegugupannya. Veni pun malah tersipu dia. Dia menyerahkan sendok kepada Mario dam kemudian mereka pun makan bersama. "Gimana mau gak?" tanya Mario dengan nada menggoda karena istrinya hanya senyum. "Apa?" "Honeymoon sekalian." "Udah ah makan. Ngapain bahas yang lain." "Ya kan sekali mendayung dia tiga pulau terlampaui." "Halah. Udah buruan makan keburu dingin." Veni menutupi kegugupannya untuk makan saja. Mario malah tertawa melihat Veni yang salah tingkah. "Kayaknya aku capek banget deh, Ven nanti kita nginep di hotel terdekat aja kamu tahu gak?" "Emm ... iya tahu." Mario pun mengangguk setelah itu mereka berdua makan dengan tenang dan tidak ada lagi pembicaraan antara mereka. *** Pada akhirnya mereka pun berhenti di penginapan lebih dulu. Mario sudah terlalu lelah untuk menyetir lagi sehingga mereka memutuskan untuk berhenti di penginapan. Dia tidak peduli dengan Mamanya yang menyuruhnya pulang karena memang dirinya sangat lelah untuk pulang. "Kamu udah bilang kalau kita enggak pulang? Takutnya nanti nungguin." "Udah kok. Kata Mama juga enggak papa." "Emmm ... gitu...." Mario melihat Veni rasanya ingin melakukan lebih. Apalagi melihat Veni dengan rambut yang basah setelah keramas. Padahal, sudah malam tapi istrinya memaksa untuk mandi. "Airnya enggak dingin emang kamu mandi?" "Dingin banget, Mar." "Kamu enggak pake air hangat?" "Tadinya aku pikir seger pake air dingin. Tapi, pas udah selesai kok malah dingin." "Pas mandi enggak dingin?" tanya Mario lagi. Seharusnya kedinginan saat dia mandi bukan tapi ini istrinya baru mengatakan dingin setelah selesai mandi. "Enggak tadi." "Kamu aneh." Mario maju mendekati Veni. Saat mendekati Veni rasanya dia ingin melakukan lebih. "Mario kamu mau ngapain?" tanya Veni gugup. Lagi-lagi dia merasa hal yang waktu itu akan terulang lagi. "Ven ... boleh?" tanya Mario yang sudah merasa dia ingin melakukan lebih kepada Veni. Veni hanya diam saja dan Mario pun menganggap itu jawaban iya. Setelah itu Mario lantas maju untuk mendekati Veni. Mario membimbing Veni untuk menuju ke kasur. Veni pun hanya mengikuti tuntunan Mario. Mereka pun akhirnya melakukan hal tersebut lagi. Malam yang dingin seakan hal yang tepat untuk melakukan hal itu. Apalagi mereka juga baru menikah dan sedang hangat-hangatnya. Walaupun, menikah hanya untuk balas dendamnya. Entah bagimana jika Veni tahu kebenarannya nanti. Sekarang Mario hanya ingin menjalaninya saja sampai waktu benar-benar menunjukkan dirinya dan Bhiya bisa bersatu nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD