"Rasa deg-degan dengan apa yang akan diucapkan oleh atasannya."
***
"Ven, istirahat dulu," ucap Pak Bram kepadanya yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Veni lantas melihat ke arah Pak Bram.
"Iya, Pak sebentar lagi saya istirahat ini udah mau selesai kok."
"Saya tadi bilang makan siang ada yang mau saya omongin 'kan jadi tinggalin aja kerjaan kamu sekarang." Veni melongo iya memang tadi pagi bosnya itu akan berbicara kepadanya. Ah, apa yang akan dibicarakan bosnya ya kira-kira.
"Oh iya, Pak."
"Jangan iya-iya saja. Saya udah nungguin ini."
"Ah ... oh ... baik, Pak." Veni gugup sendiri saat bosnya itu mengajaknya bareng. Veni kira tadi dia akan disuruh nyusul ternyata barengan dengan bosnya.
Veni segera menyimpan filenya terlebih dahulu kemudian bangkit dan makan bersama Pak Bram. Eh, Veni tidak tahu apakah mereka akan makan atau tidak tapi ya dia ingin ikut aja.
"Ayo." Veni mengangguk dan ikut berjalan dengan Pak Bram. Namun, dia tidak mau Jalan di samping bosnya jadi lebih baik di belakangnya.
Saat melewati rekan-rekan kerjanya. Mereka nampak menegur bosnya tapi bosnya itu cuek saja. Sedangkan, mereka yang menegur Veni dengan senyum dibalas senyum juga oleh Veni.
"Loh, Pak kok kita ke luar dari kantor. Kan di kantor juga ada makan?"
"Gak. Kita ke restaurant depan aja."
"Oh baik, Pak."
"Mentang-mentang bos makan di kantin aja enggak mau," batin Veni.
Mereka sampai di restaurant seberang kantor, Bosnya menyuruh Veni untuk memesan. Veni pun menurutinya. Setelah pesan mereka menunggu pesanan mereka datang.
"Jadi, kamu beneran mau resign?" tanya Pak Bram mengawali percakapan.
"I ... iya, Pak."
"Kenapa? Kamu kerja sama saya udah lumayan lama. Jadi, apa permasalahan kamu hingga membuat kamu ingin pisah?"
"Saya cuma menuruti mau suami dan mertua saya, Pak. Saya lagi hamil dan mereka menyuruh saya untuk resign kerja."
"Kamu enggak sayang? Banyak yang mau di posisi kamu. Saya bisa naikin gaji kamu kalau kamu enggak mau resign dari kerjaan saya."
"Maaf, Pak."
"Saya bahkan bisa gaji kamu Lima belas juta perbulan kalau kamu enggak resign." Veni melongo gajinya nain begitu drastisnya. Ah, dia bingung apakah harus tetap memilih suaminya atau atasannya.
Veni menggelengkan kepalanya. Ayo, Veni sadar surgamu ada di suami. Dan suaminya sudah tidak mau lagi dia bekerja. Siapa tahu memang rezekinya pindah ke sang suami kalau dirinya resign.
"Kamu enggak mau? Baru kali ini saya nawarin gaji sampai segitu padahal sebelumnya enggak pernah. Dan saya nahan kerja kamu seharusnya kamu nerima."
"Berapapun gaji yang bapak tawarkan untuk menahan saya kerja. Saya tetap akan resign, Pak. Suami saya sudah menyuruh saya untuk resign jadi tidak ada alasan saya bertahan karena gaji. Saya ingin berbakti dengan suami saya."
"Oh iya, gaji segitu pasti memang tidak ada harganya ya di mana kamu. Jelas saja suami kamu lebih kaya dari saya."
"Bukan gitu, Pak. Tapi, memang ini juga udah jadi pilihan saya untuk resign. Lagian Bapak bisa Rekrut lagi sekretaris yang bahkan bisa lebih dari saya. Saya masih banyak salahnya kadang, Pak."
"Hmmm ... saya suka sama kamu, Ven."
"Deg...." Jantung Veni berhenti seketika kala mendengar pernyataan atasanya. Dia yang gugup pun tertawa. Tidak mungkin 'kan bosnya suka dengannya. Lagian apa istimewa dirinya.
"Hahaha ... bapak apaan si jangan aneh-aneh deh. Bapak atasan saya masa suka sama saya. Client bapak aja banyak. Bapak ni jangan suka ngada-ngada ah." Veni tertawa palsu tidak boleh geer, Ven pasti itu akal-akalan bosnya.
"Saya beneran suka sama kamu. Saya nunggu waktu yang tepat buat ngelamar kamu tapi kamu malah kasih info mau menikah padahal yang saya tahu kamu tidak dekat dengan siapapun. Walaupun, saya sebagai atasan tahu kamu disukai banyak lelaki."
"Pak tapi saya enggak merasa kayak gitu."
"Intinya saya kecewa kamu menikah. Apalagi mendengar kamu hamil. Kamu emang bahagia sama Pernikahan kamu. Kenapa kamu menikah tiba-tiba."
"Pak pembahasan ini kayaknya udah out of topic. Mending kita makan dulu, makanannya sudah di antar sepertinya," ucap Veni dan mengkode ke atasannya bahwa makanannya sudah datang di antara lewat belakang Pak Bram. Bram pun akhirnya terdiam sampai makanan itu beneran datang ke mejanya.
"Silahkan dinikmati, apa pesanannya sudah benar?" tanya pelayan tersebut.
"Sudah kok, makasih ya," ucap Veni. Pelayan itu pun tersenyum ramah dan izin permisi dari sana.
"Silahkan di makan, Pak." Veni menyuruh atasannya untuk makan lebih dulu tidak mungkin 'kan dia tidak sopan makan lebih dulu dari pada atasannya jadi dia menyuruh atasannya makan duluan.
"Ya kamu juga makan. Setelah ini kita bahas lagi siapa tahu setelah makan pikiran kamu berubah untuk resign." Veni terdiam. Tidak. Dia tidak boleh goyah untuk tidak resign dari pada di rumahnya dia disindir lagi jadi dia yakin akan tetap resign.
***
Beberapa saat kemudian mereka berdua selesai makan. Pembicaraan mereka dilanjut, Veni masih dengan pendiriannya untuk resign.
"Jadi, mulai kapan bapak bakal buka pengumuman untuk mencari karyawan baru. Sepertinya saya udah enggak bisa lama-lam kerja, Pak. Saya juga lagi hamil keluarga suami saya enggak setuju kalau saya kecapekan."
"Kan saya bisa kasih kerjaan kamu yang gampang, Ven. Saya akan kurangin kerjaan kamu kalau emang kamu takut kecapekan," ucap Bram lagi.
"Iya, Pak. Tapi, keputusan saya untuk resign tetap bulat saya enggan ingin suami saya kecewa kalau saya sebagai istri lebih milih kerjaan dari pada keluarga."
"Lagian suami kamu aneh deh. Aturan istri kerja itu seneng dibantu. Coba aja dulu saya enggak telat ngelamar kamu. Kamu pasti bakal tetep kerja dan kita bakal jadi suami istri di kantor. Satu ruangan setiap harinya dan kalau mau ngapa-ngapain enak."
"Cukup ya, Pak. Kayaknya pembicaraan ini sudah semakin ngelantur. Dan soal saya menikah dengan suami saya itu udah keputusan saya. Jadi, menurut saya itu pun hak bapak mengatur-atur saya."
"Saya enggak ngatur justru saya mempermudah kamu biar kamu enggak salah pilih laki-laki dan sekarang kamu salah pilih 'kan?"
"Enggak. Saya yakin dengan pilihan saya. Udah ya, Pak intinya mulai besok saya resign dengan atau tanpa persetujuan bapak. Saya awalnya mau resign baik-baik bantu bapak cari sekretaris baru yang cocok tapi setelah saya pikir-pikir itu akan jadi urusan bapak. Karena hari ini adalah hari saya kerja. Besok saya udah enggak kerja."
"Kalau kamu maksa gitu yaudah gaji kamu enggak akan turun!"
"Oh tidak masalah. Allah enggak tidur bapak yang akan berdosa dengan kelakuan kayak gitu. Saya kerja juga mengharap ridho Allah. Kalau bapak mau ambil gaji saya silahkan. Saya enggak peduli. Intinya hari ini saya terakhir kerja!" Veni jadi tidak peduli kalau dirinya memang tidak sopan dengan atasannya. Dia sudah Berbicara baik-baik tapi atasannya itu malah kurang ajar. Ternyata apa yang teman-temannya katakan kalau bosnya menyukai dirinya itu benar. Dan Veni benar-benar benci mengetahui kenyataan itu.
"Veni pembicaraan kita belum selesai kamu mau ke mana."
"Saya rasa jam istirahat kita sudah mau selesai, Pak. Jadi, saya mau balik ke kantor," ucap Veni lagi. Veni melanjutkan jalannya meninggalkan Pak Bram di resto tersebut.
"Ah bisa-bisanya pikiranku jadi berantakan. Lagian apa sih istimewanya aku. Banyak cewe yang lebih kenapa harus aku. Sakit tu bosnya." Veni berjalan ke luar resto untuk kembali ke kantornya. Sampai di depan saat ingin menyebrang dia tidak sadar kalau dia sudah sampai jalanan.
Tin ... Tin....
"Astagfirullah...." Veni tidak sadar kalau dia jalan sudah sampai di luar resto dan menyebrang. Kekesalan dengan bosnya hampir saja membuatnya kenapa-kenapa.
"Heh gimana sih kalau nyebrang itu lihat-lihat bukan main nyelonong aja. Mau mati?!" teriak orang tersebut.
"Eh, maaf Pak. Tadi saya enggak lihat sama sekali."
"Enggak lihat. Pake mata makanya kalau nyebrang."
"Iya, Pak maaf." Setelah itu pengendara motor itu melaju lagi. Veni segera berjalan dengan melihat ke kanan-kiri sampai menyebrang.
Setelah sampai di kantornya satpamnya pun menyapanya saat dirinya melihat hampir saja tadi Veni tertabrak, "Astaga, Mbak Veni tadi saya lihat hampir aja Mbak keserempet," ucap satpam itu yang juga kenal dengan Veni.
"Iya, Pak saya juga deg-degan tadi. Alhamdulillah Allah masih ngelindungin saya."
"Lagian mikirin apa to, Mbak. Nyebrang kok enggak lihat-lihat."
"Hehehe ... enggak mikirin apa-apa kok, Pak. Yaudah saya masuk dulu deh ya, Pak, Ya...."
"Iya, Mbak hati-hati nanti kenapa-kenapa lagi." Veni mengangguk dengan senyumnya. Dia berjalan masuk dengan lesu.
"Eh, Ven dari mana?" tanya Dea yang melihat Veni tumben dari luar kantor.
"Habis makan siang juga tadi."
"Loh di mana?"
"Tuh, diseberang kantor kamu dari mana?"
"Ambil barang ada yang ketinggalan makanya aku ambil dulu mumpung istirahat. Lah kamu kok tumben makan di luar. Tia ke mana?"
"Tadi aku makan sama Pak Bram, De."
"Acie ... makan berdua sama Pak Bram." Veni menatap datar Dea, "Apaan si orang cuma bahas resign aku doang. Emangnya aku mau ngapain sok."
"Oalah dikira Pak Bram ngajak makan karena ada rasa sama kamu. Ah, so sweet deh kalian."
"Dea udah ah nanti jadi gosip kamu ngeledekin aku. Aku udah ada suami lagi hamil juga yakali aku mau aneh-aneh di luar."
"Loh-loh kamu udah hamil to? Kok enggak bilang? Bahkan aku enggak tahu kalau kamu hamil. Habis cuti sebulan langsung hamil wah honeymoon kamu tokcer ya, Ven." Veni tersenyum mendengar gurauan Dea.
"Ya alhamdulillah Allah ngasih amanah cepet ke akunya. Lagian aku juga tadinya enggak kepikiran sama sekali bakalan hamil cepet tapi alhamdulillah aja. Dinikmati deh."
"Iya deh alhamdulillah, pantes aja minta resign enggak mau kecapekan ya suami kamu pasti."
"Ya gitu deh hehehe...."
"Terus gimana dibolehin?" tanya Dea lagi.
"Apanya yang dibolehin?"
"Ya resignnya kan lagi bahas resign loh."
"Hmmm ... rumit sih tapi kayaknya mulai besok aku udah enggak masuk deh. Udah mau resign aja."
"Itu artinya dibolehin dong? Lo enggak bantu dulu cari sekretaris Pengganti. Ajuin gue dong. Pak Bram masih single gue juga. Jadi, cocok tu gue sama dia." Veni tersenyum. Dia sama sekali tidak ada niat menunggu Pak Bram dapat atasan baru karena tadi atasannya itu juga sudah membuat sakit hati satu sisi.
"Hm ... nanti coba aku bilang sama Pak Bram ya. Tapi, kan tetep ada seleksi, De nanti aku cari tahu deh kriteria selanjutnya Pak Bram itu kayak gimana yang mau jadi sekretarisnya. Soalnya aku juga dulu sama ketat apalagi sainganku rata-rata senior."
"Iyasih. Tapi, takut juga kalau nanti saingan rata-rata senior. Ngelihat kamu yang suka dihujat gitu kayak mereka enggak terima banget kalau kamu yang jadi sekretaris."
"Iya soalnya mereka anggepnya aku baru kok udah kepilih sekretaris aja. Tapi, kalau dijalanin sebenernya enggak papa kok." Veni meyakinkan Dea kalau menjadi sekretaris tidak seburuk itu.
"Tapi kerjaan banyak?"
"Lumayan."
"Kalian ngobrol aja di sini udah waktunya jam kerja. Dan ngobrol kalian di jalan gini kalian enggak sadar kalau ganggu jalan yang lain," saut seseorang di belakang mereka. Mereka berdua menengok ke belakang. Ternyata bosnya itu sudah ada di belakangnya. Dea langsung mati kutu sedangkan Veni malah dengan sombongnya menatap datar atasannya itu. Dia masih kesal dengan pernyataan tadi di resto jadi ya dia biasa saja. Toh, bentar lagi mau resign. Bukan maksudnya mau sombong tapi, lihatlah kalau kalian jadi Veni pasti kalian juga kesel.
"Maaf, Pak. Saya permisi dulu." Dea kelihatan takut dan dia pamit lebih dulu. Sedangkan Veni pun berjalan ke ruangannya tanpa meminta maaf. Bram berjalan di belakang Veni. Mereka semua yang melihat Bram pun sopan menunduk kepalanya. Sedangkan Veni di depannya ada yang biasa saja. Veni jalan di depan sebenernya sudah seperti dia yang bos tapi kan bukan salahnya juga. Suruh siapa Bram jalan di belakangnya.
***
Veni sudah menyelesaikan proposal kerjanya untuk terakhir kali dua bekerja. Dan yang selanjutnya adalah print an resign kerjanya. Dia bangkit menuju ke meja Bram yang ada di depannya.
"Misi, Pak. Ini proposal yang bapak minta. Sekaligus jadi proposal terakhir yang saya buat." Veni menyerahkan proposalnya lebih dulu. Bram melihat proposal tersebut. Tetapi, masih ada map file putih di tangan Veni satunya.
"Itu yang di tangan kamu satu lagi apa?"
"Oh ini. Bapak mending ngecek proposalnya dulu kurang apa. Baru saya kasih ini filenya."
"Emang file apa itu?"
"File resign kerja saya. Saya pamit undur diri dari kantor ini. Tapi, proposal itu bakal jadi kerjaaan saya yang terakhir kalau masih kurang bilang saja. Tadinya, saya pikir mulai besok saya udah enggak kerja tapi saya lihat masih ada jadwal meeting yang mengaharuskan saya dan bapak yang hadir tidak bisa diwakilkan. Jadi, gimana mau bapak? Mau cancel meeting ini saja atau gimana?" tanya Veni panjang lebar. Tadinya dia mau langsung resign dan besok tidak kerja. Tapi, dia harus menyelesaikan pekerjannya lebih dulu baru dia akan resign. Dia punya tanggung jawab jadi dia tidak akan lepas tangan dengan hal itu.
"Ok." Veni melotot. Cuma satu kata? Oke ini Maksudnya yang mana. Veni bahkan tidak paham dengan jawaban itu.
"Maaf, Pak itu ok yang mana proposal atau yang lain."
"Semuanya."
"Oh baik, Pak kalau gitu. Saya permisi dulu ya, Pak." Veni berbalik badan tapi sedetik kemudian bosnya memanggil lagi.
"Ven...." panggil Pak Bram.
"Kenapa, Pak?" tanya Veni lagi menoleh ke belakangnya.
"Kalau emang kamu mau resign. Besok kamu enggak usah hadir di meeting enggak papa." Veni mengerutkan keningnya tidak mengerti. Padahal, tadi bosnya itu di resto membuatnya kesal segala harus mengatakan perasaan lagi. Sebenernya tidak masalah mengatakan perasaan tapi ucapan selanjut-selanjutnya itu menurutnya sudah tidak etis lagi sehingga membuat Veni kesal.
"Hah? Bapan serius? Tapi, dalam meeting itu saya harus ikut, Pak apalagi itu meeting yang udah lama juga ketunda masa saya enggak ikut."
"Kalau kamu emang mau resign besok enggak papa. Nanti tinggal saya bilang kamu resign dan memang saya belum bawa sekretaris baru karena belum ada yang cocok."
"Yaudah kalau gitu ya enggak papa besok saya dateng aja dulu, Pak. Lagian saya enggak enak belum nyiapin persiapan juga buat ngomong ke yang lain kalau saya resign."
"Kamu enggak keberatan kalau besok berangkat lagi kerja dan ikut meeting? Suami kamu enggak marah nanti kalau kamu besok masih kerja?"
"Inshaallah enggak, Pak. Kalau saya jujur sama mereka. Jadi, besok saya masih bisa kok dateng meeting lagian bahannya juga udah siap lama." Bram pun menganggukan kepalanya.
"Yaudah makasih kalau begitu. Sama satu lagi, Ven ucapan saya yang tadi diresto kayaknya buat kamu risih saya minta maaf ya. Saya juga tadi enggak ngontrol omongan saya karena emang saya suka sama kamu."
"Iya, Pak udah saya maafin. Sebenarnya saya juga udah tahu hal itu dari temen-temen tapi saya merasa enggak pantes dan enggak mungkin bos saya suka sama saya jadi saya anggep itu lelucon aja."
"Emang kelihatan banget ya sampe anak lain kok ngira kayak gitu. Duh kalau kayak gitu saya jadi malu sendiri." Veni tertawa. Tertawa yang benar-benar tulus.
"Yaudahlah, Pak. Manusiawi juga lagian saya udah ngelak kok. Semoga aja mereka percaya sama elakan saya. Yaudah, Pak saya balik ke meja saya dulu ya. Capek diri," ucap Veni jujur. Bosnya tersenyum dan mengangguk.
"Maaf, Ven jadi kamu diri ngomong sama saya."
"Enggak papa santai aja." Veni tertawa dam kemudian lanjut berjalan ke bangkunya. Setidaknya perasaannya kali ini lebih plong tidak seperti tadi yang kesal dan semuanya rasanya mengganjal di hati.
"Oiya, Pak lagian bapak suka sama saya juga enggak masalah itu hak bapak saya cuma heran aja kenapa orang kayak saya disukain padahal enggak ada apik-apiknya," ucap Veni lagi saat dia sudah duduk di bangkunya.
"Ya itu tadi namanya perasaan enggak ada yang tahu. Apalagi kamu seruangan terus sama saya. Saya enggak sempet juga kenal wanita lain. Awalnya yakin bisa sama kamu eh keduluan orang lain."
"Hahaha ... enggak jodoh, Pak. Semoga aja jodohnya bentar lagi dateng ya...." ucap Veni sambil tertawa.
"Aamiin. Semoga aja ya kalau bisa kayak kamu deh."
"Ya kalau bisa lebih dari saya, Pak ngapain kayak saya."
"Menurut saya kamu udah lebih kok." Veni menatap datar bosnya.
"Udah-udah biasa aja tatapan kamu baru juga kita damai. Maaf tadi saya cuma bercanda loh."
"Hahaha ... iya, Pak." Tidak ada lagi obrolan antara mereka. Veni fokus lagi dengan kerjaannya begitupun dengan Mario. Hatinya plong saat ini ketika resignya sudah di acc dan besok akan menjadi hari terakhirnya bekerja. Ah, dia sedih tapi dia juga senang karena dia bisa resign dengan baik-baik tanpa adanya kebencian dengan atasannya yang sudah memberikannya pekerjaan beberapa tahun ini.