"Mencoba lagi untuk berbicara."
***
"Mario aku tadi udah bilang sama Pak Bram dia malah pergi begitu aja dikiranya aku ke luar karena gajiku dipotong," ucap Veni yang sedang menggosok baju sedangkan Mario berkutat dengan ponselnya.
"Lah gaji kamu dipotong? Kenapa?" tanya Mario yang malah tidak tahu kalau gaji istrinya itu dipotong. Apakah istrinya melakukan kesalahan atau apa.
"Oiya aku belum cerita ya ke kamu."
"Kamu ada masalah di Kantor?" tanya Mario.
"Heem."
"Coba cerita. Lagian kamu udah dibilangin nyetrika biar pembantu aja ngapain si malem-malem nyetrika."
"Gamau orang aku juga nyetrika baju Kita kok. Kecuali kalau serumah baru aku angkat tangan. Lagian kalau aku enggak gerak badan kayak capek gitu," ucap Veni lagi masih dengan gosokan bajunya yang menumpuk.
"Yaudah sini gantian." Mario bangkit dan mendekat ke arah istrinya.
"Lah kerjaan kamu gimana? Katanya tadi mau nyelesain kerjaan."
"Udah selesai."
"Hm beneran enggak papa? Tapi kamu licin sama rapi enggak gosoknya aku males kalau kamu gosoknya enggak rapi."
"Ck iya rapi-rapi kamu takut banget deh. Tenang aja ama aku terkendali." Veni menatap Mario datar. Dia lantas bangkit dan mempersilahkan Mario yang menggosok sedangkan dirinya ingin duduk di sofa kamar mereka tapi Mario malah menyuruhnya ke kasur.
"Kamu mau ngapain disitu? Mending kamu di kasur aja sana istirahat."
"Enggak ah nanti malah ketiduran."
"Enggak papa, Veni udah sana kamu di kasur aja." Veni pun mau tidak mau berjalan ke kasur.
"Jadi gimana? Kamu kok belum cerita kalau gaji kamu dipotong? Kalau gitu kamu ke luar aja ngapain segala kamu tetep di sana kalau gaji kamu dipotong."
"Iya jadi tuh waktu itu aku bosen kerja di ruanganku. Aku akhirnya ngerjain kerjaan aku di ruang kerja divisi yang sama temen-temen to."
"Heum terus?" tanya Mario lagi sambil serius menggosok.
"Gara-gara Dewi ngatain aku hamil duluan karena nikahnya dadakan. Aku yang biasanya diem aja aku ga terima dong, Mar. Yaudah aku bales juga Dari pada kamu udah berumur belum nikah juga. Aslinya aku tahu mulutku jahat banget. Tapi, itu kayak refleks aja gitu, Mar. Terus dia langsung datengin meja ku dan jambak hijab aku coba. Temen-temen udah misahin tapi tangannya dia cepet banget aku pun sampe pusing palaku. Terus Pak Bram dateng yaudahlah aku sama dia dipanggil ke ruangannya." Mario yang mendengar Veni dijambak langsung saja memutar tubuhnya ke belakang.
"Kamu dijambak sama, Dewi? Siapa itu Dewi. Bar-bar banget jadi cewe. Besok aku mau ketemu sama dia."
"Eh mau ngapain?" tanya Veni lagi dengan bingung.
"Ya nyamperin dia lah. Bisa-bisanya dia bar-bar sama kamu. Mulutnya pedes banget lagi. Enak aja bilang kamu nikah duluan nyentuh kamu aja enggak langsung pas malem pertama." Veni seketika memerah mengingat hal tersebut.
"Udah ah Jan dibahas mulu. Malu tahu."
"Wkwkw ... yaudah lanjut lagi terus kamu yang disalahin terus gaji kamu dipotong gitu?" tanya Mario lagi padahal sebelumnya tadi dia terkekeh.
"Ya enggak langsung dipotong kita juga dipanggil dulu tadi. Dia sih yang paling diomelin aku enggak terlalu."
"Terus sanksi dia apa bikin keributan gitu?"
"Discros minggu ini, Mar. Terus gajinya dipotong 50%."
"Hmmm baguslah kalau gitu aku kira kamu doang yang dipotong udah mau aku ocehin kalau gitu. Ya tapi, tetep aja kamu juga dipotong? Udahlah enggak usah kerja. Ngapain ujung-ujungnya kamu juga dipotong."
"Tapi aku dipotong enggak sampe 50% kok cuma 20%."
"Ya tetep aja dipotong. Udahlah besok aku ke kantor kamu aja."
"Eh enggak usah buat keributan, Mar. Aku bakal coba bilang lagi kok nanti kalau aku mau resign tadi tu aku udah bilang tapi Pak Bram enggak terima terus ke luar dan enggak balik lagi yaudahlah besok aku coba lagi."
"Kenapa kamu enggak boleh ke luar? Bos kamu itu belum nikah kan, Ven?" tanya Mario lagi.
"Iya, belum. Tapi, kan setidaknya udah tahu aku mau resign cuma ya itu dia enggak bolehin karena nyari sekretaris lagi itu susah."
"Halah kalau niat ya pasti bisa seleksi lagi. Kenapa harus kamu? Yaudah besok kamu bilang lagi kalau kamu mau resign kalau enggak boleh juga hari seterusnya enggak usah masuk."
"Ih masa lepas tanggung jawab gitu aja si, Mar. Akunya yang enggak enak aku kan udah dibantu bisa kerja sama dia lama jadi sekretaris di mana banyak yang mau posisi itu masa aku tiba-tiba ke luar gitu aja. Kan aku jadi enggak enak nantinya."
"Ya mau gimana lagi. Kamu belain bos kamu?"
"Bukan belain. Lah kalau aku main ke luar nanti aku enggak dapet gaji aku dong. Walaupun, kemarin sempet cuti tapi setidaknya masih ada gaji juga kan aku. Nanti kalau enggak diambil sayang, Mar."
"Enggak usah sayang nanti aku yang bayar berapa emang yang harus dibayar?" tanya Mario.
"Emmm 100juta."
"Masa gaji kamu ampe 100juta." Mario langsung menengok ke arah Veni. Veni hanya tertawa melihat komuk Mario. Bisa-bisanya suaminya itu percaya kalau gajinya sampai segitu. Mana mungkin gaji segitu dia pasti sudah invest untuk membuat perusahaan kecil-kecilan sendiri juga.
"Kenapa malah ketawa?"
"Ya kamu lucu lagian percaya aja. Ya enggak lah yakali gaji aku segitu." Mario menatap datar istrinya dan melanjutkan kerjaannnya menggosok lagi.
"Kok gosok segini pegel ya punggung aku, Ven. Kamu kalau gosok enggak pegel? Udahlah besok enggak usah gosok lagi biar pembantu. Segini aja udah capek banget."
"Dih baru juga segitu udah capek aja. Gimana kamu gosok pas lagi banyak."
"Ya makanya kamu enggak usah gosok lagi biar enggak capek sayang. Lagian aku nikahin kamu bukan untuk jadi pembantu kok."
"Dari dulu aku udah biasa gosok sendiri, Mar. Jadi, kayak yaudah emangnya kenapa kalau gosok itu capek. Apalagi kalau gosok pakaian suami itu dapat pahala tahu. Akukan mau cari pahala."
"Yaudah nanti pahalanya bagi-bagi ke aku ya." Veni gantian tertawa dan menggelengkan kepalanya.
"Jadi si Dewi itu sekarang udah masuk belum?" tanya Mario.
"Belum."
"Yang mana si orangnya? Aku penasaran. Mukanya tua? Kok sampe kamu bilang dia belum nikah."
"Dia itu umurnya 30 an, Mas tapi belum nikah. Seharusnya aku enggak ngomong kayak gitu kan jodoh urusan Allah tapi akunya yang kemarin jahat juga ngomongnya ke dia."
"Enggak sih menurut aku. Lagian dia juga yang mulai kecuali kamu yang mulai."
"Tetep aja aku merasa enggak enak dan merasa bersalah. Belum sempet minta maaf juga."
"Dia juga belum tentu minta maaf sama kamu."
"Minta maaf duluan kan bukan berarti kita kalah lho, Mar. Melapangkan d**a kita untuk selalu sabar."
"Emang enggak salah aku pilih istri ternyata."
"Halah gombal. Buaya mah kalau ngomong Manis dah enggak ngaruh buat aku, Mar."
"Wkwkwk salah lagi. Aku udah serius lho sama kamu tapi kamu malah bilang aku buaya terus."
"Soalnya kamu mantan buaya jadi mana bisa aku percaya."
"Iyadeh seterah kamu aja. Yaudah kamu istirahat aja sana biar aku selesiin. Besok ngomong lagi sama Bos kamu kalau tetep enggak boleh nanti biar aku yang maju ngomong juga." Veni pun mengangguk. Dia mengambil posisi tidur yang nyaman membiarkan suaminya menggosok. Lagian matanya juga sudah sangat mengantuk.
"Night, Mar. Aku tidur duluan ya...." Mario pun mengangguk.
Mario POV
Mario melihat ke arah Veni. Istrinya itu sepertinya sudah tertidur. Ah, pinggangnya rasanya mau copot menyetrika baju-baju ini. Mario bangkit lantas dia memasukkan beberapa pakaian ke keranjang lagi. Setelah itu dua ke luar kamar.
Di tangga dia berpapasan dengan Mamanya, "Mario ngapain kamu jam segini belum tidur? Itu juga ngapain bawa keranjang pakaian jam segini?" tanya Mario lagi.
"Ma bibi udah pada tidur belum ya jam segini?"
"Kenapa emangnya?"
"Suruh gosokin baju ini, Ma. Tadi Mario udah gosok setengah pinggang Mario pegel banget."
"Yaudah besok aja ngapain malem-malem gini jam kerja mereka udah selesai, Mar."
"Aduh, Ma nanti kalau Veni tahu berabe."
"Kamu yang nyuruh gosok baju segini banyaknya dia?" tanya Mamanya.
"Ya enggak. Tadi dia yang gosok terus aku kasihan ya aku gantiin dong, Ma. Kalau kejadian sesuatu sama anak aku atau cucu Mama gimana gara-gara dia kecapekan ya makanya aku yang gantiin."
"Ya maksud, Mama kenapa enggak nyuruh Bibi aja kenapa harus dia sendiri yang nyetrika istri kamu beneran sengaja bikin anaknya enggak sehat apa, Mar?!"
"Aduh, Mama jangan kenceng-kenceng udha buruan ayo bangunin Bibi buat nyetrika in ini bajunya takutnya nanti Veni kebangun belum selesai atau apa aku udah pegel banget ini, Ma." Mario menarik tangan satu Mamanya sedangkan satu lagi Mario pun memegang bajunya tadi.
Mamanya mendesah tapi Mario tidak ambil pusing dia tetap menarik tangan Mamanya untuk membantu membangunkan pembantunya.
Setelah mereka sampai akhirnya Mario menyuruh pembantunya itu menggosok baju mereka tadi dengan cepat tapi rapi dan licin jangan sampai istrinya pun tahu kalau bukan dirinya yang menyetrika.
Sedangkan Mario dan Mamanya menonton televisi sambil menunggu pembantu Mario menyelesaikan pekerjannya. "Mario istri kamu masih aja kerja? Sampai kapan?" tanya Mamanya.
"Udah bilang sama atasannya katanya masih enggak boleh."
"Loh kenapa masa orang mau resign ditahan-tahan. Aneh banget."
"Ya soalnya posisi dia 'kan sekretaris juga, Ma ya wajar aja si kalau susah ganti sekretaris."
"Ya terus sampai kapan nanti kalau keguguran kayak Bhiya jadi susah punya anak gimana? Kamu mikirin ke sana enggak sih?!"
"Ya aku mikirin cuma mau gimana lagi, Ma. Udahlah dicoba ditunggu dulu. Lagian doa Mama juga jelek sih. Masa doain istri aku keguguran sih."
"Ya makanya kamu harus tegas sama istri kamu. Mama aja nyuruh Marvel tegas sama istrinya kalau perlu dia nikah lagi aja dah Dari pada istrinya enggak hamil juga."
"Hmmm...."
"Den, Bu ini pakaiannya sudah saya setrika semua." Pembantunya datang menghampiri mereka.
"Cepet banget, bi. Ini beneran enggak ada yang lecek lagi kan? Nanti istri saya ngulang kalau ada yang lecek."
"Mario Bibi kan juga biasa nyetrika baju, Mama dan fine-fine aja kok enggak ada lecek kamu lebay banget deh."
"Ya dari pada Veni ulangin sayang, Ma. Jadi, yaudah aku tanya sekalian lah."
"Udah-udah. Bi kasih bajunya ke Mario. Mario kamu ke kamar besok harus kerja." Mamanya tidak mau ambil pusing dengan keributan hanya karena masalah baju. Mario pun mendesah permintaan Mamanya tidak bisa dia tolak. Sampai akhirnya dia pun membawa baju itu ke kamarnya.
Sampai di kamar dia melihat Veni masih tidur. Untung saja wanita itu masih tidur coba tiba-tiba bangun dan melihat Mario menyuruh pembantunya.
"Huft ... dahlah tidur." Baru mau tidur dia ingat kenapa enggak sekalian baju yang sudah disetrika dimasukkan lemari saja dari pada nanti Veni yang memasukkan terus malah gadis itu tahu dan akhirnya dia ulang. Capek-capek pengorbanannya untuk setrika malah diulang. Ya walaupun, pembantunya yang setrika.
Mario lantas langsung saja bangkit lagi dan membereskan pakaiannya di lemari. Setelah semua masuk dia baru bisa tertidur dengan tenang.
***
Pagi harinya Mario belum bangun padahal Veni sudah selesai mandi. Kalau kayak gini dia bisa telat kerja nanti.
"Mario bangun. Udah siang kamu mau kerja jam berapa ini aku nanti berangkatnya juga kesiangan." Veni menggoyangkan suaminya agar bangun. Tidak ada pergerakan laki-laki itu selalu saja menyebalkan.
"Mario kamu mau berangkat jam berapa si ini udah jam 7, Mar. Nanti telat. Kamu juga enggak bangun solat subuh gimana sih!"
"Ngantuk, Ven capek aku enggak usah kerja dulu deh."
"Capek ngapain kamu aja enggak ngapa-ngapain bisa-bisanya bilang capek."
"Aku semalem gosok, Ven ngantuk sekarang semalem selesainnya udah larut malam."
"Ck kan aku enggak nyuruh kamu juga yang mau. Sekarang bangun, Mar aku udah siap mau ke kantor ini." Veni tetap menarik suaminya itu untuk bangun.
"Kelamaan ayo bangun sekarang! Kamu jangan nyebelin deh, Mar. Nanti aku berangkat sendiri nih."
"Enggak usah kerja dulu, Ven. Ijin aja dulu lagian kemaren aja bos kamu malah ninggalin kamu gitu aja. Udah enggak usah kerja lagi." Mario membalas ucapan Veni masih dengan malas-malasan. Matanya masih merem karena dia memang sangat mengantuk tidur malam. Ya, walaupun bukan dia yang menyetrika tapi tetap saja dia mengantuk karena harus menunggu setrikaan selesai.
"Yaudahlah aku berangkat kerja aja sendiri kalau kamu enggak mau kerja." Veni yang kesal pun akhirnya melepaskan tangannya dari Mario dan tidak lagi menyuruh Mario bangun. Jelas itu membuat Mario langsung membuka matanya.
"Ven ... Ven yaudah tunggu dulu aku mandi dulu ini. Iya aku anterin kamu."
"Udah enggak usah aku berangkat sendiri aja orang tadi kamu bilang capek 'kan habis nyetrika?" sindir Veni.
"Padahal, enggak ada yang nyuruh mau sendiri tapi ngeluh," ucap Veni pelan menyindir Mario lagi. Mario jelas mendengar sindiran Veni hingga membuatnya langsung bangun dari tidurnya.
"Iya-iya, Ven ini aku anterin kok kamu tunggu dulu sebentar."
"Enggak usah. Udah biar aku berangkat sendiri aja."
"Enggak. Masa aku biarin istri aku berangkat sendiri." Mario hendak mengambil handuk.
"Yaudah enggak usah mandi. Kalau kamu mandi aku tinggal berangkat sendiri. Aku enggak mau telat belum nanti jalanan macet." Mario pun menaruh lagi handuknya.
"Yaudah tunggu dulu aku mau cuci muka aja sama ganti baju masa aku pake baju tidur ke kantor kamu."
"Udah enggak usah gitu aja. Tadi, kamu bilang 'kan enggak mau kerja. Yaudah kamu anter aku aja. Lagian kasian Kak Marvel jadinya. Punya adek gini banget ini baru nyetrika loh, gimana kalau anak lahir malem minta s**u dan lain-lain apa enggak kamu marahin pasti."
"Iya-iya enggak maaf." Veni memutar bola matanya dia ke luar dari kamar lebih dulu. Selama hamil entah kenapa moodnya jadi sensi terus bawaannya. Padahal sebelumnya enggak pernah dia sewot berlebihan.
"Tungguin, Ven kamu mau ke luar duluan."
"Iya. Aku males nungguin kamu. Lagian aku tunggu dibawah juga paling juga di ruang makan emang lupa ruang makan di mana?!"
"Ya enggak tapi biasanya kamu nungguin aku dulu. Bentar, Ven ini lagi pake gesper dulu masih jam segini juga kamu kerja jam sembilan."
"Kan perjalanan paling sejam."
"Yakan kalau macet. Kalau enggak macet juga cepet kok." Veni memutar bola matanya malas dia malas berdebat dengan suaminya dia lantas membuka pintu kamarnya. Mario cepat-cepat menyusul istrinya.
Veni berjalan sedangkan suaminya berpakaian sambil berjalan. Veni ingin tertawa hingga sampai di ruang makan dirinya dia melihat Mama mertuanya ternyata Mama mertuanya sudah pulang.
"Eh, Ven udah bangun." Mamanya melihat ke arah Veni yang baru datang. Veni mengangguk dan tersenyum dia masih merasa canggung dan juga tidak enak masalah waktu itu walaupun hari ini Mamanya terlihat ramah tetap saja Veni masih kebayang waktu itu yang Mamahnya menyuruh dirinya berhenti kerja tapi belum juga dia berhenti.
"Iya, Ma."
"Astaga, Mario kalau pake baju jangan sambil jalan-jalan kayak gitu. Di kamar kek kalau ada tamu gimana?" ucap Mamanya lagi saat melihat Mario memakai celana sambil jalan. Padahal, laki-laki itu bisa berhenti dulu untuk.memakainya.
Veni melihat ke belakang dan menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia benar-benar menggunakan celana sambil jalan padahal Veni juga tidak akan berangkat sendiri kalau suaminya tidak mengizinkan berangkat sendiri.
"Kamu ngapain pake celana sambil jalan, Mar? Kan bisa pake celana dulu baru ke luar. Muka kamu juga masih lecek kamu mau ke kantor enggak mandi?" tanya Mamanya berturut-turut. Ah, Veni jadi ingin memenggal kepala suaminya itu. Ini sama aja membuat imagenya jelek.
"Iya, Ma tadi aku kesiangan sekarang mau buru-buru anter Veni kerja juga soalnya." Nahkan sekarang jadi Veni makin-makin merasa terpojok. Ahhh, Veni jadi bete sendiri rasanya.
"Oh pasti karena semalem—"
"Mama masak apa? Aku laper banget nih, Veni juga pasti udah laper banget. Anak kita udah pengen makan, Ma," potong Mario dengan cepat kalau dibiarkan Mamanya bisa keceplosan.
Veni mengerutkan keningnya, "Semalem? Semalem kenapa, Ma?" tanya Veni.
"Semalem itu emm...."
"Udah yuk makan aja," ucap Mario selesai menggunakan celananya lantas menyuruh Veni untuk duduk.
"Orang aku lagi nanya Mama semalem apa?"
"Semalem dia masak mie, Ven. Kebetulan Mama bangun yaudah Mama masakin aja soalnya katanya laper terus makannya sambil nonton tv jadi pasti dia begadang yakan, Mar." Mamanya mengelak dan melihat ke arah Mario. Mario pun mengangguk walaupun kini mata istrinya sedang memandangnya serius.
"Masa? Em kenapa enggak bangunin aku aja?" tanya Veni lagi.
"Ya masa cuma masak mie aja bangunin kamu yang istirahat aku juga bisa tapi Mama bangun dan mau.masakin yaudah aku mau aja."
"Tapi, kan aku istri kamu kasian Mama kalau semalem dia juga capek masak. Kamu itu aneh-aneh deh, Mar. Maafin aku ya, Ma." Veni jadi tidak enak karena yang masak jadi Mamanya pantas saja laki-laki itu kesiangan.
"Iya enggak papa. Lagian kamu juga lagi hamil harus istirahat yang cukup kamu kan juga udah Mama bilangin suruh resign tapi kamu tetep aja lanjutin terus. Sekarang kamu kapan resignnya?" tanya Mamanya seketika membuat Veni langsung jleb.
"Ma udah ah mau makan ini Veni nanti keburu telat juga." Mario langsung mengambilkan makanan untuk Veni sedangkan Veni tersenyum canggung bingung hendak menjawab apa.
"Iya kan Mama juga maksudnya baik takut kehamilan Veni kenapa-kenapa. Ven jangan marah loh sama Mama. Mama cuma takut aja kamu kecapekan atau ada sesuatu sama kandungan kamu. Mama sayang loh ingetin itu sama kamu. Takut kayak Bhiya yang keguguran eh sampe sekarang belum hamil lagi. Masa dia yang nikah duluan malah belum punya anak. Makanya Mama suruh kamu jaga banget kandungannya."
"Iya, Ma makasih ya. Cuma memang ada trouble yang buat Veni belum bisa resign kerja. Veni udah coba bilang buat resign jadi yaudah nanti aku coba bilang lagi ya, Ma. Lagian Mario juga udah buatin s**u dam selalu ingetin minum obat kok supaya bayinya tetep sehat. Aku minta doanya aja ya, Ma." Penjelasan Veni yang bijak mau tidak mau membuat Dian mengangguk walaupun tetap saja yang Dian mau itu Veni berhenti kerja. Temen-temen arisannya juga selalu mengingatkan untuk itu tapi kenapa dia mempunyai dua menantu yang gila karir sih jadi ribet sendiri sekarang.
"Yaudah lah, Ma. Nanti kalau enggak bisa juga biar Mario yang bilang. Ini kelamaan jadi aku bungkus aja deh makannya. Aku bawa pake tempat makan biar aku makan di Mobil."
"Loh enggak jadi makan di rumah dulu."
"Udah mau telat, Ma. Apalagi dari tadi Mama ajak ngomong mulu Veninya. Dah aku mau bawain tempat makan aja nanti aku makan di Mobil."
"Mario enggak sopan. Makan aja di rumah dulu aku enggak papa kok."
"Enggak, Ven kamu telat aku juga telat nanti jadi kita bawa aja nanti makan di Mobil." Mario pun memasukkan makanannya ke tempat makan. Dia malas kalau ada keributan pagi-pagi apalagi masih persoalan yang sama.
"Duh maaf banget ya, Ma. Mario kalau udah punya kemauan suka gitu. Sama urusan kerja tadi aku lagi usahain kok kalau nanti aku bakal resign. Makasih ya, Ma udah perhatian sama aku. Aku sayang banget sama Mama." Walaupun hati Veni rasanya tidak terima tapi dia mencoba untuk tetap welcome dengan Mama mertuanya itu. Apalagi Mama mertuanya itu kalau tidak di stop tidak bakal berhenti ngomong. Ah bisa-bisa dia tidak berangkat juga. Gini ya rasanya tinggal dengan mertua. Kayak kesel tapi ya mau gimana lagi.
***
Veni sudah berada di jalan bersama dengan Mario. Dia sedang menyuapi suaminya makan. Sedangkan Mario sedang menyetir.
"Kamu tu tadi ngapain minta dibawa aja si,Mar aku kan jadi enggak enak sama Mama. Kita jarang banget makan bareng kamu malah buru-buru pergi."
"Nanti kalau dilanjut kamu telat. Lagian bentar lagi juga kamu resign kan jadi bisa juga lah nanti sarapan tiap hari di rumah."
"Ya emang udah pasti? Nanti kalau enggak dibolehin juga gimana?" tanya Veni juga ragu kemarin saja dia udah ngomong tapi bosnya malah hilang dan enggak balik lagi sampai jam pulang kerja.
"Ya kalau enggak pasti aku yang bakal maju ngomong lah. Aku enggak mau ya, Ven kalau apa kata Mama bener. Aku enggak mau kamu atau anak kita kenapa-kenapa." Veni yang sedang menyuapi suaminya terdiam.
"Iya tapi yang aku pikirin lebih ke gini sih, Mar. Aku masuk baik-baik selama ini aku juga enggak pernah ada masalah sama mereka. Baru-baru ini aja aku buat masalah belum lagi to ya, Mar aku sampe jadi sekretaris Pak Bram itu waktu awalnya susah banget coba."
"Kamu satu ruangan kan sama Pak Bram? Dan itu cuma berdua. Belum lagi Pak Bram belum nikah kamu paham enggak jadinya perasaan aku?" tanya Mario gantian.
"Kamu tahu sebenernya hukumnya dari awal tapi kamu melabeli itu emang cuma kerjaan. Enggak salah emang tapi—"
"Iya, Mar enggak perlu kamu lanjutin aku paham kok." Veni memotong ucapan Mario.
"Tapi, aku benar-benar enggak ngapa-ngapain juga, Mar. Aku bener-bener cuma kerja Pak Bram juga enggak pernah aneh-aneh. Lagian ga mungkin seorang Pak Bram juga bakal ngelakuin hal yang enggak-enggak."
"Aku percaya tapi mana ada si satu ruangan terus ke mana-mana bareng. Aku tadinya gitu tapi sekarang aku kasih ruangan sendiri buat sekretarisku. Dia enggak lagi satu ruangan sama aku."
"Tuhkan kamu enggak bilang malah."
"Ya aku udah mindahin dia setelah aku nikah sama kamu. Itupun karena dia bilang suka sama saya. Dia bilang sekretaris bareng terus sama bosnya jadi dia yakin banget aku suka sama dia padahal enggak sama sekali." Penjelasan Mario benar-benar membuat Veni merasa benar-benar spechelees.
"Yaudah nanti aku usahain untuk bisa ya ke luar dari kerjaan. Minggu depan semoga udah beres juga. Maaf ya aku suka ngecewain kamu terus. Padahal kamu udah baik sama aku."
"Iya udah kalau bos kamu masih gitu bilang aja sama aku. Biar aku yang ngomong masa kerja dipaksa enggak boleh ke luar. Dulu enggak ada perjanjian kontrak gitu kan antara kamu sama dia?" tanya Mario lagi.
"Enggak ada aku juga dulu enggak kepikiran bakal jadi sekretaris kok. Soalnya banyak yang lebih senior aku kira yang diangkat bakal yang senior ternyata aku. Yaudah aku bersyukur dong." Mario pun berusaha untuk memahaminya karena dia juga seorang atasan jadi dia tahu kalau memilih sekretaris juga salah satu sisi tidak mudah.
"Yaudah kamu makan juga susunya minum kita udah mau sampe ini." Veni melihat ke depan. Sebentar lagi mereka sampai tempat kerja Veni.
"Kamu jadi ke kantor? Masa kamu ke kantor enggak mandi enggak rapi kayak gini?" tanya Veni lagi.
"Gatau entar kalau males ya enggak kerja kalau rajin kerja."
"Dih gitu masa. Ya kerja lah Mario bentar lagi kamu mau punya anak kalau enggak kerja anak kamu mau dikasih makan apa?!"
"Tenang aja tabungan aku masih banyak bahkan sampe tujuh turunan aman." Mario mengatakan hal tersebut dengan sombongnya.
"Ck sombongnya kumat deh. Kamu kebiasaan banget. Inget kalau Allah berkehendak Kun fayakun harta kamu ludes nanti karena kamu kufur."
"Oiya astagfirullah maaf ya Allah Mario tadi cuma bercanda aja." Veni tertawa melihat kelakuan suaminya itu. Semoga saja kehidupan rumah tangganya semakin harmonis ke depannya. Alhamdulillahnya selama dia menikah dia belum menemukan duri-duri yang membuatnya sakit hati. Semoga saja tidak ada. Dan kalaupun ada semoga aja dia bisa menjalaninya dengan baik bersama Mario.
"Ngapain kamu lihatin aku? Aku emang ganteng, Ven tapi kamu ngelihatinnya jangan gitu banget deh." Veni langsung menatap Mario datar.
"Dah ah buka pintunya udah sampe masih aja pintunya di kunci."
"Sayang dulu. Enak aja langsung turun masa cuma Salim doang emang aku Abi kamu yang anter anak sekolahnya pas sampe cuma Salim aja." Veni tertawa lagi.
"Hahaha ... lagian biasanya juga gitu."
"Tuhkan lupa. Orang biasanya juga kamu sayang aku kok. Kebiasaan ya kamu lupa mulu setiap hari."
"Ya maklum aja akukan ga kayak mantan kamu yang setiap pamit cipika-cipiki jadi sudah berapa banyak cewe yang kamu ajak cipika-cipiki kalau mau pisah, hm?" tanya Veni lagi. Mario pun jail untuk menggoda Veni.
"Emm ... lumayan si."
"Ah berarti aku dapet bekas dong? Enggak asik banget sih."
"Wkwkw ... enggak sayang bercanda mereka enggak pernah kok cium aku."
"Iya tapi kamu tidurin iyakan?" tanya Veni lagi.
"Astagfirullah dosa loh kamu fitnah suami enggak boleh ngomong kayak gitu tahu sama suami sendiri orang yang udah aku tidurin cuma kamu apalagi sampe melendung gitu perutnya." Veni tertawa lagi.
"Udah ah kapan selesainnya kalau ngomong mulu aku mau masuk ni."
"Wkwkw iya-iya. Sini sayang dulu." Veni tersenyum kemudian dia mendekat ke arah suaminya. Mario mengecup kepala istrinya dengan sayang. Setelah itu dia mengelus perut istrinya.
"Anak Papa jangan nakal ya. Jagain, Mamanya kerja. Dadah sayang. Muach...."
"Dahkan? Ada lagi gak?" tanya suami lagi.
"Em ... sekarang enggak dulu deh. Gatau nanti di rumah hehehe....."
"Kamu ini. Yaudah gih turun atau mau dianterin sampe dalem?"
"Wkwkw enggak usah. Yaudah aku berangkat kerja dulu ya, Mar. Doain aja semoga aku bisa resign kerja."
"Aamiin sayang. Semangat kerjanya."
"Iya, Mar. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Veni ke luar dari mobilnya. Selama ini dia masih tetap saja belum bisa memanggil Mario selain dengan sebutan Mar. Entah kenapa dia juga ingin sebenernya memanggil dengan sebutan berbeda tapi rasanya masih sulit.
Setelah Veni turun Mario melabaikan tangannya disambut hangat juga lambaian tangan Veni. Mobil berlaju pergi kemudian Veni masuk ke dalam kantornya. Keadaan sudah ramai Veni melihat jamnya di pergelangan tangan. Masih aman jam segini belum telat juga. Walaupun, biasanya dia berangkat lebih pagi.
***
Veni masuk ke dalam melihat teman-temannya yang sudah pada datang. "Pagi semua," sapa Veni ramah seperti biasanya.
"Pagi, Veni."
"Pagi, Bu Veni." Memang ada beberapa temannya yang memanggilnya Veni atau By Veni. Biasanya yang memanggilnya Bu Veni itu masih karyawan baru atau bawaannya. Kalau rekan sepantaran biasanya Veni menyuruh mereka memanggil Veni dengan sebutan nama saja biar akrab dan tidak canggung.
"Tumben jam segini baru dateng, Ven. Biasanya pagi udah dateng," ucap Rio yang berada di mejanya.
"Hahaha iya nih, Mar. Tadi aku kesiangan untung jalannya juga enggak macet."
"Aduh emang kalau udah punya suami enak ya. Kesiangan dianter."
"Hahaha makanya nikah, San."
"Ah, kamu ini Ven mentang-mentang udah nikah sombongnya."
"Hehehe enggak-enggak bercanda, San."
"Btw Pak Bram udah ada di ruangannya, Ven tadi lo ditanya gue bilang aja belum dateng." Veni langsung mengerutkan keningnya. "Pak Bram udah dateng? Emang jam kantor di majuin? Kok udah dateng? Saya belum telat kan seharusnya?"
"Belum kok santai aja ya tapi enggak tahu kalau ada jadwal rapat atau meeting gitu? Bukannya biasanya emang berangkat pagi?" tanya Dea lagi.
"Iya emang tapi hari ini enggak ada jadwal yang harus dateng pagi kok." Veni mengingat-ngingat memang tidak ada perasaan jadwal yang pagi tapi kenapa bosnya itu sudah datang apa ada sesuatu kah.
"Oh yaudah paling emang lagi pengen berangkat pagi aja. Positive thinking aja lah," ucap mereka dan saling mengangguk.
"Yaudah aku ke ruangan dulu ya teman-teman. Semangat pagi kalian jangan lupa berdoa sebelum mulai kerja biar kerjanya berkah." Seperti biasa Veni selalu menyebarkan positive vibes ke rekan-rekannya. Walaupun beberapa orang tetap saja ada yang tidak menyukainya.
"Iya, Veni."
"Iya, Bu Veni. Bu Veni juga semangat mengawali pagiii...."
"Hahaha terimakasih saya ke ruangan dulu ya." Veni berjalan ke ruangannya.
"Bu Veni tu ramah ya, Kak mukanya tu enak banget dilihat pasti suaminya bahagia banget punya Bu Veni."
"Iyalah pasti, lihat tu si Faiz dia pernah nembak Veni aja ditolak. Ampe belum move on sampe sekarang yakan, Iz," ucap Dea kepada Faiz rekannya. Faiz hanya mendengus saat sahabatnya itu membawa nama dirinya.
"Wkwkw ... tenang Kak Faiz semoga aja jodohnya nanti cepet dateng yang kayak Bu Veni."
"Aamiin...." ucap semua. Kalau pagi mereka memang masih sering bercengkerama. Tapi, nanti kalau sudah fokus kerja keadaan hening. Setelah makan siang apalagi lebih hening karena ngantuk lelah sudah biasa kalau lingkungan kerja.
"Sebenernya enak ya jadi Veni. Dia kayak emang deket sama Pak Bram dikira endingnya bakal kayak cerita-cerita w*****d. Sekretaris dengan CEOnya ah indah banget apalagi mereka satu ruangan gitu.
"Hahaha iya juga sih. Udah ah ngapa jadi gibah lagian suami Bu Veni lebih kaya katanya."
"Walaupun, lebih kayak juga mereka menikah dengan taaruf jadi menurut ku ya Islami banget."
"Halah, Islami banget tapi mau satu ruangan berdua doang sama bosnya kalau ngapa-ngapain kita enggak tahu." Dewi tidak ada lagi-lagi ada saja biang kerok yang menyindir Veni padahal Veni sudah masuk ke ruangannya.
"Heh Bu Yunia dijaga omongannya. Mereka kerja professional enggak kayak kalian. Ngurusin hidup orang aja," ucap Tia lagi. Tia sebenernya tidak terlalu takut dengan senior tapi kalau Dewi kemarin sebenernya pengecualian.
"Halah kamu masih junior saya belagu."
"Udah, Ti jangan cari gara-gara nanti kamu kena aja. Kan kamu masih butuh kerjaan kan jangan sampe kamu ribut terus dipecat loh. Iih ngeri," ucap Ridwan lagi.
"Hmm...." Tia pun membuang mukanya secara kasar dengan Yunia itu. Dia juga salah satu senior yang tidak suka dengan Veni karena dia yang lebih dulu tapi Veni yang diangkat duluan.
***
Veni masuk ke dalam ruangannya. Benar saja di dalam sudah ada bosnya. Dia pun jadi deg-degan sendiri. Baru kali pertama ini selama dia menjadi sekretaris bosnya berangkat duluan dibandingkan dengan dirinya.
"Assalamualaikum, pagi, Pak," ucap Veni ramah di depan pintu.
"Duh bingung ini masuk engga ya. Apa nunggu dipersilahin dulu. Apa langsung masuk aja? Duh, aku bener-bener bimbang banget ini," batin Veni.
"Kamu ngapain masih di depan pintu bukannya masuk?"
"Hmm, eh? Iya, Pak soalnya bapak enggak jawah salam saya. Saya kira bapak udah pindah agama." Aduh Veni keceplosan. Bisa-bisanya dia ngomong ngasal dengan bosnya.
"Eh, maaf banget Pak Bram tadi saya cuma bercanda duh maaf banget, Pak." Bosnya terlihat sedang menahan tawa menurut Veni tapi bosnya itu dingin dan cuek mana mungkin tertawa hanya karna kebodohan dirinya.
"Udah buruan masuk kamu sampe kapan disitu."
"Lah salam saya enggak dijawab beneran, Pak? Kalau bapak pindah agama maksudnya besok kalau bapak berangkat duluan saya enggak Salam lagi gitu, Pak."
Aduh keceplosan lagi, "Maaf-maaf, Pak."
"Waalaikumsalam. Udah masuk. Nanti habis makan siang saya mau ngomong sama kamu." Bram terlihat bangkit dari duduknya. Veni malah mengerutkan keningnya bingung.
"Loh, Bapak kok malah ke luar? Bapak enggak nyaman ya kalau saya masuk atau saya telat duh, Pak. Saya mau resign enggak mau bikin musuh. Jadi, maafin saya ya Pak yang tadi."
"Emang saya bolehin kamu resign?" tanya Bram saat sudah di depan Veni ada beberapa jarak tidak terlalu dekat. Veni gugup tapi bukan karena perasaan karena baru kali ini dia depan bosnya. Mana kelihatannya bosnya marah lagi.
"Tapi, Pak."
"Udah minggir saya mau lewat," ucap Bram lalu menyuruh Veni untuk geser agar tidak menghalangi jalannya yang mau lewat. Veni pun mengangguk dengan takut-takut dan membiarkan bosnya itu ke luar ruangan.
"Hufttt...." Veni menghembuskan napas lega setelah itu dia masuk dan duduk di tempatnya. Dia benar-benar tidak mengerti ada apa dengan bosnya itu.
Veni menaruh tasnya lalu dia duduk di kursinya. Mengambil minum dari tasnya dan kemudian meminumnya. Setelah selesai minum dia jadi kepikiran masalah tadi apa itu artinya bosnya benar-benar tidak memperbolehkannya resign. Duh gimana ini kalau sampai dia tidak bisa resign baik-baik yang ada malah Mario yang maju dan kalau Mario yang maju dia main takut akan semakin horor.
"Duh tadi Pak Bram mau ngomongin apa ya habis makan siang. Kalau ngomongin enggak boley resign bisa gaswat aku. Tapi, yaudahlah lihat nanti aja dulu. Semoga aja enggak ada-apa." Veni berusaha untuk berfikir positif kali ini.
Veni mengeluarkan laptopnya dan beberapa proposal kerjanya. Dia enggan berfikiran buruk. Kita lihat saja nanti setelah makan siang. Bosnya itu akan membicarakan apa kepadanya.Semoga saja keburuntungan untuknya dan bukan hal buruk serta Veni harus mempersiapkan hal tersebut. Bismillah semoga ada kabar baik tentang resignya. Ya,semoga saja!