"Laki-laki itu selalu saja membuatnya kesal."
***
"Ven udah dong marahnya kamu dari tadi diemin aku. Udah mau sampe rumah ni enggak enak kalau kita diem-dieman." Veni masih saja kesal dengan suaminya itu. Ingin rasanya mencakar wajah suaminya.
Veni dan Mario sudah sampai di caffe tapi saat mereka sudah menunggu temannya tidak kunjung datang juga. Veni sudah lelah menunggu dan malas.
"Mana lama amat si enggak dateng-dateng."
"Emm ... orangnya enggak jadi dateng, Ven katanya enggak bisa."
"Astagaaaaaa, Mario!!! Terus dari tadi kita di sini ngapain kalau dia enggak bisa dateng."
"Ya aku nunggu kamu nanya dulu."
"Terus kalau aku enggak nanya tadi enggak bakal pulang kita?!"
"Ya pulang kalau udah malem." Veni benar-benar ingin marah tapi rasanya sia-sia saja. Dia lantas bangkit dan berdiri meninggalkan Mario.
Entah kenapa masalah ini saja membuatnya ingin menangis, ada apa dengan dirinya. Padahal, dia bukan gadis yang cengeng.
"Veni tunggu, Ven. Veni aku minta maaf." Mario tetap mengejar istrinya itu. Veni berjalan cepat meninggal Mario.
Mario akhinya bisa menggapai Veni. Dia menggandeng tangan Veni sampai ke parkiran walaupun gadis itu sedari tadi menolaknya tapi dia tetap memaksa hingga membawanya sampai mobilnya. Tapi, selama ini istrinya sama sekali tidak mau berbicara dengannya. Dia hanya diam saja dan tidak menggubris Mario.
***
"Buka pintunya aku mau turun." Veni tidak bisa membuka pintu mobilnya karena Mario.
"Enggak kalau kamu enggak mau maafin aku."
"Ck. Buka Mario aku mau turun."
"Kalau kamu diem mulu aku enggak bakal buka." Veni dengan kesal pun ingin membuka sendiri dan mendekat ke arah Mario. Tapi, yang Mario lakukan malah menangkup pinggang Veni. Veni terdiam saat pinggang Mario memegangnya. Rasanya malah ingin muntah.
"Mar ... lepas...."
"Gak aku enggak mau." Veni semakin tidak kuat menahan rasa mualnya. Karena Mario makin menggenggamnya erat sehingga dia pun muntah di wajah Mario.
Uekkkk....
Uek....
Hal itu terulang sampai tiga kali. Setelah muntah Veni jadi makin lemas entah kenapa. Kepalanya terasa berputar-putar.
"Veni ... astaga Veni kamu muntah."
Uek....
Veni sudah tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Pandangannya mengabur sampai saat itu dia tidak lagi sadar apa yang terjadi selain panggilan dari Mario.
"Veni kamu kenapa?"
***
Mario POV
Niatnya tadi ingin mengerjai Veni dan mencium bau Veni selalu membuatnya candu untuk mendekat. Tapi, saat dia ingin lebih tiba-tiba saja dia Veni muntah di wajahnya. Mario tadinya ingin marah karena Veni memuntahkannya si wajahnya. Tapi, wajah Veni yang benar-benar pucat membuat dirinya langsung panik.
"Veni kamu kenapa?" Tiba-tiba saja Veni langsung pingsan. Mario langsung panik. Tiba-tiba saja jendela mobilnya di gedor.
"Heh ngapain lu m***m di Mobil di kamar ke lo!" Mario kesal Marvel langsung menerkanya begitu padahal tidak seperti itu walaupun tadi sempat ingin seperti itu. Ah, sudahlah sekarang yang harus dia pikirkan gimana dengan Veni. Dengan susah payah, dia membuka jendela mobilnya.
"Heh lo—"
"Gausah bacot gue enggak mesum."
"Lah terus itu ngapain ampe Veni gitu? Muka lo juga kenapa itu dilumuri—"
"Bacot! Veni pingsan. Bukain pintu mobil situ bantu gue!" Mario kesal dengan Marvel yang banyak omong padahal dia sedang kesusahan.
"Hah pingsan!!!" Marvel pun dengan segera beralih ke samping. Dia membuka pintu sebelah. Mario pun dengan pelan membangunkan Veni untuk kembali ke samping lagi. Mario langsung mengambil tissue untuk mengelap wajahnya yang kena muntahan Veni.
"Eh ... eh mau ngapain lo?!" tanya Mario tidak terima saat tangan Marvel lancang ingin memegang Veni.
"Gue cuma mau bantuin lepas seatbeltnya, Mar."
"Gak ... gak! Gue bisa sendiri. Jauhin tangan lo dari bini gue. Mending bantuin gue telepon dokter suruh ke rumah!" Mario lantas melepaskan seatbeltnya dan segera turun dari mobil.
"Minggir lo." Mario mendorong Marvel agar dirinya bisa mengangkat istrinya ke kamar. Setelah itu dia menggendong istrinya ke dalam.
***
Mario menggendong istrinya ke dalam, Marvel pun ikut ke dalam untuk mengambil ponselnya dan membantu adiknya menelepon Dokter. Mario langsung membawa Veni masuk ke dalam.
"Veni kenapa?" tanya Mamanya yang melihat Mario menggendong Veni.
"Enggak usah banyak tanya dulu bantu aku buat buka pintu kamar sama siapin bantalnya juga buat Veni."
"Iya-iya." Mamanya pun hanya mengangguk. Mario masih mendengar Mamanya menyuruh Bhiya dengan nada yang sudahlah Mario tidak peduli yang penting istrinya tidak apa-apa.
"Bhiya kamu buatin teh hangat buat, Veni buruan terus bawa ke kamarnya!"
"Iya, Ma."
Dian lantas mengikuti Mario dam berjalan lebih dulu ke kamar untuk membuat pintu. Setelah pintu dibuka dan bantal sudah disiapkan oleh Dian. Mario langsung menidurkan Veni.
"Gimana masih belum sadar?" tanya Marvel yang baru masuk.
"Mana dokternya gue kan tadi udah suruh telepon!"
"Udah gue telepon, Mar tapi kan enggak bisa langsung dateng sabar."
"Ma ini tehnya," ucap Bhiya yang baru masuk membawa tehnya.
"Lama banget sih, Bhiya kamu bikin teh gini aja enggak becus banget cuma bikin teh."
"Iya, Ma maaf." Dian pun menaruh tehnya di nakas.
"Ma gantiin Veni baju dulu aku juga mau ganti baju kena muntahnya, Veni," ucap Mario. Dian pun mengangguk mencarikan baju untuk Veni. Mario mengambil baju gantinya.
***
Mario benar-benar spechelees setelah mendengar informasi dari Dokter kalau Veni hamil. Mereka semua bahagia mendengarnya terutama Dian. Mario bingung harus senang atau sedih karena dia tidak pernah berfikir kalau akan menjadi seorang Ayah dalam waktu dekat.
"Makasih ya, Dokter," ucap Dian.
"Sama-sama. Jangan lupa untuk ke dokter kandungan juga ya untuk periksa kesehatan Ibu dan bayinya."
"Iya, Dok." Dian pun mengantarkan Dokter itu ke luar. Veni sudah sadar dia juga mendengar penjelasan dari Dokter pun menjadi haru. Dia tidak menyangka Allah memberikan amanah secepat ini kepadanya.
"Selamat ya, Ven. Kamu hamil," ucap Bhiya tersenyum. Mario melirik ke Bhiya tidak tahu dengan arti tatapan Bhiya. Bhiya juga tidak mau menengok ke arah Mario yang sedang memperhatikannya.
"Makasih ya, Mbak semoga Mbak Bhiya juga ketularan hamil lagi jadi kita bisa hamil sama-sama," jawab Veni. Bhiya tersenyum dan mengangguk, "Aamiin...."
"Yaudah aku ke luar dulu ya kali aja kamu butuh quality time sama suami kamu karena denger info dari dokter tadi." Veni jadi tersenyum malu.
"Makasih ya, Mbak." Bhiya pun mengangguk dan ke luar kamar diikuti Marvel di belakangnya.
"Selamat ya akhirnya kita mau jadi orang tua," ucap Mario di samping Veni.
Veni tersenyum, apakah boleh kali ini dia membuka hatinya untuk mencintai Mario. Apakah tidak akan masalah. Tapi, seharusnya memang begitu apalagi dia juga sudah hamil dari anak Mario.
"Ini enggak terlalu cepat kan? Kamu enggak papa?"
"Enggak justru aku malah bangga hasilnya jadi cepat." Veni menepuk pundak Mario.
"Ehmm ... Mar...."
"Kenapa? Kamu pengen sesuatu atau mau ada yang dibeli? Kamu bilang aja kalau mau sesuatu aku beliin biar anak kita enggak ngiler." Veni tersenyum padahal dia belum mengucapkan sesuatu tapi suaminya sudah memberondongi beberapa pertanyaan.
"Enggak."
"Terus mau apa? Ada yang sakit? Atau pinggang kamu pegel gitu karena hamil." Veni tertawa lagi malah membuat Mario bingung.
"Kenapa malah ketawa? Aku nanya serius lho, Ven. Kalau ada apa-apa bilang aja."
"Wkwkw ... enggak papa Mario. Aku belum ngomong lha kamu udah nanya terus aku jadi enggak ngomong-ngomong ini." Mario pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ya, menurut pengelamannya dia kan biasanya kalau istri hamil gitu.
"Ya takut ada yang sakit atau pinggang kamu pegel gara-gara hamil anak kita."
"Kan hamilnya juga belum gede, Mar. Jadi, gimana bisa pinggang aku sakit atau pegel kamu aneh-aneh aja deh."
"Emm ... yaudah gini aja kamu mau makan apa? Biasanya kalau orang lagi hamil pengen apa-apa kan. Coba bilang mau apa biar aku beliin."
"Hadeuh, Mario. Ini baru loh hamilnya aku juga belum pengen apa-apa kok."
"Kalau pengen apa-apa kamu harus langsung bilang ya sama aku. Pokoknya aku bakal turutin apapun mau kamu. Satu lagi kamu masih mau lanjut kerja?"
"Emm ... kamu bolehin aku lanjut kerja?" tanya Veni. Mario terdiam kalau dilanjut dia jadi kepikiran kalau nanti keguguran sama seperti Bhiya. Dia takut kalau. Ah sudahlah nanti saja itu dipikirin. Takutnya kalau nanti Veni marah kepadanya.
"Gimana?"
"Nanti aja kita bahas lagi. Kamu mau makan apa?" tanya Mario berusaha untuk mengalihkan percakapan soal itu. Dia bisa membahasnya nanti saja.