"Terlihat serius tapi apakah akan seterusnya?"
***
"Menurut gue sih ya sopan, Ven orangnya. Emang apa sih yang buat lo ragu?"
"Ck ... gimana gue enggak ragu orang baru kenal masa minta nikah."
"Iya juga sih. Tapi, kalau emang dia serius ya bagus dong."
"Gatau ah ... bingung gue tu."
Mereka sedang membahas soal pertemuan tadi. Walaupun, berkali-kali mendengar mereka setuju entah kenapa Veni masih ragu.
"Lo tu ragu menurut gue karena lo belum pernah deket aja sama cowo. Jadi, ya wajar aja lol ragu. Kalau gue yang udah sering sih menurut gue wajar aja."
"Sering apa?"
"Wkwkwk ... bukan sering sih, cuma emang pernah lah deket sama cowo. Tapi, dia kelihatan sopan banget sih."
"Iyasih. Umi sama Abi aja sampai suka sama dia. Apa ini kayak jawaban solat aku ya, Le?"
"Hmm bisa jadi sih. 'Kan jawaban bisa dari mana aja. Yaudahsih terima aja. Kali aja emang dia jodoh yang lu tunggu selama ini. "
Veni menghela napas panjang. Memang dia ingin segera menikah karena sudah umurnya dan tidak ingin orang tuanya dicerca karena dirinya yang juga tidak menikah. Tapi, bukan dengan cara ini sebenernya. Dia ingin menikah karena memang dia cinta dengan orang itu, bukan orang yang baru dia kenal lalu tiba-tiba mengajaknya menikah. Memang niatnya baik tapi....
"HALO!!! VEN! VEN!"
"VENI LO KE MANA SIH!" Teriakan kencang Lea membuatnya tersadar dari pikirannya.
"Ah ya? Kenapa?"
"Lo ke mana aja sih?! Gue pangil-panggil. Telponan sama gue tapi enggak tahu perginya ke mana."
"Sorry-sorry. Tadi, aku bengong. Yaudahdeh, Le. Makasih saran kamu dari tadi."
"Yaudah gue juga mau mandi dulu."
"Astaga lo belom mandi."
"Hehehe ... males banget tadi, Ven."
"Yaudah-yaudah sono mandi. Dasar jorok."
"Hmm ... bye. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Telepon pun mati.
"Apa iya niat tu cecengguk baik emang mau nikah sama aku?" Pertanyaan itu selalu memenuhi pikirannya. Walaupun, dalam hatinya juga sudah yakin dengan hal itu.
***
Seminggu sudah Veni menjalani hubungan lagi dengan Mario. Mario semakin baik dengan dirinya, ada rasa nyaman saat dirinya semakin hari bersama dengan Mario.
"Mar...." Untung pertama kalinya Veni mengajak Mario ngomong lebih dulu.
"Eh. Iya,Ven?"
"Aku serem banget sampe aku panggil kaget?"
"Enggak gitu, Ven."
"Dahlah skip."
"Eh tadi kenapa? Kok enggak jadi ngomong?"
"Gapapa."
"Kenapa, Ven?"
"Gapapa."
"Tadi mau ngomong?" tanya Mario terus.
"Gapapa."
"Gapapa terus."
"Ya gapapa." Veni terus menjawab hal tersebut berulang kali sambil memandang lurus ke depan tanpa melihat Mario yang menyetir di sampingnya.
"Berarti kalau kita nikah besok gapapa?"
"Gapapa...."
"Oke gapapa. Besok kita nikah."
1....
2....
3....
Eh. Tunggu, sepertinya ada yang salah. Veni langsung menengok ke arah Mario saat dirinya sadar bahwa apa yang diucapkannya salah.
"Oke deal besok kita ngurus Pernikahan kita."
"Apa-apaan kamu."
"Lah tadi kamu yang bilang enggak papa kok," ucap Mario lagi dengan penuh kemenangan.
"Enggak apaaan sih."
"Tuhkan enggak. Berarti iya. Udahlah kamu terima aja besok kita urus Pernikahan. Orang kata kamu tadi iya kok," jawab Mario.
"Ya aku tadi lagi enggak fokus makanya aku jawabnya ngasal."
"Dan aku nanggepinnya serius. Yaudah beres," jawab Mario lagi dengan enteng.
"Tapi 'kan—"
"Udahlah, Ven. Sampai kapan kita mau deket kayak gini terus. Udah hampir sebulan loh. Kamu mau dosa lama-lama. Kita udah sering jalan bareng juga kok. Apa yang buat kamu ragu sih sama aku? Kamu masih takut sama aku atau karena aku banyak mantannya?" Semua yang diucapkan memang benar. Melihat Mario banyak mantan alias playgirl juga membuat Veni berpikir tapi kedekatan mereka juga sudah lama apa ini waktunya dia mengiyakan statusnya untuk lanjut.
"Ven...." Veni melihat ke arah Mario.
"Percaya sama aku kalau aku bakal bikin kamu bahagia kok." Terlihat serius. Walaupun, tidak tahu apa keseriusannya benaran atau hanya bualan semata.
"Gimana, Ven? Sampai kapan kamu mau gantung aku?"
"Oke." Mario gantian kini terdiam.
***
Mario POV
Tunggu ... tadi dia tidak salah dengar 'kan. Veni mengatakan iya? Eh oke. Tapi sama saja 'kan?
Dirinya masih terdiam, sebenernya jantungnya sejak tadi masih berdetak hanya karena panggilan pertama dari Veni tapi dia tetap berusaha santai. Apalagi saat dia menggoda Veni itu dia sedang menutupi kegugupannya sebenarnya.
"Ngapain malah bengong?" tanya Veni. Untungnya kini mereka sedang berhenti di depan Alfamart karena Mario haus.
"Eh enggak. Tadi kamu jawab iyakan?"
"Iya apa?"
"Aku tadi ga salah denger kok, Ven kamu iyain kita nikah kan?"
"Kata siapa?"
"Enggak ... enggak. Aku yakin tadi kamu iyain kita nikah." Veni terlihat tersenyum setelah itu dia membuka pintu mobil.
"Ven, perjelas dulu aku bingung nih."
"Apa?!" Veni memandang dia ketus seperti biasanya tapi kali ini perempuan itu malah tersipu.
"Kamu beneran kan udah setuju kita siapin Pernikahan."
"Kalau kamu enggak ngerti yaudah gausah. Ribet."
"Oke-oke. Berarti kamu setuju kita nikah 'kan?" Veni hanya menghendikkan bahunya acuh lantas masuk ke dalam supermarket.
Mario tersenyum kegirangan, membuat orang-orang yang melihatnya heran. "Mario enggak usah bikin malu." Ucapan Veni barusan yang memanggil namanya membuat dirinya makin kegirangan. Selama ini Veni tidak pernah memanggil namanya dan itu cukup membuatnya merasa tidak bisa berkata-kata.
Cukup Mario ... dirinya tidak boleh menyukai Veni. Ingat dia menikah hanya untuk membuat Bhiya cemburu. Tapi, kenapa hatinya bergetar saat Veni ramah dengannya.
Tidak!
Cukup!
Dia tidak boleh memikirkan Veni lagi.
***
Malam harinya Veni mulai berkumpul dan bercerita kepada orang tuanya. Dia ingin memastikan kalau pilihan yang dijatuhkan tidak salah. Apalagi besok Mario langsung ingin mengajak dirinya dan Mamanya fitting baju.
"Besok kita Fitting baju ya sama Mama...."
"Mama kamu?"
"Iya. Tapi, kalau Umi kamu mau ikut ya enggak papa."
"Ehm ... iya."
***
Itulah yang diucapkan Mario tadi siang kepadanya. Makanya dia ingin menayakan juga sekalian kepada Uminya apakah ingin ikut fitting baju pengantinnya.
"Umi yakin sama Mario?"
"Yakin?"
"Kenapa emangnya, Ven? Kamu masih ragu sama Mario? Abi lihat dia juga sopan, baik juga kok. Kamu emangnya enggak nyaman ama dia? Kamu enggak sayang sama dia?" tanya Abinya yang ikut angkat bicara.
"Emm ... enggak kok, Bi. Kalau emang kalian setuju jawaban Veni kasih tahu ke Mario semoga yang terbaik, Mi, Bi," ucap Veni.
"Kamu udah kasih jawaban?"
"Udah."
Umi dan Abi saling pandang sedetik kemudian dia melihat ke arah Veni. "Kamu beneran udah kasih jawaban? Terus jawabannya apa?"
"Iya."
"Alhamdulillah, Umi udah kira kamu pasti milih iya." Veni tersenyum kala kedua orang tuanya melihat dirinya dengan pandangan yang terlihat senang.
"Terus kapan kalian akan menikah?"
"Besok orang tuanya Mario bakal ke sini, Mi, Bi. Setelah itu langsung fitting baju. Mario bilang enggak mau mengundur waktu lama." Abinya mengangguk pahama.
"Ya bagus kalau seperti ini artinya dia memang benar niat serius sama kamu. Kalau dia tidak serius pasti dia tidak mau secepat ini untuk menikah."
"Tapi, Veni memang masih kurang nyaman dengan Mario. Bukan tidak nyaman tapi kita kan kenal benar-benar baru, Bi."
"Justru itu kalian kenal belum lama tapi Mario sudah mengajak kamu menikah dan langsung izin dengan Abi, Umi menurut kami itu udah pilihan yang bagus dan mungkin saja Mario memang benar serius sama kamu." Veni mengangguk dia hanya akan menuruti ucapan orang tuanya. Selama ini pilihan orang tuanya selalu baik semoga saja feelingnya tidak benar-benar terjadi.
***
Keesokan harinya keluarga Mario benar-benar sudah datang ke sini pagi-pagi sekali. Ada Mamanya Mario dan juga kakak beserta istrinya. Veni pun sudah mempersiapkan kedatangan mereka karena tadi Mario sudah memberitahunya bahwa dirinya sudah berangkat.
"Umi, Abi, Mama kalau menurut Mario hari Pernikahan kita dimajukan saja dua minggu lagi. Tadinya, Mario mikir Bulan depan saja tapi terlalu lama kedekatan kita juga sudah hampir sebulan lebih bukan?"
"Mario...." ucap Veni lagi.
"Ven 'kan aku bilang aku mau serius sama kamu ya apa enggak lebih baik cepetin aja?"
"Ya tapi enggak dua minggu lagi juga ini baru awal bulan. Persiapan juga sama sekali belum semua."
"Persiapan Pernikahan semua biar aku aja sendiri yang urus, kamu takut kalau nanti Pernikahannya enggak mewah? Atau takut—"
"Bukan itu masalahnya. Menurut aku Pernikahan tidak perlu juga terlalu mewah toh kehidupan nikah sebenarnya adalah setelah nikah bukan saat respesi. Jadi, lebih baik uangnya bisa kita gunakan untuk kehidupan setelah menikah saja."
"Nah berarti beres dua minggu lagi saja. Toh, kalian semua setuju 'kan?" tanya Mario kepada keluarga besarnya.
"Mama setuju aja sama kalian."
"Umi sama Abi juga setuju saja," ucap Abinya. Veni melihat semua orang yang memandangnya dengan setuju. Baiklah kalau seperti itu tidak ada alasan untuk Veni menolak karena hanya akan membuat Mario merasa tidak enak nantinya. Walaupun, dia tidak suka dengan Mario tapi dia tetap menghargai Mario.
"Nah udah beres 'kan? Jadi, deal ya kita nikah dua minggu lagi." Mereka semua mengangguk. Mario tersenyum puas. Dia melihat ke arah Bhiya yang diam saja bersama suaminya di sampingnya apa wanita itu terlihat kecewa dengan dirinya yang menikah. Jika, iya Mario pastikan Bhiya akan meminta kembali kepadanya.
Setelah semua obrolan selesai mereka pun segera untuk menuju ke fitting baju. Tapi, ada perdebatan lagi dengan Marvel saat mereka ingin berangkat.
"Kita mau fitting baju di mana?" tanya Mamanya Mario—Dian.
"Ada, Ma aku udah disaranin temen tempatnya bagus buat aku sama Veni nikah," jawab Mario lagi.
"Kenapa enggak ditempat gue sama Bhiya waktu fitting aja. Toh, udah kenal jadi enak." Marvel memberikan saran tersebut kepada sang adik.
"Yang mau nikah 'kan gue bukan lo jadi suka-suka gue juga mau fitting di mana."
"Mas Marvel kan cuma nyaranin, Yo. Lagian di sana biayanya terjangkau terus kualitasnya juga bagus lagi." Bhiya kali ini ikut angkat bicara juga.
"Kalian kenapa sih maksa banget. Yang mau nikah 'kan gue sama Veni kenapa kalian yang ngatur." Veni dan keluarganya hanya memandang perdebatan mereka saja. Abinya agak terlihat aneh melihat Mario. Selama ini anak itu terlihat sopan.
"Sudah-sudah. Mario malu sama calon mertua kamu. Marvel, Bhiya udah ikutin aja maunya Mario." Mereka pun meminta maaf karena telah membuat gaduh. Padahal, niat mereka memang cuma memberikan saran saja. Tapi, sepertinya memang Mario masih tidak terima dengan hal yang sudah berlalu.
Setelah itu mereka lanjut berjalan. Marvel dan Bhiya memilih tidak ikut dan pamit saja. Dia tidak enak kalau nantinya hanya memberikan gaduh saja.
***
"Gimana kalau yang ini Bagus?" tanya Veni. Veni sudah mencoba beberapa gaun. Semuanya Bagus bahkan Veni sampai bingung harus memilih yang mana rasanya dia ingin memakai semuanya.
"Semua Bagus, Ven kamu pakai aku aja sampai bingung jawabnya." Mario mengatakan hal tersebut lalu mereka semua mengangguk. Veni malah bersemu.
"Emm ... gini aja. Saya punya koleksi gaun yang baru cuma belum selesai semuanya. Tapi, kalau kalian memang menikah dua minggu lagi kita bisa secepatnya kok menyelesaikan," saran dari pemilik butik tempat mereka memilih pakaian.
"Coba Mbak lihat kali aja lebih bagus." Mbaknya pun mengangguk lalu kebelakang untuk mengambil gaun yang diingkan mereka.
Beberapa saat kemudian Mbaknya datang dengan dua orang. Veni yang melihat gain itu terpana. Gaun yang indah persis seperti gaun seorang ratu. Apa jika dia yang menggunakan akan secantik Ratu?
Mario juga terpana melihat gaun yang dibawa. Pasti Veni akan terlihat cantik saat menggunakan gaun tersebut.
"Boleh dicoba dulu, Mbak gaunnya. Siapa tahu cocok. Motif-motifnya belum sempat selesai kami pasang karena memang ini percobaan gaun baru yang kamu desain. Tapi, maaf sebelumnya saya sampai lupa bertanya. Apa kalian suka dengan gaunnya? Kalau tidak suka kami bisa memilihkannya lagi yang lain."
"Suka, Mbak. Coba biar saya coba," ucap Veni langsung.
"Iya gih, Ven coba keliatannya bagus kalau kamu pakai." Veni mengangguk. Dia lantas ikut Mbaknya untuk mengganti gaun tersebut.
Beberapa saat kemudian Veni datang. Mereka semua terpana melihat Veni yang datang dengan gaun tadi. Walaupun, gaun tadi belum selesai 100% pengerjaannya. Tapi, lihatlah. Semua terpana melihat Veni. Mario bahkan harus terbengong beberapa saat walaupun kemudian Veni mengintrupsi mereka.
"Enggak bagus ya? Kok kalian diem aja?" tanya Veni.
"Bagus, nak. Abi rasa Putri Abi beneran seperti seorang princess," ucap Abinya.
"Iya, nak bagus banget kalau gaun itu dipakai kamu," ucap Uminya. Veni tersenyum malu. Tapi, dia tidak mendengar apapun dari Mario dan juga calon mertuanya.
"Ehmm ... Tante sama Mario enggak suka ya?"
"Hah? Enggak kok, Tante suka. Cantik." Dian hanya memberikan respoj tersebut.
"Mario?" tanya Veni.
"Ha? ... engh? Oh ya bagus kok. Kalau kamu suka yang itu yaudah kita langsung pilih yang itu aja. Mbak bisa selesai seminggu kan. Urusan biaya biar saya yang bayar berapapun." Mario harus menutupi rasa kagumnya dengan Bentuk tubuh Veni. Dia membayangkan kalau....
Ah tidak ... tidak. Dia tidak boleh berpikiran ke sana. Cukup Mario. Tidak boleh berlebihan. Ingat dia tidak boleh berfikiran yang lain selain balas dendam kepada Bhiya.
Veni sedikit berfikir kalau Mario sepertinya tidak suka. Tapi, laki-laki itu langsung membayar saja gaun tersebut. Padahal, respon yang diberikan tidaklah Bagus. Apakah Mario tidak suka dengan gaun ini?